Mimpi Menjadi Negara Benevolen: Haruskah Sirna dengan Kegagalan Anies-Muhaimin?


MutiaraUmat.com -- Pada hari Senin, tanggal 22 April 2024 para hakim MK telah mengucapkan putusan terkait dengan PHPU 2024 yang diajukan oleh Paslon Anies Muhaimin dan Ganjar Mahfud. Kedua permohohan paslon ini seluruhnya ditolak alias paslon Prabowo Gibran tetap menjadi pemenang pemilu presiden 2024 sebagaimana telah ditetapkan oleh KPU. Sewaktu masa kampanye, saya sempat tertarik dengan gaya etik paslon Anies Muhaimin dalam memengaruhi rakyat untuk memilihnya. Narasi-narasi etik moral, sopan santun dan sejenisnya disuguhkan kepada khalayak dengan asumsi bahwa melalui cara inilah negara ini hendak dikelola jika rakyat memilihnya menjadi Presiden. Namun, kenyataan empirik kuantitatif berkata lain, secara telak rakyat lebih memilih paslon Prabowo Gibran yang publik pun tahu bahwa paslon ini penuh kontroversial, apakah terkait soal etik, penyelundupan hukum di MK, hingga soal cawe-cawe nepotisme bahkan 'money politic' bansos. Hal ini saya kira sudah menjadi rahasia umum yang sulit dibuktikan di pengadilan--jika hakimnya berkaca mata kuda bahkan hanya sebagai corong UU bahkan corong penguasa--namun sangat mudah dibuktikan dengan rasa, dengan hati nurani yang jernih.

Apakah kekalahan Anies Muhaimin sebagai representasi rakyat yang mendambakan negara ini dikelola secara benevolen (pemurah) akan sirna? Yang ada hanya relasi antara pemerintah sebagai subjek dan rakyat sebagai objek, bahkan boleh jadi hubungan keduanya hanya sebatas produsen dan konsumen atau lebih ngeri lagi hanya sebagai patron (tuan) dan client (hamba)? Relasi antara penarik pajak dan wajib pajak. Jauh dari nuansa relasi antara seorang ayah dengan seorang anak, antara pengayom dan yang diayomi--terlepas dari unsur nepotisme. Sebagaimana kita mafhum, ayah sebuah diksi status kekeluargaan yang menggambarkan adanya sosok mahluk mulia dengan karakter melindungi, pekerja keras, disiplin tetapi juga pemurah atau dalam bahasa latin disebut benevolent

Dengan karakter sosok ayah, maka boleh jadi ia pun punya sifat mengalah bahkan bukanlah sesuatu yang tabu jika dikalahkan oleh anak-anaknya. Begitu pula negara, negara benevolen itu negara yang pemurah terhadap rakyatnya bukan negara yang tidak mau kalah dengan rakyatnya sendiri. Negara boleh kalah dengan rakyatnya, ketika rakyat menuntut kebenaran dan keadilan dalam mewujudkan keadilan sosial.

Penggunaan prinsip negara tidak boleh kalah membuat saya khawatir jika negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilangnya karakter diri sebagai negara benevolen, negara pemurah. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara produsen oligark dan konsumen. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan dan penyelenggaraan negara ini hanya sebatas profit bukan benefit. 

Polisi khususnya sebagai garda terdepan penegakan hukum tidak boleh menjadi agen industri hukum karena jika polisi telah menjadi agen industri penegakan hukum maka sejak di garda ini pun penegakan hukum sudah dipenuhi pertimbangan untung rugi, bukan pertimbangan kebenaran dan keadilan. Jika bukan lagi dua hal itu yang menjadi pertimbangan polisi dalam melaksanakan pekerjaannya bahkan jika polisi sudah mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan "kejahatan-kejahatan politiknya", maka di saat itulah negara ini telah menjadi police state yang melumpuhkan prinsip-prinsip negara hukum.

Penggunaan secara keliru prinsip negara tidak boleh kalah cenderung membuat negara bertindak "brutal" dan "bar-bar" terhadap rakyatnya. Kasus terbunuhnya secara keji bahkan ada yang menyebut dilakukan secara "brutal" dan "bar-bar" atas 6 laskar FPI patut diduga karena penggunaan secara keliru prinsip negara tidak boleh kalah ini.

