Bimwin, Mempersulit Pernikahan?

Mutiaraumat.com -- Pemerintah menggadang-gadang bimbingan perkawinan (Bimwin) sebagai solusi atas stunting dan kemiskinan. Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam akan mewajibkan Bimbingan Perkawinan (Bimwin) sebagai syarat bagi calon pengantin untuk melangsungkan pernikahan.

Keputusan tersebut didasarkan pada Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor 2 Tahun 2024 tentang Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin (Kompas, 30/3/2024).

Pemerintah menyampaikan bahwa Binwin menjadi solusi ketahanan keluarga, stunting dan kesejahteraan keluarga. Calon pengantin yang tidak mengikuti Binwin tidak bisa mencetak buku nikah hingga mengikuti Binwin terlebih dahulu.

Untuk mempersiapkan umur dan mental harusnya butuh sistem pendidikan yang mumpuni, yang menjadikan ketakwaan sebagai tujuan pendidikan. Sistem pendidikan islam mampu melahirkan individu yang siap secara mental terikat dengan syariat atau aturan Allah.

Sebab dalam Islam perintah sholat telah diajarkan sejak tujuh tahun. Pemberian sanksi ketika tidak sholat sudah diterapkan saat anak berusia sepuluh tahun. Pemisahan tempat tidur anak dilakukan sejak usia tujuh tahun. Ini semua adalah awal mempersiapkan mental individu supaya siap dengan taklif syariat dan amanah kehidupan.

Amanah pernikahan sebagai ibadah terpanjang butuh butuh bimbingan yang lama yang terintegrasi dengan sistem pendidikan. Sehingga Binwin saja tidak mungkin cukup untuk itu.

Untuk kesiapan finansial, pencegahan stunting dan kehidupan rumah tangga yang sejahtera, sebenarnya Bimwin tidak menyentuh akar persoalan. Sebab finansial itu berkaitan dengan kemampuan masyarakat untuk mengakses lapangan pekerjaan sesuai kapasitasnya. Faktanya saat ini, pendidikan yang mahal menjadikan rakyat tidak mampu mengakses sekolah yang layak sehingga banyak rakyat yang tidak memiliki ilmu dan keterampilan yang cukup.

Di sisi lain, minimnya lapangan kerja membuat rakyat banyak pengangguran meski pendidikan yang ditempuh sudah pada level perguruan tinggi. Jika begitu, Bimwin yang diharapkan menguatkan kesiapan finansial tentu tidak berkorelasi sama sekali. Karena kemampanan ekonomi itu berhubungan dengan aturan ekonomi yang dijalankan negara.

Terkait penanganan stunting, banyak rakyat yang secara keilmuan sadar dan tahu bahwa menu makanan yang sehat, higenis dan bergizi sangat menentukan kualitas kesehatan anak.  Akan tetapi faktanya teori ini tidak sesuai dengan realita karena masyarakat tidak mudah mengakses makanan yang bergizi sebab harganya yang lumayan mahal.

Lihat saja harga susu, sayuran dan buah-buahan jauh lebih mahal dibandingkan jajanan instan dan makanan pinggir jalan. Seandainya rakyat sejahtera, tentu hal yang mudah untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, akan tetapi faktanya masyarakat kebanyakan masih berjuang keras demi makan, bahkan mampu makan tiga kali sehari saja sudah syukur.

Wajar akhirnya, adanya Bimwin dianggap sebagian kalangan justru Mempersulit perkawinan. Padahal dalam Islam seharusnya administrasi itu dipermudah bukan dipersulit. Negara seharusnya mempermudah urusan administrasi rakyat termasuk dalam perkawinan.

Adapun masalah kemiskinan, stunting dan kesejahteraan seharusnya pemerintah benar-benar membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyat dan memberikan pendidikan keterampilan yang mendukung profesi warga negara. Islam menempatkan pemimpin sebagai penggembala.

Rasulullah Saw bersabda:
"Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).”
(HR. Imam Al Bukhari  dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).

Pada faktanya tidak ada seorangpun pengembala yang rela membiarkan bintang gembalanya kelaparan dan sakit. Tentu pengembala akan berusaha memenuhi hajat gembaaannya. Mindset seperti ini hanya ada dalam islam, dimana pemimpin benar-benar faham dan sadar bahwa setiap jiwa rakyatnya kelak akan menjadi pertanggungjawabannya di akhirat. 

Jika yang diinginkan adalah sejahtera, lepas dari jeratan stunting dan kemiskinan maka Binwin bukan solusi. Solusi yang sebenarnya adalah penerapan ekonomi islam dalam bingkai daulah islam. Seban islam akan berpengaruh terhadap masyarakat jika diterapkan secara kaffah alias totalitas bukan sepotong-sepotong.

Sistem sekuler tidak akan pernah mampu memberikan kesejahteraan di tengah masyarakat dan tidak akan mampu mencetak pemimpin yang punya mindset penggembala terhadap rakyatnya.

Sebab sistem sekuler sendiri menganggap dunia dan kekuasaan terpisah dari agama sehingga wajar lahir para penguasa yang tidak peduli dengan kesulitan rakyatnya dan lalai dari hari penghisapan. Lebih dari itu sistem sekuler telah menjadikan kekuasaan sebagai jalan tol meraih keuntungan materi bukan untuk melayani rakyat.
Wallahu'alam bishshowwab.[]

Oleh: Nurjannah Sitanggang
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar