MutiaraUmat.com--Disperindag Temanggung mengkonfirmasi ketentuan baru perihal pemberian THR kepada para pekerja hendaknya diberikan maksimal tujuh hari sebelum hari raya Iedul Fitri.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Disperinaker Kabupaten Temanggung Sri Endang Praptaningsih di Temanggung, Jumat 22 Maret 2024.
Ia menyebut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. M/2/HK.04/III/2024 sudah diteruskan kepada para pemilik perusahaan, ia berharap pemberian THR para pekerja bisa diberikan sesuai dengan ketentuan.
Besarannya pun disebutkan sesuai dengan masa kerja para pekerja. Adapun pekerja yang sudah bekerja selama satu tahun dengan bekerja secara terus menerus maka besaran THR nya adalah satu kali gaji.
Sedangkan pekerja dengan masa kerja belum genap satu tahun, diberikan THR sesuai dengan masa kerjanya.
Pekerja dalam Islam
Pekerja dalam Islam adalah ajir yang diupah (ujroh) oleh majikan atau yang memberikan pekerjaan (musta'jir) sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Jika terjadi perselisihan upah maka akan dimediasi oleh khubara atau ahli yang bisa menakar upah bagi ajir tersebut.
Upah tersebut dihitung berdasarkan manfaat yang diberikan oleh pekerja kepada majikannya. Bisa jadi berdasar waktu kerja atau berdasarkan sejumlah pekerjaannya.
Sehingga THR atau tunjangan hari raya dalam Islam itu bukanlah sebuah kewajiban yang harus diberikan oleh majikan atau musta'jir kepada para pekerjanya.
Tunjangan hari raya yang saat ini menjadi kebiasaan yang 'seolah-olah' wajib bahkan dipungut pajak oleh negara sebenarnya adalah perkara sedekah dalam Islam bagi para majikan atau saat ini disebut pengusaha.
Sedekah tersebut akan kembali kepada kondisi kelapangan ekonomi para pengusaha. Jika menjelang lebaran kondisi ekonomi pengusaha atau majikan tersebut lapang atau ada kelebihan maka boleh baginya mengeluarkan sedekah THR untuk para pekerjanya.
Sebaliknya, jika kondisi perekonomian majikan justru mengalami banyak kerugian tersebab efek pemasaran atau kendala produksi atau hal teknis lainnya maka pengusaha (majikan) tidak wajib mengeluarkan sedekah THR kepada para pekerjanya. Kewajibannya hanyalah membayarkan upah atas manfaat yang diberikan oleh pekerja tersebut sesuai kesepakatan kedua belah pihak atau mediasi khubara (ahli) yang bisa menaksir upah jika terjadi perselisihan di antara pekerja dan majikannya dalam hal upah.
Kondisi hari ini sangat ironis dengan cara Islam mengatur masalah THR tersebut. Hari ini penguasa alih-alih membantu para pengusaha untuk memberikan suasana ekonomi yang sehat. Penguasa justru menjadikan situasi ekonomi kian memburuk setiap tahunnya disebabkan dari efek domino beraneka kebijakannya. Termasuk kebijakan masifnya pembangunan infrastruktur yang tidak langsung memberikan manfaat kepada masyarakat secara luas, menelan biaya tinggi dari utang. Sehingga masyarakat terbebani pembayaran utang negara yang menggunung tersebut dengan kenaikan pajak. Sehingga harga kebutuhan pokok naik lebih dari dua kali lipat atau lebih setiap tahunnya.
Kondisi tersebut memicu lesunya ekonomi, penurunan permintaan di berbagai sektor menjadikan banyak pengusaha mengeluh. Pemutusan hubungan kerja secara masif menjadi bukti bahwa kondisi ekonomi tidak sehat.
Pemerintah seolah tak peduli, bahkan ia mengeluarkan peraturan pemberian THR maksimal seminggu sebelum hari raya dengan pajak yang sudah melekat di sana.
Padahal, THR bukanlah kewajiban dalam Islam, jika kondisi ekonomi pengusaha berlebih (Aghnia) maka ini tak mengapa. Sebaliknya jika pengusaha mengalami kerugian lalu pemerintah seolah tak peduli dengan kondisinya dan memaksa untuk tetap memberikan THR sesuai peraturan yang ia keluarkan, maka ini bentuk kezaliman penguasa kepada para pengusaha.
Jika pengusaha dalam kondisi ekonomi yang lapang dan ia ingin bersedekah tentu itu kebaikan bagi pengusaha di sisi Allah SWT. Sedekahnya juga bisa kepada keluarga, kerabat, para pekerja yang ia miliki atau kepada negara. Tentunya ini tidak dijalankan dengan pemaksaan. Namun dengan kesadaran sebagai akibat pembinaan akidah oleh negara di dalam Islam.
Ditambah pungutan pajak THR tersebut juga sangat nampak kezaliman penguasa atas para pekerja jika para pekerja benar-benar dalam kondisi membutuhkan uang tersebut atau belum dikatakan berlebih (Aghnia).
Jika kondisi ekonomi pekerja sudah berlebih atau pekerja memang benar-benar ingin menyumbangkan sejumlah penghasilannya untuk negara, dalam Islam bisa bernilai sedekah. Tentunya bukan dengan jalan pemaksaan. Juga tidak dipergunakan oleh negara untuk hal-hal yang berkaitan dengan riba.
Inilah keagungan syariat Islam yang tidak semata-mata mengeluarkan peraturan hanya untuk syahwat penguasanya. Namun demi kebaikan dunia akhirat bagi para pekerja maupun pengusaha.
Oleh: Heni Trinawati
Analis Mutiara Umat Institute
0 Komentar