Mega Korupsi Berjamaah, Buah kapitalisme Serakah


MutiaraUmat.com -- Lagi-lagi, tersangka kasus korupsi dalam bentuk pencucian uang ditangkap. Seolah-olah tidak ada habisnya para pelaku koropsi di negeri ini. setiap tahun masyarakat disuguhkan dengan persoalan yang sama, yaitu korupsi. Tetapi hukuman yang diadopsi tidak kunjung memberikan efek yang mampu menyadarkan para pejabat maupun penguasa pelaku korupsi.

Seperti kasus mega korupsi yang sedang ramai diberitakan minggu ini, terkait tambang timah. Berita cnbcindonesia.com mengabarkan bahwa Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan, Agung Kuntadi, mengungkapkan keterlibaran peran Harvey Moeis dalam kasus mega korupsi tambang timah.

Diketahui bahwa Haervey adalah suami dari seorang artis terkenal tanah air, yaitu SD. Bukan hanya itu, nama lain yang terlibat dalam kasus tersebut adalah seoarang crazy rich, Helena Lim.
Menurut laporan Kejagung oleh Kuntadi, sekitar 2018 sampai 2019, Harvey selaku perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT) diduga menghubungi Direktur Utama PT Timah yang saat itu dijabat oleh Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, yang terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka sebelum Harvey.

Menurut Kuntadi, Harvey meminta Riza mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah. Setelah beberapa kali pertemuan, disepakati adanya kegiatan sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Atas keterlibatan kegiatan tersebut, Kejagung menjerat Harvey dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kejagung juga menahan Harvey di Rumah Tahanan negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung untuk 20 hari pertama sejak 27 Maret hingga 15 April 2024.


Korupsi Berjamaah, Buah Kapitalisme Serakah

Korupsi di tanah air, bukan lagi sekadar menjamur tetapi sudah membudaya. Selain jumlah uang yang dirampok atau disalahgunakan kian fantastis, keterlibatan pelakunya juga semakin ramai alias berjamaah.

Tentu untuk melakukan pencurian atau ketidakjujuran yang sistemis, harus ditopang dan dibantu oleh beberapa oknum serta kebijakan yang melindunginya. Sehingga perbuatan maksiat korupsi bisa terlaksana dengan mulus dan tanpa celah. Meskipun pada akhirnya, bisa tercium oleh petugas yang berwenang, tetapi belum mampu memberikan penurunan signifikan terhadap praktik korupsi dan sejenisnya.

Kasus tambang timah apapun namanya, korupsi maupun pencucian uang, tetaplah melahirkan kerugian negara sebab keserakahan yang lahir dari penerapan ideologi kapitalis. Setiap pemegang amanah kekuasaan menjadi gelap mata dan berani menabrak rambu-rambu keimanan karena yang jadi tujuan hidup hanya demi pencapaian materi sebanyak-banyaknya.

Meskipun hidup sudah hidup berkecukupan atau berlebihan, masih ingin terus menumpuk materi hingga bergaya hidup glamor. Atau sekarang juga disebut dengan gila harta (crazy rich). Padahal, duit yang dihasilkan dari mega korupsi yang horor.

Tidak tanggung-tanggung, jumlah yang dimainkan oleh tersangka Harvey bernilai 271 triliun rupiah. Sebagian menjelaskan bahwa itu jumlah kerugian negara bukan jumlah yang diambil oleh pelaku. Sebab setelah harta pelaku dikalkulasi oleh pihak berwenang, hanya berkisar puluhan miliar saja.
Belum lagi, Harvey hanyalah tersangka ke-16. Artinya, tersangka nomor wahid hingga ke 15 berpeluang telah melakukan kerugian yang lebih besar lagi, bukan?

Namun, perjalanan proses hukum di negeri ini telah dipertontonkan berkali-kali dengan kejangggalan dan ketidakadilan. Pelaku yang dianggap tidak mampu melakukan pembelaan diri dengan hukum karena tidak memiliki kekuatan politik, kerap kali dikorbankan. Sementara pelaku utama atau actor on the top-nya lebih sering lolos bahkan menghilang bak ditelan bumi.

Sebut saja kasus BLBI, kasus Harun Masiku di masa Covid-19, dan mega korupsi Asabri. Semuanya melibatkan orang-orang penting dalam pusaran elit-elit penguasa yang tidak bisa tersentuh oleh hukum.

Terkadang, pelaku yang ditangkap hanya untuk meningkatkan citra rezim dan menarik simpati masyarakat di saat-saat situasi politik yang bisa dimanfaatkan. Atau sebagai sandera bagi lawan politik yang tidak patuh pada kebijakan pembagian jatah, karena dianggap membahayakan eksistensi pihak-pihak tertentu. Makanya harus ada yang dikorbankan.

Hakikatnya, para pemilik kekuasaan yang berselingkuh dengan para pemodal tentu saja hanya ingin menyelamatkan kursi dan keuntungannya. Tidak masalah apakah caranya halal atau haram. Sebab dalam wacana ideologi kapitalis, haram dan halal bukan standar perbuatan. Melainkan hanya berpatok pada hitungan untung-rugi.

Jalan menuju korupsi atau praktik pencucian uang negara pun dalam kapitalisme memberikan banyak celah. Seperti contoh kasus tambang timah, ada istilah dana CSR (corporate social responsibility) dari para pengusaha. Dana CSR memang selalu dianggarkan oleh perusahaan-perusahaan besar yang konon katanya sebagai bentuk kepedulian sosial atau kegiatan amal sosial.

Namun, menurut Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) mengungkapkan bahwa, dana CSR sering dijadikan sebagai kedok untuk mengalirkan dana hasil kejahatan. Terutama untuk memfasilitasi sarana dan fasilitas, baik para pemilik smelter maupun untuk dirinya sendiri.

Dan dana CSR tersebut masih menurut SAKSI UnMul, fungsinya ibarat alat cuci dosa terhadap kejahatan lingkungan yang dilakukan perusahaan. Dana CSR ini jugalah yang kerap digunakan untuk memutihkan pelanggaran perusahaan.

Atau dengan kata lain, dana CSR cenderung menjadi jalan menuju kejahatan korupsi berkedok dana sosial. Selain itu, juga sebagai sarana untuk menarik simpati masyarakat sekitar agar tetap tutup mulut dsn tidak ribut dengan perusahaan-perusahaan yang merampok hasil bumi baik illegal maupun kerjasama dengan para pejabat/penguasa (kelompok oligarki).

Walhasil, para pelaku korupsi akan menikmati hasil dosanya dengan bergelimang harta duniawi. Terkadang meskipun sudah banyak menumpuk harta, tetap saja dirasa tidak cukup karena nafsu setan terus-menerus menggerogoti untuk melanjutkan maksiat korupsi.

Kerakusan jiwa-jiwa kapitalis menjadi bukti nyata dari buah penerapan kapitalisme di negeri ini. Hasil kekayaan alam pertiwi hanya dinikmati segelintir elit korporat dan oligarki yang bermain. Sementara rakyat, hanya gigit jari dan dihipnotis dengan dana-dana sosial, itupun ala kadarnya karena juga dipangkas oleh para koruptor.

Padahal seharusnya seperti tambang timah, dan tambang-tambang lainnya di bawah naungan plat merah (BUMN) adalah harta rakyat yang diamanahkan untuk dikelola negara, demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat seluruhnya. Bahkan tujuan tersebut telah jelas tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 yang bertuliskan bahwa semua kekayaan alam dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah, defenisi rakyat manakah yang dimaksud? Rakyat secara umum atau khusus, yaitu para elit kapitalis dan penguasa?


Tuntas Korupsi Hanya dengan Syariat Islam

Korupsi adalah sebuah kejahatan atau dosa besar. Karena selain merugikan pelakunya secara individu, dan nama baik di kehidupan sosialnya, ia juga telah merugikan negara yang menanggung hajat hidup jutaan manusia.

Hasil korupsi Harvey yang disebut telah merugikan negara sebesar 271 triliun rupiah, jika dialihkan ke urusan rakyat yang lain, tentu sudah mampu menutupi beberapa perkara. Misalnya mengalihkannya ke pengangkatan para guru-guru honor yang nasibnya masih terombang-ambing. Atau meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat. Bahkan bisa juga menggratiskan bahan pokok seperti penyaluran beras secara gartis kepada rakyat.

Namun, tentu memberikan kebutuhan kepada rakyat secara cuma-cuma adalah perkara terlarang dalam negara yang mengadopsi kapitalisme, sebab tabiatnya kapitalisme bukan mensejahterakan melainkan menyengsarakan.
Oleh karena itu, menyelesaikan kasus korupsi baik yang mega, medium, maupun sedikit tidak akan dapat dituntaskan kecuali dengan penerapan syariat.

Islam memandang korupsi sebagai kemaksiatan yang pelakunya harus mendapatkan hukuman yang tidak main-main. Tergantung jumlah kerugian yang dikorupsi. Bisa berlaku potong tangan, maupun takzir melalui keputusan seorang Qadhi (hakim).

Beberapa negara di dunia saat ini, menerapkan hukuman bagi para koruptor yang terbukti bersalah dengan hukuman memiskinkan pelakunya, hukuman gantung, maupun mati. Sementara di Indonesia, hukumannya jauh lebih mengerikan, karena yang dipotong bukan tangan pelakunya, melainkan masa tahanannya.

Ketegasan hukum bagi pelaku kejahatan atau kemaksiatan sejatinya tidak boleh dengan rasa kasihan sehingga memberatkan hakim dalam menjatuhkan hukuman. Karena hukum dalam perspektif Islam berfungsi sebagai pencegah dan penebus dosa.

Sangat berbanding terbalik dengan hukum dalam pelukan kapitalisme. Hukum hanya untuk menakut-nakuti bagi sebagian orang yang tidak memiliki power atau cuan. Sedangkan bagi mereka yang punya, hukum bisa diperjual-belikan, juga bisa dengan transaksi pesanan.

Jika negeri ini menerapkan hukum Islam, tentu koruptor tidak akan berkembang bahkan cenderung bisa dihentikan maupun dicegah. Sebab para penguasanya akan dibimbing bertakwa. Masyarakat juga dijaga dengan syariat Islam sehingga muncul amar makruf nahi mungkar. Negaranya pun dijaga oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga menghadirkan rahmat bagi seluruh penjuru negeri. Allahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
(Analis Mutiara Umat Institute)

0 Komentar