Seorang Muslim Meragukan Syariat Islam, Mungkinkah?


MutiaraUmat.com -- "MUI Minta Penyebar Ideologi Khilafah Ditindak Tegas" (beritasatu.com, Selasa, 17 September 2019). Meskipun berita ini menyeruak lebih dari 4 tahun lalu, namun tampaknya tetap relevan untuk dikaji dengan cara memberikan respons terhadap konten pemberitaannya. Sebagai seorang muslim, tujuan kami menberikan analisis ini agar memperoleh pencerahan dengan menggunakan nalar sehat berpikir serta tidak lepas dari dasar keimanan.

Pada berita itu, Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali M Abdillah mengatakan, individu penyebar ideologi khilafah harus ditindak tegas agar tidak tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Sebagaimana MUI, petinggi Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pun memberikan pernyataan terkait gagasan khilafah. Beberapa waktu lalu, mantan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj menyebut bahwa ia pernah membaca khilafah harus terbentuk di Asia Tenggara pada 2024, tanpa merinci di mana membaca cita-cita khilafah itu. Menurutnya, gagasan khilafah 2024 di Asia Tenggara telah digaungkan sejak lama.

Menanggapinya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, pernyataan Said Aqil ihwal ide khilafah tahun 2024 ini patut diwaspadai bersama. Dia mengatakan, Muhammadiyah sepakat untuk mencegah dan mengeliminasi paham yang bertentangan dengan ideologi negara dan agama yang menjadi pegangan bersama (tempo.co, 1/11/2018). 

Kini, di tahun 2024 dan bertepatan dengan 100 tahun keruntuhan khilafah, khilafah belum tegak juga. Namun suara-suara sumbang terus menyertai upaya memperjuangkannya. 

Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Prof. Zuly Qodir menyampaikan, narasi khilafah menjadi daya tarik khusus bagi yang masih percaya nubuwat dan risalah masa lalu. Sebagian kecil masyarakat Indonesia meyakini akan adanya kebangkitan khilafah islamiyah. Menurutnya, pandangan yang melahirkan narasi kebangkitan khilafah adalah perspektif sempit dan irasional. Dia tegas menolak sentimen kebangkitan khilafah (rm.id, 12/1/2024).

Adapun Akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Mohammad Iqbal Ahnaf mengingatkan pemerintah dan masyarakat perlu mewaspadai narasi kebangkitan khilafah. Karena menemukan momentumnya pada 2024 atau tepat 100 tahun runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah. Menurutnya, potensi ancaman dari ideologi transnasional itu akan selalu ada. Dan gagasan khilafah ditawarkan menjadi obat segala penyakit dan mampu menyembuhkan kekecewaan, ketidakadilan, dan emosi negatif lainnya, yang bisa menggiurkan masyarakat (antaranews.com, 10/1/2024).

Berbagai penolakan terhadap khilafah, menyiratkan keraguan bahkan ketidakyakinan mereka terhadap janji Allah SWT dan bisyarah Rasulullah SAW. Sayangnya, pandangan miring terhadap khilafah justru dimotori oleh para akademisi dan kalangan ormas Islam. Padahal khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Seharusnya dibela, bukan terus dihujat dan dicela.

Kami yang tidak pernah mondok sehari pun di pesantren, tidak bisa membaca satu pun kitab kuning yang pernah ada tetapi kami merasa malu bila memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta ajarannya. Kami merasa malu. Mau ditaruh di mana muka "elok nan indah" kami ini?

Problem utama yang kami angkat dalam artikel pendek ini yang dalam bahasa gaulnya adalah:

Mengapa malah ada 'ngulama' yang 'gentur' pertapaanya ibarat 'pinandhita' bisa-bisanya mengingkari 'dhawuhe' Gusti Allah, Rasul dan Ijtihad para ulama yang tidak diragukan watak alimnya terkait dengan sistem kekhalifahan dalam Islam?
Adakah contoh suatu perkara yang tidak secara letterlijk disebutkan di dalam Al-Qur'an, namun memiliki hukum yang bersifat wajib atau pun haram?
Bagaimana strategi yang harus ditempuh oleh umat Islam agar tidak meragukan hukum syariah Islam sendiri?


Latar Belakang Penyebab Umat Islam Meragukan Hukum Syariah Islam

Saudaraku, khilafah itu bukan ideologi, tetapi sistem pemerintahan islam yang bersumber dari ideologi Islam dan pembicaraannya tidak beda dengan sistem pemerintahan lainnya seperti demokrasi, kerajaan (monarkhi), teokrasi, otokrasi, dan lain-lain. Setahu saya, sistem pemerintahan Islam itu dirumuskan oleh karena hasil analisis para ulama yang shahih (ijtihad). Bagaimana kedudukan ijtihad ulama dalam syariah Islam? Ia bagian syariah Islam ataukah tidak termasuk syariah Islam, atau bahkan haruskah kita memusuhi hasil ijtihad tersebut?

