Ajang Miss Universe, Liberasasi Totalitas Tanpa Batas

MutiaraUmat.com -- Senang, bahagia, haru-biru, dan semangat! Begitulah ungkapan hati seorang model Arab yang dinyatakan lolos untuk mengikuti ajang Miss Universe 2024  pada bulan September mendatang di Meksiko. Komentar-komentar negara-negara Barat pun bermunculan dengan nada-nada kepuasan. Sebab pada akhirnya, untuk pertama kali dalam sejarah Miss Universe, Kerajaan Saudi Arabia mengirimkan kontestan di ajang kecantikan tanpa nilai-nilai religius skala internasional itu. 

Tentu saja tidak mungkin bicara religion (agama) dalam ajang kompetisi telanjang alias umbar aurat. Karena ajang Miss Universe dibangun dengan nilai-nilai liberalisme yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya miris, nominatornya kali ini berasal dari tanah Arab. Tanah yang masih memililki brand image kiblat pelaksanaan ajaran Islam bagi kaum Muslim. 

Seperti berita yang dimuat oleh situs www.al-monitor.com, gadis muda bernama Rumy al-Qahtani (27 tahun) telah masuk menjadi nominasi diajang kontes kecantikan internasional tersebut. Ia dikabarkan berlatar belakang seorang model dan juga influencer sosial media. 

Qahtani juga telah lama berada dalam dunia model dan kecantikan. Bahkan ia memiliki pengikut sebanyak satu juta di akun sosial medianya. Dan di akun-akun itulah Qahtani membagikan foto-fotonya.

Selain itu, Rumy al-Qahtani adalah pemenang beberapa kompetisi sejak dinobatkan sebagai Miss Saudi Arabia di tahun 2021. Termasuk Miss Middle East dan Miss Arab World Peace. Dan berdasarkan sumber majalah wanita, Laha, Qahtani lahir di Riyadh dan merupakan lulusan kedokteran gigi. Qahtani juga tidak hanya menguasai Bahasa Arab, tetapi Inggris, serta Prancis. 

Miss Universe, Liberalisasi Totalitas Tanpa Batas

Sebagai negara yang masih dianggap kental dengan nilai-nilai Islam, tentu jadi pertanyaan, apakah penguasa Saudi merestui Qahtani maju ke kontes kecantikan yang sudah diketahui sebagai ajang umbar aurat dan bertentangan dengan Islam? Tentu saja jawabannya adalah sudah barang tentu. Tanpa restu, tidak akan jadi pemberitaan yang terbuka ke publik. 

Bagi Rumy al-Qahtani sendiri sebagai seorang Muslimah, yang sewajibnya menolak kompetisi itu mungkin saja telah kehilangan akal sehat, dan terpukau dengan rayuan gemerlap liberalisme. Fakta demikian dapat dilihat dari pernyatannya yang begitu senang menerima kabar dirinya masuk nominasi Miss Universe 2024.
“I am honored to participate in the Miss Universe 2024 competition. This is the first participation of the kingdom of Saudi Arabia in the Miss Universe competition. (saya merasa terhormat dapat berpartisipasi dalam kompetisis Miss Universe 2024. Ini adalah partisipasi pertama bagi Kerajaan Saudi Arabia dalam kompetisi ini).” ujar Qahtani seperti yang dikutip oleh laman al-monitor.com dan beberapa website lainnya. 

Rasa bangga dan terhormat mengikuti ajang maksiat adalah suatu kegilaan yang tentu tidak layak dimiliki oleh seseorang yang mengaku beriman kepada Allah swt, dan hari kiamat. Tetapi sayangnya, justru kemaksiatan dianggap sebagai ajang penghormatan, padahal pelecehan dan penghinaan. 

Bukankah disuruh membuka aurat di depan khalayak adalah suatu dosa besar? Ironisnya, ketika dipaksa membuka pakaian oleh para pelaku kejahatan seksual, sudah pasti semua menolak. Tetapi ketika yang menyuruh menanggalkan pakaian adalah lembaga yang berkedok  ajang kecantikan internasional, dengan sukarela bahkan merasa terhormat melakukannya. 

Begitulah gambaran dari hasil upaya Barat dalam memerangi kaum Muslim di negeri-negeri Islam. Bukan lagi seluruhnya dengan senjata. Melunakkan umat Islam cukup dengan melakukan perang pemikiran. Ajaran-ajaran Islam dinarasikan dengan ajaran yang intoleran, dan penuh dengan kekerasan terhadap perempuan, lagi anti Barat. 

