Menjadi Advokat Progresif: Masihkah Ada Ruang di Pengadilan?


MutiaraUmat.com -- Kebanggaan kita sebagai insan hukum, tampaknya harus segera dievaluasi karena banyaknya lulusan dan ahli-ahli hukum yang ada tidak linier dengan peningkatan kualitas penegakan hukum di dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini disinyalir oleh Brian Tamanaha dalam bukunya: "Failing Law Schools" (2012). Termasuk kasus korupsi yang meroket di negeri ini, bahkan Menkopolhukam berani menuntut supaya Perguruan Tinggi turut menjadi terdakwa sebagai salah satu penyebabnya. Benarkah demikian, lalu bagaimana dengan para advokat yang juga dihasilkan oleh Perguruan Tinggi? Dapatkah seorang advokat menjadi penegak hukum progresif agar kualitas penegakan hukum dapat linier dengan membanjirnya advokat yang "handal"?

Pasca penetapan hasil pemungutan suara dalam pemilu 2024, gugatan terhadap hasil pemilu dilayangkan oleh pihak yang merasa dirugikan, yakni paslon 01 dan 03. Gugatan ini berupa permohonan agar hasil pemilu, khususnya pilpres dibatalkan oleh MK karena disinyalir banyak bukti kecurangan yang terjadi dalam proses pemilu yang diyakini berpengaruh terhadap hasil pilpres 2024. Beracara di muka pengadilan pasti melibatkan penasihat hukum atau disebut juga advokat atau pengacara. Banyak ragam karakter pengacara, namun kata Arteria Dahlan (Anggota Komisi III DPRRI) di forum Rapat Kerja Komisi III DPR bersama Menkumham pada hari Selasa tanggal 8 Juni 2021:

“Advokat yang ‘sukses’ hanya 1 persen. Sisanya makelar kasus (markus) atau mafia kasus, kaki tangan penegak hukum, suruhannya polisi/jaksa/hakim, narikin duit, lobi kiri-kanan. Bahayanya Advokat tempat simpan uang para penegak hukum,”.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa 99% pengacara itu dapat disebut sebagai pengacara hitam (black advocate) yang tugasnya itu sebagai makelar kasus (markus), penghubung klien dengan penegak hukum (negosiator), tempat menyimpan uang "haram" dll. Hanya ada sekitar 1 % yang disebut sebagai pengacara baik (good advocate) atau saya sebut saja advokat progresif.

Disebut sebagai advokat yang progresif karena berani membela kebenaran dan keadilan secara lugas memiliki karakter "braveness" and "vigilante". Bukan advokat yang berprinsip maju tak gentar membela yang bayar. Namun, sayang sekali karakter progresifnya sebagai advokat penegak hukum seringkali dilemahkan dengan substansi hukum (UU) dan pelaksanaannya yang ditengarai sangat represif yang sering mengatasnamakan "serba harga mati".

Tiga ideologi besar dunia (liberalisme, sosialisme-komunis dan Islam) yang mem-back up sistem pemerintahan negara pun---termasuk sistem hukumnya--- akhirnya akan terus bersaing menembus kejumudan di antara mereka. Tidak ada yg abadi kecuali ketidakabadian itu sendiri. Tidak ada harga mati kecuali kematian itu sendiri. Dengan demikian hidup itu mesti progresif, bukan pasif apalagi regresif. Jadi sesungguhnya, adakah harga mati itu, kepastian yang tiada dapat ditawar? 

Harga mati itu sebuah sistem yang sebenarnya bertentangan dengan hukum alam yg panthareih! Bila suatu sitem hukum bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum alam, maka dapat diprediksikan hukum itu akan melahirkan banyak ketidakadilan dalam penegakkannya. Sistem hukum manusia dengan demikian tidak boleh bertentangan dengan hukum alam dan dengan demikian sistem hukum itu hendaknya progresif.

Ada yang menarik dari sekian pendapat tentang hukum progresif, yakni tentang pertanyaan “hukum progresif: apanya yang progresif”? Apakah mungkin hukum itu progresif? Bukan hukumnya yang progresif tetapi penegakan hukumnya kan?” Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu kita kembali kepada ontologi hukum progresif. Dari aspek ontologi, konsep tentang hukum dalam hukum progresif dimaknai sebagai “not only rules and logic but also behavior”

Jadi, yang progresif itu bukan hanya persoalan penegakannya (behavior) tetapi juga materi/substansi (rules) termasuk cara menggunakan logika (logic) hukumnya. Sejak UU Kekuasaan kehakiman 1970 ada, materi hukum sudah progresif, memberikan ruang kepada hakim untuk tidak tepaku pada bunyi undang-undang, melainkan diwajibkan juga untuk menggali nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Hal itu terus diusung hingga UU Kekuasaan terbaru yaitu UU No. 48 Tahun 2009, Pasal 5 ayat (1). 

Selanjutnya tengoklah UU tentang Kepolisian NRI (UU No 2 Tahun 2002, Pasal 18 (1) menyebutkan bagaimana polisi diperbolehkan untuk melakukan tindakan hukum atas pertimbangan ‘penilaian sendiri’ demi kepentingan umum, belum lagi UU tentang Sistem Peradilan Anak, yang justru memberikan ruang untuk dilakukan diversi dalam menyelesaikan perkara pidana yang melibatkan anak. Hal tersebut membuktikan bahwa hukum dalam arti peraturan perundang-undangan pun dapat bersifat progresif, bukan hanya penegak dan proses penegakannya.

Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 18 Tahun 2003 Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam proses penegakan hukum di Indonesia, seringkali ditemukan anomali. Anomali itu bisa berupa misteri dalam pencarian keadilan. Irsyad Thamrin mengatakan ada misteri yang harus dipecahkan karena hingga kini kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum masih rendah. Menurut Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Yogyakarta (2014) itu, ada lima misteri yang harus dipecahkan, yakni:

(1) Misteri informasi yang hilang, 
(2) Misteri keadilan, 
(3) Misteri kepekaan politik, 
(4) Misteri pelajaran yang hilang dari Sejarah Negara-negara maju;
(5) Misteri kegagalan reformasi hukum.

Untuk mengurai misteri itu dibutuhkan hukum yang tidak konvensional lagi serta dibutuhkan keberanian untuk menjadi mujahid (pejuang kebenaran dan keadilan) melalui rule breaking. Hukum progresif merupakan salah satu jawaban atas pemecahan misteri itu. Mengapa? Hukum progresif menerobos kejumudan (kekakuan) berpikir, hukum progresif memandang manusia lebih tinggi dibanding hukum buatan manusia. Hukum progresif diabadikan untuk manusia, bukan hukum untuk hukum apalagi manusia untuk hukum. Pertanyaannya, bagaimana advokat mengejawantahkan hukum progresif dalam kehidupan profesionalnya?

Advokat dapat memaknainya di level gerakan. Advokat memaknai hukum progresif di ranah praktek penelitian hukum, pembelaan terhadap kasus-kasus. Terutama membela kepentingan masyarakat miskin yang banyak tak tertangani, orang lemah, termarginalkan dari sisi kekuasaan. Tinggal bagaimana membangun spirit pembelaan terhadap masyarakat miskin itu. Memahami hukum progresif membawa advokat melakukan pembelaan atas kasus-kasus kaum marjinal, melakukan terobosan-terobosan hukum dalam pembelaan itu. Orang yang tidak mampu seharusnya tidak menerima hambatan; dan sebaliknya perlu difasilitasi advokat agar memperoleh sumberdaya hukum yang sama dengan orang kaya atau berkuasa. 

Salah satu media yang paling tepat untuk mengejawantahkan hukum progresif dalam penegakan hukum kita adalah melalui pemberian bantuan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan oleh advokat, cara yang ditempuh dapat berupa: Pemberian Bantuan Hukum Struktural.

Dalam buku Bantuan Hukum di Indonesia, Adnan Buyung pernah menulis tentang rumusan bantuan hukum struktural untuk diterapkan di Tanah Air. Bantuan hukum ini merupakan pergeseran paradigma di kalangan hukum, yang saat itu menganggap bantuan hukum kepada rakyat kecil atau tertindas sebagai bentuk amal atau charity, dan dilakukan oleh individu. Dalam konsep bantuan hukum struktural, bantuan hukum yang tadinya dilakukan oleh individu kemudian mengalami pergeseran, dan dilakukan oleh sebuah lembaga. 

Bantuan hukum tidak lagi didapatkan sebagai bagian dari amal suatu individu, tetapi menjadi hak yang harus didapatkan warga negara, terutama rakyat kecil. Karena itu, LBH didirikan untuk menjamin pelaksanaan bantuan hukum struktural.  

Melalui bantuan hukum struktural, advokat dapat melakukan pendekatan hukum progresif. Advokat dituntut mampu mengkombinasikan antara hukum, nilai keadilan, pendekatan ke masyarakat, pengorganisasian, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua itu digunakan advokat dalam ranah pembelaan hukum. Hal inilah yang diharapkan mampu menginisiasi para advokat bertindak sebagai penegak hukum progresif. 

Para advokat sudah saatnya untuk mengubah mindset untuk berprinsip: maju tak gentar membela yang bayar. Prinsip ini harus diingsut menjadi: maju tak gentar membela yang benar. Marc Galanter pernah mensinyalir adanya advokat “hitam” yang pekerjaannya sering melakukan pembelaan kepada siapapun yang penting membayar cukup apalagi lebih. Para advokat ini sudah kehilangan idealisme dan kemanusiaannya. Pelayanan hukum sudah berubah menjadi produk jasa yang dijual. Para klien diharuskan membayar (charged) sesuai dengan waktu (the fraction of the hour) yang digunakan oleh para lawyer untuk melayani kliennya. Galanter mengatakan dalam bahasa sindiran:

A good lawyer is like a good prostitute” If the price is right, you warm up your client..” Apakah Anda mau menjadi advokat model seperti itu? Kita seharusnya jangan membiarkan terjatuh dalam praksis kepengacaraan seperti yang dikritik Galanter tersebut. Moral konstitusi kita menjujung tinggi “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang tentu saja kandungan moral tersebut dikehendaki untuk menyebar ke seluruh bidang dan pekerjaan di negeri ini termasuk bidang peradilan, include di dalamnya adalah dunia advokat. Konstitusi kita memberikan amanat agar peradilan di Indonesia lebih berjalan di sisi idealism, seperti menolong orang susah, daripada menajalankannya sebagai tempat mencari untung. Maka, para advokat mesti ada dalam satu barisan advokat progresif untuk bersama-sama menegakkan kebenaran dan keadilan ini. Sebaiknya "orang hukum" terus mendorong agar penegakan hukum di negeri ini dijalankan dengan ilmu hukum bukan "ilmu amplop". Amplop-amplop itu sungguh bisa membuat bifurkasi hukum, bahkan akan terjadi keadaan: imanuhum fi amplofihim".

Terus majulah advokat progresif! Teruslah berusaha menjadi Advokat Progresif yang menempatkan manusia di atas hukum. Hukum untuk keluhuran umat manusia, bukan hukum untuk keluhuran hukum semata (fiat justisia ruat ceolum) apalagi menjadikan manusia untuk hukum.

Semarang, Senin, 1 April 2024

Tabik..!!! []


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

0 Komentar