Hal ini bertentangan dengan amanat Tap MPR No. VI Tahun 2001, yang menegaskan bahwa pejabat negara lain harus bertindak sesuai dengan etika kehidupan berbangsa. Bahkan Tap MPR No. VI Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyatakan bahwa setiap pejabat dan elit politik untuk siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.  Pejabat harus memiliki sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

Penggunaan keliru prinsip negara tidak boleh kalah juga bertentangan dengan Etika Penegakan Hukum Berkeadilan yang meniscayakan APH harus berbuat secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya. 

Adakah penyelenggaraan pemerintahan kini mencerminkan etika kehidupan berbangsa itu? Penggunaan keliru prinsip negara tidak boleh kalah hanya akan memperkuat dugaan kuat adanya extrajudical killings, abuse of power, mal administrasi, Suka-Suka Kami (SSK), tindakan non promoter, diskresi yang diskriminatif dll. Hal ini mengkonfirmasi dan telah menujukkan lumpuhnya hukum, matinya demokrasi sekaligus adanya pelanggaran HAM. 

Berdasar potret buram--berdasar pada pernyataan Menkopolhukam dalam berbagai kesempatan dan Indek Negara Hukum RI-- hukum di periode pertama dan periode kedua Kabinet Kerja Jokowi ini, yakinkah Anda bahwa jika periode kepemimpinan nasional 2024-2029 dengan rezim yang sama dengan periode sebelumnya, potret hukum kita lebih bening? Saya tidak yakin, bahkan dapat diproyeksikan kekuasaan rezim semakin otoriter dan oleh karenanya represif. 

Prediksi saya, memang benar bentuk negara kita memang masih republik demokrasi tetapi sebenarnya kita sudah meninggalkan sistem itu menuju okhlokrasi yakni ketika negara dikendalikan oleh kelompok perusak yang sebenarnya tidak mengerti bagaimana cara menyelenggarakan kekuasaan negara untuk membahagiakan rakyatnya (benevolen). Dalam hal ini, negara boleh kalah/mengalah dengan rakyatnya demi perwujudan pelindungan dan kebahagiaan bersama. Jadi, haruskah negara tidak boleh kalah dengan rakyatnya?

Di sisi lain, kita tahu bahwa di negara demokrasi, kedaulatan itu di tangan rakyat. Jika kita konsisten dengan prinsip demokrasi ini, kita juga boleh memiliki slogan: rakyat tidak boleh kalah dengan kaum perusak negeri, para penjahat sebenarnya. Sebagai contoh terkait dengan elegi penegakan huku dalam kasus KM-50, jika terbukti bahwa extrajudicial killing itu sebuah kejahatan dan korbannya jelas ada 6 laskar FPI maka tentu ada pelakunya, yaitu penjahatnya. Haruskan penjahat itu dihukum? Siapa yang harus menghukum? Dalam hal ini Rakyat juga tidak boleh kalah dengan penjahat itu karena sebenarnya rakyatlah yang berdaulat. 

Jika rakyat tidak lagi berdaulat, maka demokrasi itu sebenarnya sudah mati dan seharusnya dikubur bersama "syahidnya" 6 laskar FPI. Terkait dengan dugaan kuat adanya extrajudicial killing atas 6 laskar FPI, adanya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sebenarnya merupakan salah satu bukti dari slogan Rakyat Tidak Boleh Kalah! Namun. Hingga tahun 2024 ini, lembaga itu tidak pernah terbentuk. Jadi, sampai saat ini penulis menilai, negara ini diselenggarakan terkesan masih jauh dari perwujudan negara hukum yang membahagiakan rakyatnya (benevolen), malah banyak yang menyatakan negara hukum yang membahayakan rakyatnya. Lantas, menurut Anda, apakah duet Paslon Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024 akan mampu memuwujudkan mimpi bersama untuk menjadi negara benevolen? Pemimpin negara pemurah, pemimpin negara yang bervisi membahagiakan rakyatnya. Di rumah ada ayah, di istana presiden ada 'baba'. Semoga terwujud! Tabik!

Oleh. Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Semarang, Selasa: 23 April 2024

0 Komentar