Azan di Gereja dan Buka Puasa Lintas Iman: Inikah Praktik Toleransi Kebablasan?

MutiaraUmat.com -- Toleransi lompat pagar alias kebablasan. Ironi kerukunan umat beragama tersebut kini marak terjadi, khususnya di bulan Ramadhan tahun ini. Betapa tidak? Buka bersama lintas iman banyak digelar. Bahkan azan shalat dikumandangkan dari gereja. Lantas dikesankan sebagai hal positif dan bikin umat beragama nyaman. 

Di Kulon Progo, DIY, istri Presiden Republik Indonesia keempat KH Gus Dur, Sinta Nuriyah berbuka bersama dengan umat lintas agama, di Kompleks Gereja Santa Maria Bunda Penasihat Baik Wates. Azan Maghrib pun bergema dari tempat ibadah penganut Katolik ini. Acara tersebut merupakan kolaborasi pihak gereja dengan program Safari Ramadan yang dibesut oleh Sinta Nuriyah (antaranews.com, 22/3/2024).

Di Jakarta, Majelis Hukama Muslimin (MHM) kantor cabang Indonesia menggelar buka puasa bersama tokoh lintas agama dan penghayat kepercayaan. Bertajuk "Bhinneka Rasa, Satu Persaudaraan," mereka berharap kian kokohnya rasa persaudaraan dan toleransi umat beragama di Indonesia (viva.co.id, 22/3/2024).

Di Semarang, ratusan peserta dari berbagai komunitas agama dan kepercayaan di Jawa Tengah menghadiri buka bersama lintas iman di Masjid Nusrat Jahan milik Muslim Ahmadiyah. Fokus acaranya diskusi tentang moderasi keberagaman. Pun membahas akidah dan sejarah Ahmadiyah yang sering dituduh sesat (ahmadiyah.org, 25/3/2024).

Aroma sinkretisme (pencampuradukkan ajaran agama) sungguh menguar dari acara di atas. Diduga, inilah praktik toleransi ala moderasi beragama yang akhir-akhir ini masif disosialisasikan oleh pemerintah. Alih-alih menguatkan iman pada Allah SWT dan taat pada syariat-Nya, buka bersama lintas iman dan sejenisnya justru menurunkan kadar iman serta militansi umat pada ajaran Islam. Pun menodai hakikat takwa sebagai tujuan puasa di bulan Ramadhan nan mulia. 

Moderasi Beragama: Proyek Global Antiradikalisme

Secara bahasa, moderasi berasal dari bahasa Inggris, moderation yang berarti sikap sedang, tidak berlebih-lebihan. Dalam bahasa Arab, kata moderasi sering diartikan wasatiyyah. 

Adapun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikannya sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran ekstremisme. Jadi, moderasi beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku menyimpang yang tidak diajarkan agama (kompasiana.com, 13/8/2020).

Melalui regulasi pemerintah, penerapan moderasi beragama diharapkan mampu mencegah timbulnya radikalisme, ekstremisme dan terorisme. Menurut Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, Nifasri, untuk menyikapi isu-isu kerukunan umat beragama beberapa tahun terakhir, penting bagi pemerintah membangun moderasi beragama di masyarakat. Menurutnya, hal mendasar dalam pengamalan ajaran agama moderat adalah pendidikan toleransi dan pengakuan terhadap segala bentuk perbedaan. Sehingga terpelihara harmoni antarkelompok beragama, sekaligus mencegah praktik radikalisme yang berpotensi mengganggu kerukunan umat beragama (mediaindonesia.com, 23/7/2020).

Sepintas gagasan ini positif dan elegan. Namun setelah ditelisik, moderasi beragama diduga merupakan dukungan pemerintah terhadap Global War on Terrorism (GWoT), kampanye Barat yang dilancarkan pascaperistiwa WTC 11 September 2001. 

Umat Islam menjadi tertuduh. Berkembang istilah terorisme Islam, Islam radikal, Islam ekstremis yang dituding sebagai  virus masyarakat. Lalu moderasi Islam digagas sebagai obat bagi "pemeluk" ajaran Islam radikal dan ekstremis.

Stigmatisasi Muslim sebagai radikal, ekstremis, teroris dan Islam sebagai radikalisme, ekstremisme, terorisme, jelas tak berdasar. Baik secara ajaran maupun realitas. 

