Tabir Asmara Berbuah Kriminalitas di Aceh
MutiaraUmat.com -- Demi melancarkan hubungan asmaranya dengan sang ibu, seorang pria berinisial AZ alias Ayi (22 tahun), warga Desa Gampong Teungoh, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat tega membunuh dengan keji anak kekasihnya yang masih berusia 4 tahun pada tanggal 8 Februari 2024 yang lalu. Ada pun identitas balita yang diduga terbunuh tersebut bernama Berly Ghaisan Rabbani (4 tahun), warga Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.
Kasus pembunuhan ini terungkap seusai ayah kandung Berly merasa curiga dengan kematian anaknya. Ayah kandung korban bernama Adrimansyah, warga Pulau Bengkalak, Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh.
Ia mendapatkan berita kematian anaknya oleh mantan istrinya mengatakan penyebab kematian anaknya Berly karena demam tinggi dan kejang-kejang,” kata Fachmi.Namun anehnya mantan istri bernama Putri riyani berusia 27 tahun tersebut tidak memberi informasi terkait lokasi pemekaman anaknya.
Atas dasar kecurigaan inilah akhirnya sang ayah kandung berangkat menuju meulaboh dari kabupaten simeulue untuk mencari informasi langsung mengenai kematian anak kandungnya Berly.
Hingga pada akhirnya kasus kematian Berly ini dilaporkan ke kantor polisi. Polisi berhasil menangkap tersangka Ayi .Ayi melakukan pembunuhan berencana disebuah tempat yang padat penduduk yaitu wilayah tenpat ia bekerja.
Pembunuhan dilakukan dimalam hari dengan dianiaya dengan besi pemotong kawat atau tangka kakak tua yang dimasukkan ke anus korban. Korban sebelumnya juga dibanting dan ditonjok didagunya oleh pelaku.
Setelah puas melakukan penganiayaan pelaku menyerahkannya kepada ibu korban, namun nyawa anak malang ini tidak tertolong walaupun sebelumnya sempat dilarikan ke Rumah Sakit dengan keadaan yang begitu lemah akibat penganiayaan yang begitu sadis oleh pacar ibunya.
Kapitalisme Ciptakan Manusia Berwatak Keji
Sungguh ironi jika kita mendengar dan membaca tragedi cinta berdarah yang terjadi di Aceh Barat ini, sebuah realita pahit bahwa sejatinya kehidupan saat ini dalam kondisi darurat kemanusiaan.
Hilangnya rasa kasih sayang menindikasinya betapa liberalnya manusia saat ini. Liberal merupakn sebuah cabang kehidupan yang dihembuskan oleh ideology Kapitalis. Pembunuhan bukanlah suatu hal yang tabu lagi. Membunuh merupakan jalan pintas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Jiwa yang keji diakibatkan oleh hati yang jauh dari kata taat. Sekulerisme telah berhasil memisahkan agama dari kehidupan manusia. Manusia bertindak tanpa ada rasa takut akan berdosa. Ia tidak akan berpikir bahwa kehidupan ini kelak akan dimintai petanggung jawaban di hari kelak.
Perbuatan yang liberal berhasil memporak porandakan naluri berkasih sayang pada sesama manusia yang sejatinya hadir terlebih terhadap seorang anak kecil. Anak kecil yang seharusnya memperoleh kasih sayang dari keluarga dan kerabatnya kini harus menerima pil pahit kekejaman dunia.
Hukuman yang Tidak Setimpal
Atas kasus pembunuhan berencana ini menjerat pelaku pembunuhan dengan pasal berlapis kepada tersangka AZ alias Ayi berupa Pasal 76c Jo Pasal 80 Ayat (3) Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 355 Ayat (1) dan Pasal 351 Ayat (3) KUHPidana. Dengan penahanan dan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun penjara,”
Sungguh ini bukanlah suatu hukuman yang setimbal jika dibandingkan dengan hilangnya sebuah nyawa. Namun inilah sederet kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh rakyat dengan bercokolnya sebuah ideologi Kapitalis didalam kehidupan.
Ideologi yang menjauhkan rasa keadilan dan kemanusian ini telah berhasil membuat tindakan kriminal yang sama terjadi berulang-ulang kali, atau bahkan dengan kejadian yang lebih sadis lagi.
