Mekanisme Islam Memberantas Korupsi

MutiaraUmat.com -- Kasus korupsi seperti tak ada matinya, bahkan semakin menjadi di negeri ini.
Kejaksaan Agung (Kejagung) membeberkan kerugian negara yang disebabkan oleh dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS) tahun 2015 sampai dengan 2022.

Kasus tersebut saat ini menjadi sorotan publik setelah sejumlah nama beken ikut menjadi tersangka dan ditahan Kejagung, termasuk di antaranya crazy rich PIK Helena Lim dan suami dari pesohor RI Sandra Dewi, Harvey Moeis.

Sebelumnya, disebutkan bahwa kerugian ekologis, ekonomi dan pemulihan lingkungan dari korupsi tersebut dari hasil perhitungan ahli lingkungan IPB Bambang Hero Saharjo mencapai Rp 271 triliun. Perhitungan tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2014.

Dalam kasus ini, nilai kerusakan lingkungan terdiri dari tiga jenis. Pertama, kerugian ekologis sebesar Rp 183,7 triliun. Kedua, kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 74,4 triliun. Ketiga, kerugian biaya pemulihan lingkungan mencapai Rp 12,1 triliun (cnbcindonesia.com, 30/3/2024).

Sebagai informasi dilansir dari bisnis.com (28/3/2024) Kejagung mengawali penyidikan kasus ini sejak Oktober 2023. Pengungkapan kasus ini pun diumumkan berurutan terhitung sejak Januari 2024.

Toni Tamsil, dari pihak swasta, menjadi tersangka pertama dalam kasus ini, lantaran berupaya menghalang-halangi penyidikan pada Selasa (30/1/2024). Kemudian, Kejagung mulai menetapkan tersangka secara bergiliran, termasuk tiga orang di antaranya merupakan penyelenggara negara atau petinggi PT Timah. 

Ketiga orang itu adalah Riza Pahlevi (RZ) selaku eks Direktur PT Timah, Emil Emindra (EE) sebagai Direktur Keuangan PT Timah 2017–2018 dan eks Direktur Operasional dan Pengembangan Usaha PT Timah, Alwin Albar (AW). Kemudian, 11 lainnya berasal dari pihak swasta atau pengusaha yang diduga berkaitan dengan kasus tata niaga komoditas timah ilegal ini, yakni Tamron alias Aon, Helena Lim hingga Harvey Moeis.

Kasus korupsi yang terus berulang di negeri ini adalah bukti kerusakan moral dan kegagalan sistem yang diterapkan di negeri ini, yaitu kapitalisme sekularisme. Sistem yang menjadi asas dalam bernegara ini, tidak akan pernah mampu memberantas korupsi. Sekularisme, yakni pemisahan aturan agama dari kehidupan telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Saat para pejabat menjalankan kekuasaan, bukannya amanah malah menjadi penghianat rakyat. Kekuasaan diterjemahkan sebagai ladang tempat mengumpulkan harta meski dengan cara haram sekalipun. Kekuasaan dijadikan alat untuk memukul siapapun yang menghalangi kepentingan mereka.

Kebijakan yang dirumuskan juga bukan untuk rakyat, tetapi untuk melindungi kepentingan kolega dalam lingkaran oligarki kekuasaan. Ditambah lagi regulasi yang dibuat oleh akal mereka sendiri menjadikan celah korupsi lebih mudah diadakan. Alhasil menyelesaikan kasus korupsi dengan sistem kapitalisme sekulerisme hanyalah mimpi di siang bolong.

Inilah gambaran penguasa dalam politik demokrasi. Ini menjadi bukti rusaknya moral individu negeri ini. Sebab standar kebahagiaan dalam pandangan mereka sebagai masyarakat kapitalis adalah materi. 

Sehingga mengejar harta sebanyak-banyaknya meski melalui jalan yang haram adalah hal yang mutlak dalam sistem bobrok ini. Dari sini nampak jelas bahwa korupsi adalah merupakan keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalis.

Mekanisme Islam Mencegah dan Memberantas Korupsi

Hanya Islam yang memiliki mekanisme yang jitu untuk mencegah dan memberantas korupsi hingga tuntas. Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah, tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga dihadapan Allah SWT di akhirat kelak.

Karena itu, sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tidak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem Islam mencegah sedari dini manusia untuk memiliki niat korupsi di awal.
Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistematis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi.

Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah korupsi antara lain;

Pertama, penerapan ideologi Islam. Penerapan ideologi Islam meniscayakan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam hal kepemimpinan. Karena itu, dalam Islam pemimpin negara atau khalifah diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunah. Begitupun pejabat lainnya, mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariah Islam.

Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan _zuhud._ Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, khilafah menetapkan syarat taqwa sebagai ketentuan selain syarat profesionalitas. Ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Para penguasa dalam sistem Islam paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanyalah sarana untuk mewujudkan izzul Islam wal Muslimin bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.

Ketiga, pelaksanaan politik secara syar'i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah _ri'ayah syar'iyyah,_ yaitu bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam bukan politik yang tunduk pada kepentingan oleh oligarki, pemilik modal atau elit rakus.

Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek Jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan penguasa dan para pejabat tentu penting, namun sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng itu jauh lebih penting. Sistem itu adalah Khilafah Islamiah yang berasaskan akidah Islam dan menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya aturan yang diterapkan.[]

Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar