Rupiah Melemah, Ekonomi Indonesia Kian Payah


MutiaraUmat.com -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Mengacu data Jakarta Inter Spot Dollar (Jisdor), nilai tukar rupiah pada perdagangan Rabu [17/4] ditutup Rp 16.240 dollar AS atau melemah 0,39 persen dibandingkan dengan penutupan sebelumnya. Pelemahan rupiah ini telah menembus titik terdalamnya selama periode 2023 sekaligus mendekati puncak depresiasi periode 2020 di awal merebaknya pandemi Covid-19 lalu. (kompas.id)


Dampak Melemahnya Nilai Rupiah

Dampak utama dari menguatnya nilai dolar AS terhadap rupiah adalah harga barang impor melonjak tajam sehingga bisa melampaui ekspor nasional. Jika kondisi nilai impor lebih tinggi dari ekspor ini disebut juga defisit neraca transaksi berjalan. "Neraca perdagangan surplus makin tipis, neraca jasa yang defisitnya mungkin melebar," ujar Bambang S. Brodjonegoro, mantan Menteri Keuangan periode 2014-2016. (databoks [16/4])

Masalahnya, jika bahan baku impor melonjak, harga berbagai jenis barang di pasaran juga berpotensi meningkat. Kenaikan harga barang di pasaran selain akan memberikan efek terhadap kenaikan laju inflasi juga akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat yang akhirnya daya beli masyarakat ikut melemah.

Belum lagi utang sektor swasta, BUMN dan Pemerintah dalam bentuk dolar juga ikut naik tajam. Pukulan akibat kenaikan biaya impor dan biaya utang tidak hanya menyebabkan kerugian pelaku usaha, namun juga menekan produksi dan menurunkan penyerapan tenaga kerja.

Tentu ada banyak faktor yang memengaruhi pelemahan rupiah ini. Namun yang paling utama adalah ketergantungan pada dolar sebagai mata uang dunia karena saat ini dunia secara keseluruhan di bawah imperialisme AS. Di sisi lain, penggunaan uang kertas sebagai alat pembayaran yang sah sejatinya sangat rentan terhadap inflasi, sehingga nilainya akan terus menurun. Hal ini karena uang kertas sekarang tidak mengharuskan adanya cadangan fisik seperti emas dan perak.


Sistem Mata Uang Islam

Islam menetapkan standar mata uang berbasis emas dan perak, atau disebut dinar dan dirham. Selama lebih dari seribu tahun, emas telah berperan sebagai penyimpan nilai dan alat tukar yang sangat stabil di seluruh dunia. Sejak masa awal Islam hingga hari ini, nilai mata uang Islam dwilogam itu tetap stabil dalam hubungannya dengan barang-barang konsumtif. Keunggulan ini didasarkan pada fakta bahwa emas memiliki nilai fisik yang tinggi dan daya tahan yang luar biasa. 

Selama 13 abad pemakaian mata uang emas ini tercatat baru mengalami krisis satu kali yaitu pada masa pemerintahan dinasti Mamluk, sedangkan uang kertas sudah mengalami krisis sebanyak delapan kali krisis bahkan dikutip dari beberapa pengarang menyebutkan bahwa setiap 5 tahun terjadi krisis global dalam kurun waktu 50 tahun terakhir.

Oleh karenanya, tidak berlebihan rasanya jika mengatakan sistem mata uang emas dan perak sangat tahan terhadap krisis dan inflasi. Jika emas digunakan sebagai mata uang resmi oleh negara, negara ini akan memiliki kekuatan ekonomi. Ini karena mata uang emas tidak akan bisa dipermainkan atau terombang-ambing nilai tukarnya oleh mata uang kertas mana pun, sekuat apa pun mata uang kertas tersebut. Ekonomi rakyat akan berjalan stabil. Kehidupan masyarakat juga akan tenang tanpa merasa was-was dengan krisis ekonomi, resesi, atau pelemahan nilai tukar mata uang yang berdampak negatif bagi seluruh lapisan masyarakat.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Irna Purnamasari
Aktivis Muslimah

0 Komentar