Maka dengan meletakkan para penguasa boneka Barat, negeri Muslim dipimpin dengan kebijakan-kebijakan sekuler yang menjunjung tinggi liberalisme (kebebasan) dalam segala hal. Bahkan tanpa batas. Salah satu contohnya adalah ajang Miss Universe ini. 

Negara-negara Barat sangat berbahagia dengan masuknya Saudi sebagai nominasi untuk kompetensi kecantikan internasional yang sangat fenomenal itu. Pertama kali, kontenstan dari tanah Arab masuk nominasi dan akan melenggak -lenggok hampir tanpa busana di atas panggung. Lalu para dewan juri mata keranjang akan seenaknya menikmati dan menilai fisik para kontestan. 

Tidakkah penguasa Saudi merasa risih ataupun malu? Bukankah kewajiban Kerajaan Saudi harusnya adalah marah melihat saudarinya, Muslimah dilecehkan di hadapan dunia di atas panggung? Kehormatan seperti apa yang didapat dengan kehinaan itu? 

Keberhasilan Qahtani tentu bukan bentuk kebanggaan bagi umat Islam khususnya kaum Muslimah yang ada di Saudi.  Melainkan sebuah kemenangan narasi bagi Barat. Ajang ini akan membentuk opini-opini baru yang mereka siapkan untuk merusak tanah Arab. Bukankah Barat telah melakukan ini selama puluhan tahun? Hanya saja, target mereka belum sepenuhnya terecapai. Barat tetap harus menguras pikiran,  modal, dan banyak cara untuk memastikan bahwa tanah Arab mutlak di bawah genggaman mereka. 

Debut pertama Saudi melalui kontes kecantikan Miss Universe, dinilai sebagai pertanda baik dan tonggak pencapaian bagi negeri Islam lainnya agar lebih terbuka dengan dunia Barat. 

Apalagi di masa kepemimpinan MBS, sederetan kebijakannya telah membantu promosi nilai-nilai liberal Barat ke Arab Saudi. Khususnya poin kesetaraan gender sebagai visi Kerajaan 2030, yang bertujuan untuk memperkenalkan sosial budaya yang direformasi dan transformasi secara digital dan modern. 

Maksud dari budaya sosial yang direformasi pastinya menuju liberalisasi. Lebel Arab sebagai negara yang menganut paham Islam koservatif dalam penialian Barat, kini kian terbuka dengan budaya liberal. Terbukti, beberapa even-even ikhtilat (campur-baur) yang sebelumnya tabu bagi masyarakat Arab, seperti konser-konser, kini justru difasilitasi Kerajaan dengan mengundang artis-artis mancanegara. Kaum perempuan juga diberikan keleluasaan dalam menghadiri konser dengan berbagai penampilan luar yang semakin terbuka. 

Tidak hanya itu, bahkan Kerajaan Saudi memberikan kelonggaran bagi kaum perempuan untuk membuat pappor jika ingin safar ke manapun tanpa harus ada izin dari mahram yang bersangkutan. Masyarakat yang dulunya hidup dengan nilai-nilai Islam dipandang kaku oleh dunia Barat modern, lalu mereka menghembuskan nafas liberalisme hingga membuat umat Islam di Arab Saudi seperti kepincut angin surga yang notabene adalah hawa neraka. 

Adopsi Liberalisme Adalah Perang Terhadap Hukum Allah swt

Memori negeri Arab yang kental dengan latar belakang Sejarah Islam tidak dapat dipisahkan. Arab dan Islam dua hal yang telah dijodohkan oleh Allah swt. Sebab Islam turun di tanah Arab, dan Nabi Muhammad saw adalah ketururnan Arab. Begitupun kitab suci Al-Qur’an, Allah pilihkan dengan Bahasa Arab yang jelas. 

Hanya saja, setelah tanah Arab menjadi jajahan Eropa sejak runtuhnya institusi politik Islam di Istambul, Arab dipimpin oleh para penghianat hukum-hukum Allah yang bersekutu dengan kafir Barat. Dan fakta tersebut masih terus belanjut turun-temurun hingga sekarang.

Sehingga, di tengah gempuran ideologi sekuler kapitalis Barat, para penguasa Arab harus tunduk dan patuh sebagai tanda terimakasih karena telah membantu memisahkan diri dari kekhilafahan, dan menjadi raja-raja di negara yang diberikan oleh penjajah dalam bentuk nasionalisme. 

