Kisruh Pajak THR di Tengah Merebaknya Kasus Korupsi

MutiaraUmat.com -- Bagaimana rakyat tidak muak? Di tengah himpitan hidup yang mereka rasakan, sejumlah kewajiban pajak pun terus dibebankan. Nyaris tidak ada harta kekayaan milik rakyat yang tidak kena pajak. Mereka yang menolak, akan ditonjok dengan slogan, “Apa kata dunia?” dan dicap sebagai warga yang tidak taat pada negara.

Di satu sisi, kasus korupsi dan skandal mafia pajak terus menjamur. Padahal sejauh ini, gaji dan tunjangan para pegawai pajak tergolong paling tinggi di antara pegawai lainnya. Akan tetapi, keberadaan mafia pajak memang sudah dimaklumi secara terbuka, mulai level bawah hingga level pejabat.

Jelang idul fitri kemarin, tunjangan hari raya (THR) yang diberikan pekerja swasta dikenai pajak. Pegawai swasta tersebut dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai pasal 21. Pemotongan ini langsung dilakukan oleh perusahaan untuk disetorkan ke kas negara. Bahkan perhitungan pajak ini dilakukan dengan metode tarif efektif rata-rata mulai 1 Januari 2024. Pemotongan pajak dengan metode tarif efektif rata-rata (TER) ini disebut-sebut lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Tak heran jika kebijakan ini membuat publik kaget dan protes.

Namun, direktur penyuluhan pelayanan dan hubungan masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Dwi Astuti membantah tudingan tersebut. Menurutnya tidak ada perubahan beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. (tirto.id, 27/3/2024).


Kebijakan Zalim

Dalam sistem sekuler kapitalisme, pajak memang menjadi sumber terbesar bagi pemasukan keuangan negara yang sifatnya memaksa dan dipungut dari rakyatnya sebagai hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara.

Maka, kebijakan pajak THR tidaklah mengejutkan, kebijakan ini justru makin menunjukkan tata negara yang saat ini diatur menggunakan sistem kapitalisme. Sistem kapitalime merupakan sebuah sistem kehidupan yang berorientasi pada keuntungan materi semata. 

Tak hanya itu, mental para pejabat negara pun banyak yang diragukan. Pamer kemewahan seakan menjadi tujuan dalam hidupnya. Korupsi jadi budaya, dan setiap melihat celah yang menghasilkan cuan, mereka lupa diri dan tak peduli halal haram. Maka wajar, jika kehidupan masyarakat jauh dari kesejahteraan. Bayang-bayang kezaliman terus menghiasi keseharian mereka. Hidup para penguasanya pun jauh dari keberkahan. Uang haram yang dimakan keluarga, menjauhkan mereka dari hidup tenteram dan damai. 

Padahal, sistem ini berbahaya batil bahkan zalim ketika diterapkan. Seperti hari ini negara yang seharusnya menjadi pelayan rakyatnya, justru malah menjadi negara pemalak bahkan menganggap pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara. Maka, tidak mengherankan jika negara kerap membuat kebijakan untuk melegalkan pemungut pajak seperti kebijakan pajak THR ini. 


Pajak dalam Pandangan Islam

Sangat berbeda dengan mekanisme sumber pemasukan negara yang diatur oleh sistem Islam. Islam memiliki sumber pemasukan negara yang bermacam-macam dan jumlahnya sangat banyak. Diantaranya dari pos anfal, ganimah, fai, jizyah, kharaj, dan harta kepemilikan umum, berupa kekayaan alam seperti tambang, perairan, hutan, dll. Adapun harta kepemilikan negara seperti gunung, infrastruktur pantai, instalasi, bandara, pelabuhan, stasiun, dll. Ditambah usyur, rikaz, harta sitaan, harta orang murtad, khumus, dan sebagainya.

Seluruh harta-harta tersebut akan dikelola oleh lembaga keuangan negara yang disebut Baitulmal dan pengeluarannya diatur berdasarkan syariat. Dengan demikian, tidak ada lagi celah bagi para penguasa ataupun para pegawainya untuk melakukan tindakan curang. Sebab, sistem Islam memiliki tiga pilar yang akan menjamin tindakan curang tidak berkembang di tengah-tengah umat.

Pertama, adanya ketakwaan individu. Kedua, adanya kontrol masyarakat, berupa budaya amar makruf nahi mungkar. Ketiga, penegakan Islam secara kafah (menyeluruh) oleh negara yang memberantas berbagai kerusakan di tengah masyarakat. Oleh karenanya, Islam mengharamkan pajak dijadikan sebagai sumber utama pendapatan negara.

Dalam Islam, pajak akan dipungut saat sumber-sumber pemasukan negara sama sekali tidak ada hingga menyebabkan kas negara kosong, itu pun tidak semua warga negara dipungut pajak. Maka, yang dipungut hanya orang-orang kaya saja dan pemungutan tersebut akan dihentikan ketika kebutuhan negara sudah tercukupi.
Karena, memungut pajak tanpa hak dipandang sebagai keharaman. Rasulullah saw. bersabda,

 “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Di samping itu, Islam pun mewajibkan negara menjamin kesejahteraan rakyatnya melalui berbagai mekanisme, seperti menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi laki-laki. Jaminan tersebut merupakan bentuk jaminan tidak langsung dari negara agar masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka yang meliputi sandang, pangan, dan papan. 

Adapun jaminan kebutuhan dasar publik yang meliputi keamanan, kesehatan, dan pendidikan, semua kebutuhan tersebut akan dijamin secara langsung oleh negara. Sehingga semua masyarakat dapat menikmatinya secara cuma-cuma dengan kualitas terbaik.

Seperti inilah gambaran sistem Islam mengatur sumber pemasukan negara, pajak, dan jaminan kesejahteraan rakyat. []


Oleh: Mutiara Aini
Aktivis Muslimah

0 Komentar