Wacana Pemerintah Buka Lahan Sawah di Kalteng, Dinilai Bukan Langkah yang Tepat

MutiaraUmat.com -- Wacana pemerintah akan membuka lahan sawah seluas satu juta hektare di Kalimantan Tengah dengan dengan menggandeng Cina dinilai Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana sebagai langkah yang tidak tepat. 

"Saya kira bukan langkah yang tepat. Sebab bagaimanapun, Kalimantan itu bukan tempat yang tepat untuk sentra pertanian. Kalimantan itu tidak dikenal dalam sejarahnya sebagai kawasan sentra pertanian. Kawasan sentra pertanian itu adanya di Jawa, Sumatera, dan sebagian Sulawesi," tuturnya kepada MutiaraUmat.com, Kamis (25/4/2021). 

Menurutnya, ketimbang membuka lahan sawah di Kalteng, pemerintah mestinya merawat kawasan sentra pertanian yang ada, seperti di Karawang, Purwakarta, Garut, Tasik Malaya, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. 

"Itu merupakan kawasan-kawasan sentra pertanian. Nah, mestinya kawasan itu dirawat lumbung-lumbung padi kita itu. Bukan 'ditanami' dengan industri, jalan tol, pembangunan-pembangunan yang akhirnya kawasan pertanian itu menjadi hilang. Sehingga, kemampuan kita memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri itu kan enggak cukup. Jadi, Kalimantan bukan tempat yang tepat," tegasnya. 

Sekalipun pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan Cina yang dinilainya sukses melakukan swasembada beras akan mentrasfer teknologi persawahan padinya dalam kerja sama tersebut, tetapi Erwin khawatir Indonesia justru hanya akan menjadi operator, bangsa kuli nantinya. 

"Kalau ingin maju teknologi, kita harus adopsi teknologi dengan belajar dan bikin dengan lebih baik. Belajar ke sana, kuliahkan sarjana-sarjana kita yang hebat itu, S2, S3, doktor, dan pakar. Itu yang akan memajukan teknologi kita," ujarnya. 

Ia menambahkan, bagaimanapun Indonesia akan mengeluarkan biaya untuk kerja sama tersebut. Satu hal yang mestinya bisa digunakan alokasi biayanya untuk keperluan yang lain. Di samping itu, bukan tidak mungkin ada potensi bahaya di balik kerja sama ini, mengingat kerja sama dengan Cina sebelumnya seperti di pertambangan nikel, justru merugikan rakyat Indonesia. 

"Kita enggak tahu apakah di balik ini. Kalau kita analisis secara politik, mungkin saja ada muatan-muatan lain yang ingin diselipkan dalam kerja sama ini. Kita enggak tahu motif-motif politik, seperti sesuatu yang ada di balik tembok," ungkapnya. 

Karena itu ia berharap, masyarakat harus kritis terhadap kemungkaran yang ada agar tidak terus berlanjut. Masyarakat harus mengkritisi kebijakan yang ada. Sehingga, berbagai macam kebengkokan itu tidak terus-menerus berlanjut, berbagai macam ketidaklurusan itu tidak terus berlanjut, tidak terus-menerus terjadi. Lakukanlah aktivitas kritik terhadap hal yang ada. Karena bagaimanapun, kerusakan itu akan merusak kita semuanya," pungkasnya. []Tenira

0 Komentar