Berbagai serangan pemikiran melalui monsterisasi ajaran-ajaran Islam terus diopinikan. Dan menhembuskan nafas kebencian terhadap syariat Islam. Sehingga negara manapun di dunia ini, khususnya Arab harus mengamini pendapat Barat tersebut dan perlahan-lahan menanggalkan syari’at.. Maka Arab harus bertransformasi menuju budaya liberal seperti Barat. 
Karena itulah, imprealis Barat terus menggempur wilayah Arab dan menekan di bawah ketiak Barat agar tidak berkutik. Negara kapitalis Barat sangat mengenal karakter masyarakat Arab yang kuat dan berani. Sehingga tidak sepenuhnya mereka lepaskan walaupun kata kemerdekaan telah diberikan dalam bingkai nasionalisme. 

Berbagai cara telah mereka lalukan untuk menggenggam tanah Arab. Barat mengetahui posisi wilayah Arab bagi umat Islam ibarat jantung pada tubuh. Kemuliaan Islam di mulai dari tanah Arab, dan kelak juga tidak menutup kemungkinan akan kembali lagi. Inilah yang dibaca oleh Barat sehingga terus menghadangnya. 

Ketika senjata tidak harus selalu bicara untuk  menjajah, maka pemikiran pun dimainkan. Istilah  modernitas dimainkan, dan hanya dapat dicapai oleh suatu negara jika totalitas menerima liberalisme tanpa batas. Nilai-nilai atau ajaran agama tidak boleh menjadi patokan dalam berperilaku dan berfikir. Harus bebas tanpa batas. 

Padahal, Allah swt telah berfirman dalam Al-Qur’an,
“masuklah kamu sekalian wahai manusia ke dalam Islam secara kafah. Dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan” (TQS 2:208). Dalam penegrtian ‘kafah’ adalah penerapan totalitas dan sempurna perintah Allah swt dan pencegahan totalitas terhadap larangan Allah swt. 

Sehingga, ajang telanjang di ranah publik adalah larangan dalam Al-Qur’an serta merupakan langlah-langkah setan, yang sejatinya jelas dipahami oleh masyarakat Arab. 

Allah swt juga telah menyampaikan firmannya bagi kaum perempuan agar mengenakan khimar /kerudung (TQS 24: 31), dan jilbab (TQS 33: 59) ketika keluar rumah yang menutupi rambut hingga mata kaki. Hanya wajah dan kedua telapak tangan hingga pergelangan yang diperbolehkan untuk dilihat publik. Semua aturan tersebut adalah demi kemuliaan dan penjagaan kehormatan kaum perempuan. Bukan penindasan dan pengekangan sebagaimana yang dilontarkan kaum kafir Barat pengidap islamophobia. 

 Ketika ada penguasa atau budaya, atau kebijakan yang membolehkan para Muslimah mengikuti kompetisi umbar aurat seperti Miss Universe, maka pada saat yang sama, mereka sedang melangkahi hukum Allah dan menyatakan perang dengan Allah. Karena telah menghalalkan yang diharamkan oleh Allah swt. Betapa berani para penguasa yang melakukan demikian. Naudzubillah min zaalik. 

Realitas negeri-negeri Muslim kini yang mengadopsi liberalisme, tidak hanya Arab. Bahkan hampir seluruhhnya. Meskipun ada yang baru ingin melebar, tetapi ada juga yang sudah merajalela. Penentangan terhadap hukum Allah oleh kaum Muslim sendiri adalah sesuatu yang hakikatnya sangat irrasional. Seyogyanya, para penganut suatu agama akan menjunjung tinggi ajaran agamanya. Tetapi Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin yang ditiuduh dan dicap sebagai agama radikal dan intoleran, dengan rela begitu saja diterima oleh umat hingga akhirnya mengikuti arus liberalisasi. 

Sebagai penguasa yang memiliki power dan militer, harusnya Saudi mampu menggertak pelaksanaan Miss Universe. Atau mengancam akan menghentikan supply minyak dan energi ke Barat khususnya Amerika, jika tetap melaksanakannya. Apalagi jika  sampai mengundang Arab dan kaum Muslim. 

Selanjutnya, alangkah beruntungnya Saudi jika lebih mementingkan saudaranya di Palestina dan mengirimkan tentaranya, lalu mengajak penguasa  wilayah Arab dan non Arab Muslim lainnya untuk membebaskan tanah kaum Muslim yang terjajah seperti Palestina, Arakan, Kashmir, Xin Jiang, dan lainnya.  

Namuan hal tersebut hanya akan terwujud  jika kaum Muslim kembali memiliki satu kepemimpinan global di bawah naungan khilafah. Hanya dengan institusi khilafa, makaa kehormatan, harga diri, dan keamanan akan terjaga dan terlindungi dengan hukum Allah swt. Allau a’alam bissawab.

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
(Analis Mutiara Umat Institute)

0 Komentar