Menyoal Kebijakan Impor Menjelang Hari Raya yang Terus Berulang


MutiaraUmat.com -- Setiap menjelang Hari Raya umat Islam, persoalan kelangkaan pangan terus berulang dan tidak kunjung usai. Dengan adanya peningkatan kebutuhan masyarakat semestinya dapat diprediksi dan terantisipasi agar semua kebutuhan terpenuhi. Permintaan yang kian tinggi justru tidak diimbangi dengan produksinya dan ini terjadi setiap menjelang hari raya.

Tak khayal, lagi-lagi impor menjadi jurus andalan untuk menyelamatkan kelangkaan pangan. Padahal para petani dan peternak lokal kerap mengalami kerugian atas kebijakan impor. Bisa diketahui Indonesia adalah negeri agraris. Apakah negeri tercinta ini sudah kehilangan kesuburan tanahnya sehingga sulit memproduksi pangan sendiri? 


Stok Menipis, Impor Andalannya

Ya, menjelang hari raya umat Islam demi memenuhi kebutuhan masyarakat impor dijadikan jurus andalannya. Daging sapi dan beras khususnya, sebab daging sapi adalah makanan yang diburu saat Hari Raya dan beras merupakan makanan pokok masyarakat. Lantaran daging sapi dianggap makanan mewah yang kudu dihidangkan pada hari yang istimewa.

Sapi hidup maupun dagingnya hasil impor akan datang menjelang lebaran ungkap Badan Pangan Nasional (Bapanas). Menjelang lebaran tahun 2024 ini sebanyak 2.350 sapi diimpor dari Australia. Volume impornya pada tahun ini mencapai 145 ribu ton. (CNN Indonesia, 20/3/2024).

Merujuk data Badan Pangan Dunia (FAO), per tahunnya angka konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia sebesar 2,57 kg per kapita. Kebutuhan konsumsi daging sapi nasional tahun 2024 ini diperkirakan mencapai 720.375 ton, ini bukan angka yang kecil. Jika dilihat dari data Bapanas per 27 Januari 2024, sejatinya produksi dalam negeri hanya 422.649 ton.

Begitu pula dengan beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan lebaran tahun 2024 ini Bapanas akan mengimpor sebanyak 22 ribu ton beras dari Kamboja.Jadi, Bulog sudah mengantongi izin impor beras sebanyak 2,5 juta ton sebab rata-rata kebutuhan konsumsi beras per bulan yakni mencapai 2,55 juta—2,56 juta ton.


Kebijakan Kapitalistik

Persoalan pangan di negeri ini memang amat pelik. Meski negeri agraris namun sudah kecanduan dengan impor. Jika tidak impor terasa makan tanpa garam. Persoalan hulu (produksi), tengah (distribusi), dan hilir (kebutuhan masyarakat), semua itu semestinya kudu diselesaikan dengan kebijakan yang tegas dan fokus. Sebab berhubungan dengan kebutuhan orang banyak. Namun apadaya, kebijakan yang ada hanya menguntungkan bagi mereka pemilik modal, ya cenderung kapitalistik.

Kebijakan beralih fungsi lahan yang telah amat jelas terlihat menghambat ekstensifikasi produk pertanian. Lahan subur yang semestinya digunakan para petani untuk menanam tanaman, malah mereka berikan izin untuk dialihfungsikan menjadi gedung-gedung mewah pencakar langit. Perusahaan-perusahaan besar berdiri dan investasi yang mereka punya juga menggilas lahan pertanian milik rakyat.


Islam Solusinya

Dari gambaran persoalan yang ada, sangat jelas bahwa kebijakan yang pemerintah keluarkan lahir dari kapitalistik. Sistem kapitalisme inilah yang telah menghalangi terwujudnya negara mandiri. Oleh sebab itu, meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mewujudkan swasembada pangan, tidak akan memberikan hasil yang baik. Jika selama sistem pemerintahannya yang dipakai adalah kapitalisme. 

Berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan Islam yang memiliki aturan turun dari Allah. Sistem Islam mewajibkan negara berdaulat dan mandiri, termasuk persoalan pangan. Kebijakan yang dikeluarkan juga independen dan jauh dari intervensi berbagai pihak. Alhasil, kebijakan yang dikeluarkan yang berbasis kemaslahatan umat.

Negara akan berupaya semaksimal mungkin untuk ekstensifikasi pertanian dan peternakan. Negara dengan daratan dan lautan luas, sangat mengoptimalkan kebijakan ekstensifikasi. Negara akan benar-benar selektif dalam memberi izin pembangunan pada lahan subur. Mengingat kebutuhan pangan di masyarakat yang tinggi, maka harus diimbangi dengan produksi yang tinggi pula. 

Lebih dari itu, negara juga akan memberikan jaminan kesejahteraan terhadap seluruh rakyatnya. Bukan hanya konsumen saja yang diperhatikan agar mendapat pangan murah. Namun, kesejahteraan produsen pun—petani dan peternak—akan sangat diperhatikan. Misal, dengan memberikan subsidi atau suntikan modal, hal ini juga dapat menjamin keadilan pasar bagi mereka.

Semua itu akan dapat terwujud jika negara menggunakan sistem Islam sebagai solusinya. Mewujudkan kedaulatan pangan tidak hanya berbicara swasembada pangan saja. Lebih dari itu, harus ada upaya penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Sebab, hanya dengan Islamlah yang dapat memberikan jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Kesejahteraan yang diberikan tidak hanya saat Hari Raya saja. Melainkan setiap waktu dan setiap saat ketika rakyat membutuhkan. Stabilitas harga pangan juga akan terjamin dan stok melimpah tanpa harus impor. Wallahu a'lam bishshawab. []


Nisaa Qomariyah
Aktivis Muslimah

0 Komentar