Pembajakan Sejarah Kartini


Mutiaraumat.com -- Bagi kalangan pegiat emansipasi, sosok Kartini dianggap pas untuk merepresentasikan perjuangan pembebasan perempuan. Kartini memang perempuan cerdas yang memiliki bacaan jauh melebihi bacaan perempuan kebanyakan di masanya.

Masa ketika perempuan tak mendapat tempat semestinya sebagai perempuan bahkan sebagai manusia. Kartini punya banyak keresahan, melihat akal perempuan di belenggu oleh adat Peninggalan nenek moyang dan naluri dibungkam oleh dogma tentang kepatuhan dan stratifikasi manusia berdasarkan keturunan. Namun benarkah Kartini Suarakan pembebasan perempuan sebagaimana kaum feminis hari ini menyuarakan?

Jika membaca sejarah berikut surat-surat Kartini, akan ditemukan bahwa Kartini adalah perempuan yang sepanjang hayatnya penuh dengan pergulatan ideologi. Pertemanannya dengan keluarga Abendanon sempat membuatnya terkagum pada kehidupan bebas perempuan. Lalu persahabatannya dengan Stella dan keluarga Van Kol juga nyaris membuatnya meninggalkan Islam dan mengadopsi nilai-nilai Kristen dan sosialisme.

Namun, saat dahaga pemikirannya tersentuh oleh keindahan ajaran-ajaran Islam, Kartini mulai bangga menampakkan jati dirinya sebagai Muslimah. Hingga beliau yakin tak salah menjadikan Islam sebagai spirit perjuangannya meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan.

Di awal pergulatannya Kartini begitu memuja Barat dengan menulis,

"Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik, orang baik-baik meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi dan mereka meniru yang tertinggi lagi, yaitu orang Eropa."
(Surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899)

Di akhir hayatnya, saat Islam mulai lebih jauh dikenalnya, inilah yang Kartini tulis pada sahabat penanya,

"Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa dibalik hal-hal indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal yang tidak bisa disebut sebagai peradaban?"
(Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)

"Moga-moga kami mendapat rahmat dapat bekerja membuat umat agama lain memandang Islam patut disukai."
(Surat Kartini kepada Ny. Val Kol, 21 Juli 1902)

Itulah realitas Kartini yang akhirnya melihat persoalan perempuan dari sudut pandang Islam bahwa perempuan hadir ke dunia sebagai pendidik pertama sehingga harus didik dicerdaskan bukan sebagaimana adat leluhur yang menempatkan perempuan bukan sebagai apa-apa atau sebagaimana budaya Barat berikan kebebasan tanpa batasan.

Kartini menegaskan apa yang sebenarnya menjadi cita-cita dan justru disembunyikan.

"Bukan tanpa alasan orang mengatakan Kebaikan dan kejahatan dimulai anak bersama air susu Ibu. Alam sendirilah yang menunjuk dia untuk melakukan kewajiban itu. Sebagai ibu dialah pendidik pertama anaknya. Di pangkuannya anak pertama belajar merasa, berpikir, berbicara.

Dan dalam kebanyakan hal Pendidikan pertama bukan tanpa arti untuk seluruh hidupnya. Tangan ibulah yang meletakkan benih kebaikan dan kejahatan dalam hati manusia, yang tidak jarang dibawa sepanjang hidupnya. Dan bagaimana sekarang ibu, ibu Jawa dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak terdidik?

Peradaban dan kecerdasan bangsa jawa tidak akan maju dengan pesatnya, kalau perempuan dalam hal itu terbelakang". 
[Surat kepada Prof. Dr. G. K. Anton 4 Oktober 1902]

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita. 

Agar wanita lebih cakap dalam melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri dalam tanganNya, menjadi Ibu, pendidik manusia yang pertama-tama."
(Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)

Jadi jelas, menjadikan Kartini sebagai ikon perjuangan emansipasi dan kesetaraan gender adalah sebuah pembajakan sejarah. Karena yang diinginkan Kartini hanyalah menjadi wanita taat pada ketentuan Tuhannya. Meski Kartini tak sempat merenggut keluasan ajaran Islam dikarenakan Al-Qur'an tak sempat beliau khatamkan. Di usia belia, beliau harus menghadap Allah SWT.

"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu hamba Allah."
(Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903)

Oleh: Nabila Zidane 
(Jurnalis)

Daftar Pustaka:

Jatimsatunews.com, 21 April 2023, Hari Kartini: Kumpulan 32 Surat Kartini Kirim ke Belanda 1899-1902
idntimes.com, 21 April 2017, Surat Kartini untuk Perempuan Indonesia.


0 Komentar