MutiaraUmat.com -- Telah berlangsung lama, para pegiat demokrasi dan HAM di negeri ini kini telah menggaungkan narasi bubarkan Mahkamah Konstitusi. Mengapa? Mereka melihat MK bukan lagi sebagai penjaga konstitusi (
constitution guardian)--alih-alih penjaga ideologi--tetapi telah berubah menjadi penjaga rezim dan oligarkinya, bahkan akronim MK telah diplesetkan dengan istilah Mahkamah Kalkulator (terkait Pemilu) dan Mahkamah Keluarga (terkait dengan syarat pencapresan). Banyak putusan MK yang dinilai merusak marwah dan orientasinya sebagai
the guardian of constitution dan sekaligus
ideology yang sarat dengan tuntutan sebagai lembaga yang melampaui teks, saya memakai istilah 'dewanya' hukum. Putusan-putusan MK tersebut antara lain terkait dengan JR Perppu Ormas, PHPU 2019, JR UU Omnibus Law Ciptaker, JR UU Pemilu terkait dengan PT 20%, dan terakhir JR UU Pemilu terkait dengan syarat capres.
Dalam hal JR PT 20%, para pegiat demokrasi dan HAM kecewa atas puluhan putusan MK yang menolak tuntutan pembatalan Pasal 222 UU Pemilu terkait dengan Presidential Threshold (PT) 20%. Putusan MK sangat klasik, konvensional dan cenderung menggunakan mantra hukum modern dengan dalil black letter law. Putusannya berputar dari tiga opsi kalau tidak (1) NO (Niet Ontvankelijke Verklaard yang merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil), (2) tidak punya legal standing dan satu lagi (3) alasan open legal policy. Atas ketidakpuasan terhadap putusan yang berulangkali sama tersebut, para pencari keadilan akhirnya tidak percaya kepada majelis hakim MK bahkan menuntut agar MK dibubarkan. Kita perlu prihatin karena terkesan MK telah kehilangan marwah. Marwah itu hilang karena para hakim MK bertindak seperti hakim biasa yang tidak mau bahkan takut melakukan terobosan hukum bahkan terkungkung oleh bunyi-bunyi mantra peraturan yang jika diterapkan tidak akan menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people).
Hukum seringkali menjadi sebuah mantra ajaib dapat dipakai oleh penguasa sebagai sarana melanggengkan kekuasaannya (status quo). Mantra ini bisa mengoyak siapapun penghalang yang menghadang kekuasaan. Dengan dalih atas nama hukum semua mulut yang terbuka bisa dibungkam, tangan yang membentang bisa diringkus dan langkah kaki pun bisa dihentikan. Ini namanya hukum dipakai sebagai tameng kekuasaan yang biasa kita sebut sebagai alat legitimasi kekuasaan. Oleh Brian Z Tamanaha disebut sebagai the thinnest rule of law (ROL).
Mantra ROL paling tipis ini akan lebih dahsyat lagi ketika diilhami oleh ideologi yang diklaim sebagai sosok mulia laksana berhala yang hendak disembah-sembah lantaran dianggap sebagai kalimah suci yang dianggap mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Ideologi suci dan mantra ROL telah berkolaborasi menikam jantung misi negara hukum itu sendiri. Misi negara hukum kita pun bukan sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama black letter law, namun lebih menuju pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill) dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam human right dignity.
Lompatan raksasa dari misi ROL yang tertinggi adalah, tidak sekedar berorientasi pada legitimacy dan human right dignity tetapi pada misi untuk mewujudkan social welfare. Ini yang disebut sebagai the thickest rol. Hal ini tentu tidak mungkin bisa dicapai ketika jalan menuju negara hukum justru secara paksa dibelokkan (bifurkasi) ke arah negara kekuasaan. Jurang tengah menanti jatuhnya negara hukum ketika pilar-pilar negara hukum mulai dirobohkan oleh penguasa yang hendak melanggengkan dan mengokohkan tampuk kepemimpinannya. Banyak contoh yang dapat menjelaskan kasus ini, misalnya kasus pembubaran ormas yang juga sempat melibatkan MK terutama ketika dilakukan judicial review terhadap Perppu Ormas 2017.
Pembubaran ormas yang tidak ditempuh melalui due process of law nampaknya turut berkontribusi menggiring negara hukum itu ke bibir jurang negara kekuasaan itu. Inilah kalau hukum itu bersifat represif bukan responsif apalagi progresif. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya bisa membaca hukum dengan moral (moral reading) ternyata sama dengan peradilan yang lainnya. Membaca hukum dengan kaca mata kuda. Mengagungkan cara berpikir secara automat mechanistic. Cara berpikir ini mengandalkan bunyi Undang-undang sehingga hakim seolah hanya menjadi corong atau mulut UU (la bouche de la loi). Padahal kita tahu, sesuai dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa: "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat".
