MutiaraUmat.com -- Masihkah kita berharap bahwa Mahkamah Konstitusi bisa menunjukkan bahwa demokrasi kita bukan demokrasi angka-angka (
numeric democracy) dan sebagai konsekuensinya Mahkamah Konstitusi tidak boleh menasbihkan diri sebagai mahkamah kalkulator. Para hakim Mahkamah Konstitusi diharapkan tetap berpegang teguh pada Tiga Prinsip Hukum Alam sebagaimana dinyatakan oleh Ulpianus, yakni:
1. Honeste vivere ( jujurlah dalam kehidupanmu);
2. Alterum non laedere ( janganlah merugikan orang lain di sekelilingmu);
3. Suum cuique tribuere ( berikanlah kepada orang lain apa yang menjadi haknya).
Terkait dengan 3 prinsip hukum alam ini, pada PHPU 2019 semula saya merasa sangat berbahagia karena MK telah menjadikan ayat Al Quran sebagai panji-panji dalam menyelesaikan perkara yang dihadapinya. Panji-panji itu sebenarnya menunjukkan bahwa kita tengah berada dalam "Negara Hukum Transendental".
Ayat Al Quran tersebut adalah QS. An Nisaa ayat 135 sebagaimana tersebut di bawah ini:
۞ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
'(Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan)."
Tanpa bermaksud mengecilkan ajaran dari agama lain, tentu saja, para penganut agama non Islam juga mempunyai pedoman khusus bagi hakim yang tengah memeriksa suatu perkara.
Benarkah Hakim MK Hanya Takut Kepada Allah?
Sejak Ketua MK (Anwar Usman--yang sekarang akhirnya menjadi paman Gibran) menyatakan diri di awal persidangan sengketa hasil Pilpres 2019, bahwa beliau hanya takut kepada Allah, waktu itu besar sekali harapan saya agar beliau lebih mengutamakan rasa keadilan dari pada kepastian hukum (dalam state law). Mungkin saja sekarang pun beliau tetap merasa bahwa keputusannya telah on the track, merasa telah menghadirkan keadilan di tengah masyarakat karena fokus pada hasil perolehan suara pilpres dengan menyatakan berkali-kali bahwa dalil pemohon tidak beralasan, tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat dibuktikan menurut hukum.
Kalimat hanya takut kepada Alloh seharusnya dimaknai bahwa seseorang hakim harus punya braveness dan vigilante. Braveness untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman) ketika dia sedang dihadapkan dilema dalam 'conflict of interest'. Vigilante adalah karakter untuk menjadi mujahid yang mengutamakan pembelaan terhadap kebenaran, kejujuran dan keadilan, apa pun taruhannya. Setali tiga uang, pun belum lama ini Ketua MK pengganti Anwar Usman, yakni Suhartoyo juga telah menyatakan bahwa dalam kasus PHPU 2024 ini dirinya ingin dikenang sebagai hakim yang baik untuk rakyat Indonesia.
Lalu apa ukuran baik itu? Jika mengacu pada pendapat Emile Durkheim, ukuran baik buruk itu masyarakat mayoritas. Kalau Hakim Suhartoyo mengikuti pola pikir demikian, maka faktor jumlah pemilih Paslon 02 yang mayoritas (bahkan 2 kalinya dari seluruh jumlah pemilih paslon 01 dan 03), maka Hakim Suhartoyo akan memilih sebagai pribadi baik dengan "memihak" kepada 96 juta pemilih Paslon 02 dibanding dengan pemilih kedua paslon lainnya. Intinya, Ketua MK akan mengarah pada putusan untuk menolak seluruh gugatan (permohonan) paslon 01 dan 03 dan menguatkan Keputusan KPU terkait dengan hasil Pemilu 2024.
Lalu hendak dikemanakan kalimat: hanya takut kepada Allah dan menjadi hakim baik? Bila para hakim tidak lebih takut kepada Alloh dari pada yang lain, masihkah kita berharap para hakim "berjihad" menegakkan moralitas, khususnya keadilan dan kebenaran dalam berhukum? Mungkin putusannya itu memenuhi aspek legalitas, tetapi sebenarnya putusannya itu tidak legitimate karena putusan itu "cacat secara moral". Jika demikian, masihkah MK dan para "dewa hukum"-nya mempunyai marwah dan orientasi sebagai the guardian of constitution? Atau benarkah dugaan orang yang menyatakan bahwa MK telah menjadi penjaga rezim dan oligarki bahkan menjadi Mahkamah Kalkulator dan Mahkamah Keluarga?
Jika sudah kehilangan marwah dan orientasi karena telah menjadi penjaga rezim dan oligarki, lalu salahkah jika rakyat menuntut agar MK dibubarkan dan diganti dengan Pengadilan Rakyat untuk 'bringing justice and the truth to the people'? Jika para hakim MK tidak berani menerapkan hukum secara progresif melalui 'rule breaking' dalam menyelesaikan perkara--bukan sekedar memutus perkara--maka putusan terkait dengan PHPU 2024 sekarang pun akan berakhir dengan putusan yang jauh dari harapan besar akan hadirnya kejujuran, keadilan dan kebenaran.
MK akan dinilai rakyat telah makin kehilangan marwah dan orientasinya sebagai 'the guardian of constitution and ideology' dan dengan demikian maka makin bopeng pula potret MK negeri ini. MK bukan lagi akronim dari Mahkamah Konstitusi melainkan telah menjelma menjadi Mahkamah Kalkulator dan Mahkamah Keluarga. Ironis!
Tabik..!!
Semarang, Kamis: 18 April 2024
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
0 Komentar