Indahnya Idulfitri dalam Daulah Islam



Mutiaraumat.com -- Idul Fitri adalah momen merayakan kemenangan. Dalam Islam, hari raya merupakan salah satu syiar Islam yang agung. Dalam kekhilafahan, Idul Fitri dirayakan dengan penuh sukacita dan kemeriahan. Idul Fitri pertama kali dirayakan kaum Muslim tahun 2 H.

Perayaan Idul Fitri dalam negara khilafah dimulai dengan aktivitas rukyatul hilal syawal. Pada hari ke-29 Ramadhan, dilakukan pencarian hilal oleh para ahli di berbagai wilayah kekhilafahan. Jika ada yang melihatnya, maka diambil sumpah dengan saksi yang cukup. Jika tidak ada, maka puasa digenapkan menjadi 30 hari. 

Penentuan isbat ini dilakukan dan diumumkan oleh khalifah demi menyatukan suara kaum Muslim dalam berhari raya. Pada malam harinya, setelah hari raya ditetapkan khalifah, maka khalifah akan menyampaikan pidato kenegaraan. Ia mengucapkan selamat kepada seluruh umat Islam yang merayakan hari raya, mendoakan dan berpesan kepada para rakyatnya untuk tetap istiqamah dalam ketakwaan.

Lampu-lampu dinyalakan, seluruh penjuru daulah ramai mengumandangkan takbir dan tahlil, baik di jalan-jalan, rumah-rumah dan masjid-masjid, takbir dan tahlil ini terus dikumandangkan hingga pagi. Orang-orang berbondong-bondong mengeluarkan zakat fitrah sembari mengunjungi rumah tetangga dan  saudara untuk mendoakan dan mengucapkan selamat Idul Fitri.

Pada tanggal 1 syawal pagi, diadakan shalat Idul Fitri berjamaah. Pria, wanita, tua dan muda semuanya keluar dari rumah mereka dengan perasaan gembira. Orang-orang shalat di masjid mengenakan pakaian terbaik mereka dan saling mendoakan.

Semasa Khilafah Umayah pada tahun 661 M hingga 750 M, Idul Fitri disambut dengan merapikan tatanan taman dan masjid, seperti taman-taman dan masjid di Damaskus yang ditata dan diperbaiki penerangannya, jalan-jalan dipenuhi lampu-lampu cantik.

Di zaman Khilafah Abbasiyah, perayaan Idul Fitri berlangsung selama tiga hari bahkan Istana negara telah melakukan tradisi open house dengan jamuan makan-makan yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Ini merupakan salah satu cara yang digunakan oleh khalifah untuk mendekatkan diri dengan rakyat dan menjaring aspirasi mereka. Jalan-jalan di Baghdad diramaikan dengan musik dan pembacaan syair-syair Islami.

Di zaman kekhilafahan Ustmani, perayaan Idul Fitri semakin meriah. Perayaan Idul Fitri dilakukan 15 hari sebelumnya. Pada malam terakhir Ramadhan meriam ditembakkan dari istana Sultan, lampu-lampu di menara menara dinyalakan terang benderang. Keluarga-keluarga di Turki memiliki tradisi sungkem pada orang yang lebih tua, anak-anak diberi eidia berupa uang tunai dan permen. Di pasar ada banyak penjual mainan, minuman manis dan makanan. Orang-orang kaya akan mentraktir orang lain agar semuanya bisa mencicipi berbagai makanan. 

Tak lupa mereka juga berziarah ke pemakaman. Sebagian warga ada yang memilih menghabiskan sisa hari raya dengan bersantai dan melihat pertunjukan marching band dan militer kerajaan beserta teater siluet. Sultan akan pergi ke alun-alun untuk bertemu dengan masyarakat. 

Bahkan pada masa Sultan Selim II pada tahun 1566 M hingga 1574 M merayakan Idul Fitri selama tiga hari. Jalanan Istanbul penuh dengan orang yang mengunjungi kerabatnya. Sungguh meriah perayaan Idul Fitri dalam Daulah Islam. Masyarakat daulah bersama-sama berpuasa dan berhari raya bersama pula tanpa perdebatan peredaan waktu. Orang-orang begitu dermawan dan berbagi kebahagiaan dengan yang lainnya. Sehingga, tak ada satupun orang yang bersedih menyambut Idul Fitri.

Semua tradisi kaum Muslim tadi begitu mulia dan diadaptasi dari syariat Islam. Tidak seperti saat ini, penentuan awal dan akhir Ramadhan dan saja harus diwarnai dengan perbedaan pendapat yang memudarkan semangat persatuan dan kebersamaan kaum Muslim. 

Ketiadaan khalifahlah yang membuat ini terjadi. Kedermawanan dan antusiasme kaum Muslim terdahulu jarang kita temui dalam masyarakat hari ini yang bergaya hidup individualis. Hubungan sosial masyarakat dilandasi oleh asas manfaat, bukan akidah Islam. Sehingga tak heran jika Idul Fitri menjadi ajang pamer keluarga, harta dan status sosial.

Daftar Pustaka: 

Republika.co.id dan berbagai sumber

Oleh: Nabila Zidane

(Jurnalis)

0 Komentar