Terlebih menyebut radikalisme sebagai sumber utama masalah bangsa, ini merupakan kedustaan. Tak ada korelasi antara kerusakan di berbagai bidang kehidupan dengan radikalisme. 

Justru hasil penelitian Siti Zuhro (LIPI) mengungkapkan, sumber masalah utama negeri ini bukan radikalisme, tetapi ketimpangan sosial (kompas.com, 29/12/2019). Peneliti Belanda bernama Beren Schot menyatakan hal senada. Ia tak setuju pemerintah menggunakan narasi radikalisme distempelkan kepada orang dan atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah (republika.co.id, 22/12/2019).

Lebih lanjut, ketimpangan sosial disebabkan faktor utama yaitu penerapan sistem kapitalisme dalam penyelenggaraan negeri ini. Lalu, pantaskah menuding kelompok Islam (yang distempel radikal dan ekstremis) sebagai biang kerok kebobrokan berbagai bidang di negeri ini, sehingga perlu diobati dengan moderasi beragama? Tak salah jika program ini tak lebih sebagai program antiradikalisme dan antiekstremisme.

Sayangnya, tak sedikit kaum Muslim menerima begitu saja program moderasi beragama dan menganggapnya sejalan dengan Islam. Mereka memandang, pemahaman dan praktik Islam yang terlalu ketat bertentangan dengan Islam. Namun, tidak menginginkan kebebasan melampaui batas hukum Islam. 

Maka, sikap jalan tengah (moderat) dianggap posisi paling tepat. Tidak radikal, pun tidak liberal. Mereka memaknai kalimat ummatan wasathan dalam QS. Al Baqarah: 143 sebagai golongan atau agama tengah, tidak ekstrem. Padahal substansi moderasi Islam adalah agar umat Islam menerima nilai-nilai Barat seperti demokrasi dan HAM, serta mau berkompromi dengan imperialisme Barat.

Bahaya Moderasi Beragama terhadap Kehidupan Umat dan Ajaran Islam

Moderasi Islam tidak datang dari Islam dan tidak dikenal dalam Islam. Justru berkembang pasca runtuhnya khilafah islamiyah. Tujuannya: agar nilai dan praktik Islam khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan berbagai hukum Islam lainnya dapat dieliminasi dari kaum Muslimin dan diganti pemikiran/budaya Barat.

Pengaruh moderasi beragama sedikit banyak terasa di tengah umat. Hal ini karena para pengusungnya memiliki strategi terencana dan masif dijalankan. Maka bahaya program ini terhadap kehidupan umat dan ajaran Islam adalah:  

Pertama, mengebiri Islam. Jalan tengah (moderat) merupakan gagasan yang mengabaikan ajaran Islam yang bersifat qath’iy, baik dari sisi redaksi (dalalah) maupun sumbernya (tsubut), seperti superioritas Islam atas agama dan ideologi lain (QS. Ali Imron: 85), kewajiban berhukum dengan hukum syara’ (QS. Al Maidah: 48), dan seterusnya. Moderasi beragama yang mengambil sebagian ajaran Islam dan menolak sebagiannya, dapat mengantarkan umat kepada kekafiran.

Kedua, menimbulkan keraguan umat terhadap Islam. Pendukung moderasi Islam menyuarakan untuk meninjau ulang hukum-hukum qath’iy, baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Agar didekonstruksi dan disesuaikan dengan pemikiran moderat. Hal ini menjadikan umat ragu akan ajaran agamanya sendiri. Terlebih yang mendakwahkan adalah tokoh dan panutan. Akibatnya, umat menjauh dari Islam, memusuhi ulama serta pendakwah yang hanif.

Ketiga, menyusupkan paham pluralisme yang memandang semua agama benar. Melalui gagasan ini pula, pluralisme agama yang menyatakan semua agama adalah sama dan benar ikut tersebar. Konsekuensinya, orang yang keluar dari Islam tidak dianggap tercela, pernikahan antaragama tak bisa disalahkan.

Keempat, memecah-belah Islam dan pemeluknya. Islam dan umat Islam dikotak-kotakkan dan dipertentangkan antara Islam moderat dengan Islam radikal, dan seterusnya. Padahal Islam adalah satu, yaitu Islam yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW, kitab sucinya juga satu yakni Al-Qu’ran.

Kelima, meminggirkan dakwah penerapan syariat Islam. Karena mereka menolak formalisasi syariat dalam sebuah institusi negara, maka dakwah yang menyerukan penerapan syariat Islam dianggap ekstrem dan radikal. Selanjutnya, akan ditolak dan dimusuhi sehingga langkah melanjutkan kembali kehidupan Islam menjadi lebih berat. 

Demikianlah bahaya moderasi beragama bagi umat dan ajaran. Nampak bahwa program ini diduga justru akan menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya sendiri.

Strategi Umat Islam Menghadapi Masifnya Program Moderasi Beragama

Begitu masifnya mereka menjalankan program moderasi beragama, mestinya tak membuat umat Islam berdiam diri. Apalagi bahaya yang ditimbulkannya telah mengintai umat Islam.  Berikut strategi dalam menghadapinya: 

Pertama, membina umat berdasarkan akidah murni dan lurus. Akidah kuat adalah benteng dari pemahaman sesat seperti pluralisme dan sejenisnya. Serta tak mudah goyah keyakinannya terhadap kebenaran syariat Allah SWT.

Kedua, meningkatkan pengetahuan Islam. Penguasaan Bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Hadits, Ushul Fiqih, dan lain-lain akan menghindarkan umat dari pemahaman keliru, khususnya yang mengatasnamakan dalil syariat.  

Ketiga, menggencarkan dakwah berbasis pergulatan pemikiran. 
Dengan cara menjelaskan kebatilan moderasi beragama dan menggambarkan pemahaman yang sesuai syariat. Diharapkan umat memahami dan tidak terjebak pada ide batil ini. Tak lupa menunjukkan keburukan penerapan ideologi sekularisme saat ini sebagai induk problematika umat.

Keempat, penyampaian dakwah disertai upaya menyingkap hidden agenda. Umat mesti mengetahui di balik masifnya moderasi beragama, terdapat makar negara Barat dengan perpanjangan tangan beberapa kalangan umat Islam sendiri. Sehingga umat Islam tidak terlibat dalam upaya pecah-belah diri mereka. 

Kelima, menumbuhkan kesadaran akan musuh bersama (common enemy). Kesalahan menetapkan musuh akan menyebabkan kesalahan  bersikap terhadapnya. Perlu penegasan bahwa musuh bersama umat Islam adalah ideologi kapitalisme sekuler dan sosialisme komunis berikut ide turunannya.

Keenam, mengoptimalkan penggunaan seluruh media milik umat Islam untuk membendung moderasi beragama. Individu maupun komunitas Muslim sebagai pemilik dan pengelola media (media massa, media sosial) hendaknya bervisi dakwah dan menjadikan medianya sebagai sarana membendung semua pemikiran batil. 

Ketujuh, melakukan sinergi dengan berbagai komponen umat Islam. Bekerja sama dengan komponen umat yaitu tokoh Islam, aktivis gerakan Islam, ulama, ustaz, penggerak majelis taklim, intelektual Muslim, dan lain-lain untuk menolak program moderasi beragama. 

Kedelapan, mendirikan pusat kajian keislaman yang memperkuat dakwah Islam kaffah. Hasil studi dan penelitiannya dipergunakan oleh kelompok Islam untuk memetakan dan merumuskan strategi terkini dalam memajukan umat serta menyelesaikan berbagai problem menghadang di depan jalan kebangkitan.

Kesembilan, menggencarkan dakwah dengan menyeru umat Islam kembali pada penerapan hukum Allah SWT. Secara teoretik dapat dikatakan bahwa penerapan hukum Allah secara kaffah hanya mungkin dilaksanakan dalam sistem khilafah islamiyah. Ini butuh kerja keras umat mewujudkannya mengingat telah lama kita menerapkan hukun Islam secara prasmanan.
Selain memahamkan urgensinya, juga menjelaskan tentang metode penegakannya. Keberadaan khilafah sekaligus akan menghilangkan eksistensi berbagai gagasan rusak dan merusak.

Demikianlah strategi menghadapi program moderasi Islam. Strategi dijalankan dengan konsepsi dan arah perubahan jelas, terarah dan terukur. Tujuan perubahan mesti jelas dan mengarah pada upaya melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan syariat Islam kafah. Semoga kejayaan Islam akan kembali hadir menjadi rahmat bagi seluruh alam. []


 Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

0 Komentar