Meskipun dilain sisi Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Perwakilan Aceh Barat dan Nagan Raya mendesak Polres Aceh Barat untuk menghukum berat pelaku penganiayaan dan pembunuhan Berly Ghaisan Rabbani (5) yakni hukuman penjara seumur hidup dan atau hukuman mati,’’ kata Ketua YARA Perwakilan Aceh Barat dan Nagan, Hamdani, SSos, SH, MH, Senin (25/2/2024) kemarin.
Kesedihan terus dirasakan oleh keluarga korban, anak telah tiada namun hukum belum setimpal, jangankan untuk menghilangkan rasa sedih namun membuat jera bagi pelakupun tidak. Bagaimana tidak hukum di dunia saat ini begitu banyak ketimpangannya.
Para narapidana yang masuk kedalam sel tahanan terkadang mendapat sebuah remisi pada waktu tertentu belum lagi penyediaan lapas yang bagaikan hotel berbintang lima tidak akan membuat jera pelaku kejahatan. Hal ini mendorong keluar masuknya penjara telah menjadi hal yang biasa.
Nanggroe Aceh Bersyariat Tidak Mampu Atasi Kriminalitas
Pemerintah Indonesia secara resmi mengizinkan setiap provinsi untuk menerapkan peraturan daerah, tetapi Aceh mendapatkan otonomi khusus dengan tambahan izin untuk menerapkan hukum yang berdasarkan syariat Islam sebagai hukum formal.
Dalam beberapa waktu lalu hukum yang didasari oleh syariat Islam ini pernah dilaksanakan di beberapa wilayah Aceh dengan berbagai macam tindakan kriminal. Namun sayangnya ini tidak berlangsung lama sebab begitu banyak penolakan atas asas kemanusiaan.
Dan pada akhirnya hukuman berdasarkan syariat Islam ini tidak mendapatkan tempat dihati rakyat Aceh lagi.
Sehingga memicu berbagai gelombang kejahatan kriminla lainnya terus bertambah dan bervariasi.
Pemberhentian hukuman berbasi syariat Islam ini dikarenakan tidak ada sebuah Institusi legal yang memngontrol pelaksanaannya. Sebab Negara Indonesia sebenarnya menerapkan hukum kapitalis yang jauh dari kata adil dan memberikan efek jera serta menggurangi kejahatan.
Kriminalitas tuntas dengan Institusi Islam
Dalam kasus pembunuhan berencana ini d Islam mempunyai sebuah ketetapan yang akan melahirkan sebuah kemashalatan.
Dalam pandangan Islam membunuh adalah suatu tindakan kriminalitas yang berat, sebab satu membunuh satu orang sama dengan membunuh seluruh jiwa kaum muslimin. Betapa berharga konsep nyawa dalam pandangan Islam.
Sanksi terhadap pembunuhan digolongkan berencana atau sengaja dilakukan (al-qatul al-a’amdu). Terdapat 3 jenis sanksi :
Pertama: Hukuman mati (qishas) yang dilaksanakan tanpa tegesa-gesa dan dengan mempertimbangan segala hal yang berakitan dengan kemanusian, mulai dari alat yang digunakan untuk qisas hingga tata cara dalam qisas itu sendiri.
Kedua: Membayar diyat kepada keluarga korban ketika keluaga korban memaafkan. Diyatnya memberikan 100 ekor unta, 40 diantaranya dalam keadaan buntin (hamil) bagi yang mempunyai dinar atau dirham diyat tersebut senilai 1.000 dinar atau senilai 12.000 dirham.
Tiga: Memaafkan atau (al’afwu) ketika keluarga korban tidak menuntut hukuman mati dan tebusan dari pembunuhan. Keluarga korban akan ditanya mengenai keridhoan hatinya apakah mau memaafkan apa telah dilakukan oleh pelaku pembunuhan tersebut. Sebab di dalam Islam mengajarkan sifat saling memaafkan. Dengan memaafkan maka keberkhaan hidup lebih terasa tanpa ada pemusuhan yang akan mengacaukan roda kehidupan. Sanksi hukum Islam akan melahirkan zawajir (pencegah) terhadap orang lain yang mungkin mempunyai niat yang sama maka akan takut untuk melakukannya. Serta akan melahirkan penebus dosa bagi pelaku diakhirat.
Betapa dunia saat ini merindukan sebuah sistem tatanan kehidupan yang paripurna ini hadir dalam kehidupan kita. Hingga akan terwujudnya sebuah kehidupan rahmatan lilalamin
Putri Rahmi D.E., S.S.T.
(Tenaga Pendidik)
0 Komentar