Berislam karena Berpikir, Bukan karena Kultural


MutiaraUmat.com -- "Jikapun aku berkerudung lagi, itu harus datang dari pencarian keyakinan oleh diriku sendiri, bukan oleh permintaan lingkungan atau orang lain. Ijinkan aku memulai perjalanan pencarian ini dengan caraku sendiri".

"Aku bukan mamaku, aku bukan papaku, aku bukan kakakku. Aku adalah gabungan mereka, semua didikan mereka selalu aku terapkan, dan aku adalah aku".


Kalimat di atas adalah sepenggal dari pernyataan Camillia Laetitia Azzahra atau biasa disapa Zara yang merupakan anak bungsu Ridwan Kamil dan Atalia Praratya terkait keputusannya untuk melepas kerudung yang sudah dia kenakan sejak kecil. Pernyataan tersebut ia posting di akun IG @camilliazr pada Jumat (5/4/2024) yang memiliki pengikut sekitar 1,3 juta. Jumlah tersebut tentu bukan jumlah sedikit dan bisa dipastikan akan berpengaruh terhadap pengikutnya baik pro maupun kontra. 

Keputusan melepas kerudung yang justru diambil di akhir bulan Ramadhan tentu cukup mengejutkan. Dengan pengikut jutaan ditambah ia adalah anak dari dua tokoh berpengaruh tentu akan menuai lebih banyak komentar. Semakin menjadi blunder ketika sebuah keputusan yang bisa dikatakan melanggar hukum syara itu diposting di media sosial. Komentar ribuan pun tak dapat dielakkan atas postingan tersebut. Namun postingan tersebut kini sudah dihapus dari halaman akun IG-nya.

Kasus yang dialami oleh Zara tentu bukan kasus pertama. Beberapa kasus terjadi perubahan perilaku karena lingkungan yang mendasari keputusannya dalam hidup. Terlepas benar atau salah persepsi yang mendasari keputusannya. Selain itu, menjadi anak tokoh itu bisa menjadi anugerah, bisa juga menjadi beban tersendiri. Tuntutan serta harapan padanya pasti sedemikian berat. Dan ini juga bisa terjadi pada anak lainnya baik ia anak ulama, tokoh masyarakat, atau ustadz sekalipun.


Parenting Pembiasaan Sejak Dini

Yang kadang terlewat dalam pembiasaan dini, ada fase atau proses yang terlompati yaitu fase untuk menimbang secara mendalam atas pembiasaan tersebut. Sejumput tanya pun akan memenuhi benaknya. “Mengapa aku berkerudung? Untuk apa aku berkerudung? Kenapa yang lain tidak berkerudung?”

Jika proses menutup aurat itu hasil doktrin sosial semata dan djalani karena ikut pada kebiasaan sekitar, tanpa ada proses mengkritisi dan mempertanyakan, maka jangan kaget jika seorang muslim akan berislam secara rapuh dan bias. Beda lingkungan akan membuatnya beda sikap yang berbalik hingga 180 derajat. Terlebih ketika terpapar oleh aneka pemikiran asing, siapapun akan menjadi galau dan mulai mencari jawaban atas kegamangan yang melanda hati dan pikirannya.

Dalam pengembaraan pemikiran, bisa muncul lagi pertanyaan yang semakin mendalam. “Mengapa aku berislam? Bagaimana dan seperti aku harus berislam? Untuk apa aku berislam? Mengapa ada yang tidak berislam?” Saat mencari jawaban, bisa jadi jiwa menjadi lelah untuk menjalankan apa yang belum seutuhnya ia yakini. Kelelahan jiwa ini bisa mengantarkan pada kekufuran ketika seorang muslim tak menemukan jawaban yang tepat. Jawaban yang sesuai fitrah, menentramkan jiwa, dan memuaskan akal.   


Membangun Kekuatan untuk Menahan Gempuran Pemikiran Asing

Sebagai landasan awal untuk membentengi diri adalah membangun akidah Islam yang kuat dan menghunjam pada tiap benak dan pikiran seorang muslim. Akidah Islam yang tidak hanya sekedar dianut namun harus menjadi akidah yang produktif. Akidah produktif adalah menjadikan Islam sebagai asas dan standar dalam berperilaku dan memutuskan perkara apapun dalam hidupnya.

Adanya gempuran pemikiran asing yang tak henti menyerang serta melemahkan Islam dan penganutnya diperlukan pembinaan islam yang intensif dan rutin. Pembinaan Islam ini diisi dengan kajian wawasan dan tsaqafah Islam yang membangkitkan pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah).

Tak bisa dipungkiri, hidup dalam sistem sekuler yang memisahkan urusan manusia di dunia dengan aturan tuhannya bisa mengikis keberislaman seseorang. Apalagi jika ia hidup di negara utama pengusung sekuler. Lingkungan pertemanan baik saat di lingkungan sekolah, kerja, ataupun di mana saja kita biasa berinteraksi sedikit banyak akan mempengaruhi pola pikir dan pola sikap. Ditambah jika hidup di lingkungan di mana muslim menjadi minoritas. Pengaruhnya akan lebih terasa. 

Tepatlah apa yang dikatakan Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits, "Dari Abu Hurairah: Seseorang tergantung pada agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa yang dia jadikan sebagai teman dekat." (HR. Tirmidzi)


Langkah Strategis dan Taktis

Di awal harus dipahami, bahwa syariat yang kita tanamkan dan terapkan di keluarga jangan sampai layaknya doktrin. Jika itu yang terjadi, anak-anak akan merasa terpaksa karena merasa tidak bisa memuaskan akalnya. Akhirnya mereka pun mencari jalan dan caranya sendiri dalam berislam.

Penyampaian kepada anak seyogyanya dilakukan dengan proses dialog dan diskusi. Ajak mereka untuk mempertanyakan agama ini serta kritis dan mencari alasan di balik segala sesuatu. Berikan referensi yang kredibel dan benar sehingga budaya literasi Islam akan terbangun dengan baik. 

Di sisi lain, di tengah gempuran sekulerisme dan liberalisme, ini merupakan PR dakwah muslimah yang paling dekat. Mari bergandengan tangan untuk melindungi generasi dan terus terikat pada jamaah dakwah agar aktivitas dakwah lebih terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). []


Oleh: Erlina YD
Pegiat Literasi

0 Komentar