Ditambah aspek transendental dalam irah-irahan putusan hakim yang berbunyi: "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Apa arti semua ini? Hal ini sesungguhnya bermakna bahwa hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya berdasarkan bunyi-bunyi pasal UU melainkan diberikan hak untuk berinovasi dalam menyelesaikan perkara. Dan di sini lah tampak jelas bagaimana relasi antara negara dan agama dalam penegakan hukum di Indonesia.
Berhukum Progresif berarti melakukan langkah progresif dengan melakukan rule breaking melalui tiga cara:
1. Menggunakan kecerdasan spiritual (spiritual quotien) utk tidak terkungkung dengan peraturan apabila penerapannya justru mendatangkan ketidakadilan;
2. Lebih memilih pemaknaan yg dalam ketika menafsirkan suatu UU sehingga tidak terjebak pada makna gramatikal;
3. Menjalankan hukum bukan hanya mengutamakan logika melainkan justru juga mempertimbangkan rasa keberpihakan terhadap orang lemah, miskin dan teraniaya yang dirangkum dalam istilah compassion.
Apa yang dilakukan oleh MK dewasa ini, jauh dari karakter Rule Breaking tersebut tetapi justru mengutamakan kehebatan mesin automatnya hukum positif dan cenderung melukai perasaan masyarakat pemohon Judicial Review atas Perppu Ormas. Bagaimana tidak, sidang JR Perppu Ormas yang sudah dijalankan "berdarah-darah"---yang baru tgl 2 Oktober 2017 saya memberikan keterangan ahli pada sidang JR ini--- ternyata hanya berakhir dengan menyatakan: Ditolak permohonan JR lantaran objeknya sudah tidak sesuai lagi. Mengapa? Karena Perppu No. 2 Tahun 2017 yang dimintakan JR telah berubah di tangan 7 Fraksi DPR menjadi UU No. 16 Tahun 2017. Padahal, substansi UU sekarang tidak ada bedanya dengan Perppu nya dulu. Jadi secara substansial tidak ada perubahan sama sekali.
Mengapa hanya karena nama yang berbeda dengan substansi yang sama pemohon harus menggugat lagi Perppu Ormas dengan hanya menggantinya kata Perppu menjadi UU? Apakah Indonesia akan runtuh ketika MK memutuskan untuk tetap melanjutkan persidangan JR Perppu Ormas dengan menggantinya dengan kata UU Ormas? Keprihatinan kita atas sikap MK terkait dengan Perppu Ormas disusul dengan kekecewaan rakyat terhadap putusan MK terkait dengan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan putusan yang menolak tuntutan atas pembatalan Pasal 222 UU Pemilu terkait dengan PT 20%.
Banyak yang prihatin atas putusan MK yang terkesan anti demokrasi dan anti terobosan hukum. Bukankah MK itu bukan pengadilan biasa? Yang duduk pun adalah para "dewa hukum" di Indonesia. Mengapa tidak berani melakukan terobosan dalam menegakkan hukum. Memang benar, diperlukan 2 modal seorang hakim untuk melakukan rule breaking, yaitu:
1. Braveness, keberanian untuk mengutamakan keadilan substantif.
2. Vigilante, yakni jiwa pejuang, pejuang kebenaran dan keadilan.
Bila kedua karakter tersebut tidak dimiliki oleh seorang hakim, termasuk Hakim MK, maka impossible akan melakukan terobosan. Ia akan cenderung mengutamakan zona nyaman (comfort zone) dan menjalankan hukum sebagaimana bunyi teks UU. Jangan berharap ia akan berani membaca Konstitusi dengan menggunakan moral (moral reading on constitution: Ronald Dworkin).
Masihkah MK diharapkan Memutus Sengketa Secara Adil dan Jujur?
Masihkah kita berharap bahwa Mahkamah Konstitusi bisa menunjukkan bahwa demokrasi kita bukan demokrasi angka-angka (numeric democracy) dan sebagai konsekuensinya Mahkamah Konstitusi tidak boleh menasbihkan diri sebagai mahkamah kalkulator. Para hakim Mahkamah Konstitusi diharapkan tetap berpegang teguh pada Tiga Prinsip Hukum Alam sebagaimana dinyatakan oleh Ulpianus, yakni:
1. Honeste vivere ( jujurlah dalam kehidupanmu);
2. Alterum non laedere ( janganlah merugikan orang lain di sekelilingmu);
3. Suum cuique tribuere ( berikanlah kepada orang lain apa yang menjadi haknya).
Terkait dengan 3 prinsip hukum alam ini, semula saya merasa sangat berbahagia karena MK telah menjadikan ayat Al Quran sebagai panji-panji dalam menyelesaikan perkara yang dihadapinya. Panji-panji itu sebenarnya menunjukkan bahwa kita tengah berada dalam "negara hukum transendental".
Ayat Al Quran tersebut adalah QS An Nisaa ayat 135 sebagaimana tersebut di bawah ini:
۞ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
(Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan).
Tanpa bermaksud mengecilkan ajaran dari agama lain, tentu saja, para penganut agama non Islam juga mempunyai pedoman khusus bagi hakim yang tengah memeriksa suatu perkara.
Benarkah Hakim MK Hanya Takut Kepada Allah?
Sejak Ketua MK (Anwar Usman--yang sekarang akhirnya menjadi paman Gibran) menyatakan diri di awal persidangan sengketa hasil Pilpres 2019, bahwa beliau hanya takut kepada Allah, waktu itu besar sekali harapan saya agar beliau lebih mengutamakan rasa keadilan dari pada kepastian hukum (dalam state law). Mungkin saja sekarang pun beliau tetap merasa bahwa keputusannya telah on the track, merasa telah menghadirkan keadilan di tengah masyarakat karena fokus pada hasil perolehan suara pilpres 2019 dengan menyatakan berkali-kali bahwa dalil pemohon tidak beralasan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat dibuktikan MENURUT HUKUM. Dan saya prediksikan bahwa peristiwa yang sama akan berulang pada Putusan MK terkait dengan PHPU 2024 sekarang ini meski ada puluhan legal opinion dalam bentuk amicus curiae yang menuntut dihadirkannya kebenaran dan keadilan dalam proses peradilan di MK (trial with truth and justice bukan trial without truth and justice).
Kalimat hanya takut kepada Allah seharusnya dimaknai bahwa seseorang hakim harus punya braveness dan vigilante. Braveness untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman) ketika dia sedang dihadapkan dilema dalam 'conflict of interest'. Vigilante adalah karakter untuk menjadi mujahid yang mengutamakan pembelaan terhadap kebenaran, kejujuran dan keadilan, apa pun taruhannya.
Lalu hendak dikemanakan kalimat: hanya takut kepada Allah dan kemauan Ketua MK Suhartoyo untuk dikenang sebagai hakim yang baik? Bila para hakim tidak lebih takut kepada Alloh dari pada yang lain, masihkah kita berharap para hakim "berjihad" menegakkan moralitas, khususnya keadilan dan kebenaran dalam berhukum? Mungkin putusannya itu memenuhi aspek legalitas, tetapi sebenarnya putusannya itu tidak legitimate karena putusan itu patut diduga "cacat secara moral". Jika demikian, masihkah MK dan para "dewa hukum"-nya mempunyai marwah dan orientasi sebagai the guardian of constitution? Atau benarkah dugaan orang yang menyatakan bahwa MK telah menjadi penjaga rezim dan oligarki bahkan menjadi Mahkamah Kalkulator dan Mahkamah Keluarga? Jika sudah kehilangan marwah dan orientasi karena telah menjadi penjaga rezim dan oligarki, lalu salahkah jika rakyat menuntut agar MK dibubarkan dan diganti dengan Pengadilan Rakyat untuk 'bringing justice and the truth to the people'?
Dalam penyelesaian akhir PHPU 2024 ini, saya prediksikan para hakim MK tidak berani menerapkan hukum secara progresif melalui 'rule breaking' dalam menyelesaikan perkara--bukan sekedar memutus perkara--maka putusan terkait dengan PHPU 2024 sekarang pun akan berakhir dengan jauhnya harapan besar akan keadilan dan kebenaran. Putusan MK akan berisi amar untuk menolak semua permohonan pemohon (paslon 01 dan 03) serta menguatkan Keputusan KPU terkait dengan hasil Pemilu 2024. Akhirnya, MK akan dinilai rakyat telah makin kehilangan marwah dan orientasinya sebagai 'the guardian of constitution and ideology' dan dengan demikian maka makin bopeng pula potret MK negeri ini. MK bukan lagi akronim dari Mahkamah Konstitusi melainkan telah menjelma menjadi Mahkamah Kalkulator dan Mahkamah Keluarga. Ironis! Tabik!
Semarang, Senin: 22 April 2024
0 Komentar