Bila kita mau dan mampu bernalar dengan baik, apalagi kita bisa bernalar secara Islami (alfikrul Islami), kita akan memperoleh dalil, terkait dengan masalah ijtihad seperti berikut ini:

"Pendapat yang digali oleh seorang MUJTAHID adalah hukum syariah."

Aktivitas untuk memalingkan umat Islam dari hukum syariah itu sangat banyak. Cara yang paling kejam adalah: tuduhan bahwa pendapat mujtahid bukan Hukum Syariah, itu hanya pendapat yang tidak mengikat. Hukum syariat hanya yang ada nashnya dalam Qur'an dan hadis. Harus ditunjukkan secara letterlijk. Harus disebut secara jelas. Maka ini adalah tuduhan yang sangat keji. 

Bila pendapat ini dipegang akan banyak hal yang tidak ada hukum syariah, sehingga seseorang cenderung akan berpendapat tanpa berpegangan pada ijtihad para imam. Inilah upaya untuk memalingkan umat Islam dari syariat Islam. Mengapa? Karena Qur'an dan Hadis itu sumber hukum bukan syariahnya itu sendiri. 

Mengikuti cara Nabi itu salahkah? Mantan Ketua MK, Mahfud MD yang sekarang menjabat sebagai Menkopolhukam pernah juga menjelaskan bahwa ada beberapa alasan mengapa negara khilafah tidak boleh diikuti. Mengapa kok tidak boleh diikuti? Berikut alasannya. Di zaman Nabi Muhammad, negara yang dibentuk:

1. Nabi Muhammad itu lembaga legislatif, 
2. Nabi Muhammad itu lembaga eksekutif, 
3. Nabi Muhammad itu lembaga yudikatif, 
4. Nabi Muhammad yang membuat hukum berdasarkan wahyu Allah.

“Anda membuat negara seperti Nabi Muhammad melalui wahyu siapa? Nah enggak bisa, jangan,” kata Mahfud.

Menurut kami, kalau pertanyaannya wahyu siapa, Jawabnya mestinya: Wahyu Allah dalam Al-Qur'an. Lalu apalagi dasarnya? Tentu Hadis Rasulullah dan juga ijtihad para ulama. Bukankah begitu? Itu kan sumber hukum Islam?

Pertanyaan kami selanjutnya tetap fokus pada: apakah betul mengikuti cara Nabi itu salah? Bukankah Rasululloh itu "uswatun hasanah", suri tauladan yang baik? Lalu, apa yang pantas kita teladani dari Rasulullah? Hanya sholatnyakah, zakatnyakah, hajinyakah, puasanyakah? Bukankah Rasulullah juga memberikan contoh bagaimana mengelola negara, mengelola harta, berhubungan dengan negara luar, berperang, berdagang. Apakah dikira Rasulullah itu hanya sekelas ketua RT?

Menurut kami tidak fair bila kita mengharamkan sistem khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah. Itu tidak fair! Mengapa, karena dalam sejarah selama 1300 tahun umat Islam memang dalam kepemimpinan dengan sistem kekhalifahan, apapun bentuk dan variasinya. Bahkan, bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Ustmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta? Bukankah, kita juga pernah dibantu khilafah ketika kita melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu a-history!


Beberapa Perkara yang Tidak Tercantum Secara Letterlijk di Qur'an dan Memiliki Hukum Wajib dan atau Haram

Berikut ini ada beberapa contoh hasil ijtihad para alim ulama terkait dengan hukum yang tidak jelas disebutkan di Al-Qur'an dan hadis, tetapi sesungguhnya merupakan bagian dari hukum syariah Islam. Beberapa hal itu adalah sebagai berikut:

Pertama. Hukum Memukul Orang Tua.

Hukum memukul orang tua itu apa? Haram? Coba tunjukkan dalam Al-Qur'an dan Hadis yg menyatakan bhw memukul orang tua itu HARAM. 
Yang kita temukan Surat Al-Isra' Ayat 23:

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

(Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.)

Dari ayat ini ulama memahami: bilang "ah" saja tidak boleh apalagi memukulnya. Ini yang disebut mafhum muwafaqah, bukan mantuq.

Mafhum muwafaqah yaitu:

ماَ كَانَ الْمَسْكُوْتُ عَنْهُ مُوَافِقًا لِلْمَنْطُوْقِ

Artinya: “Petunjuk lafal yang bersamaan antara hukum yang tidak disebut dengan hukum yang disebut".

Jadi mafhum muwafaqah adalah pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan. Mafhum muwafaqah dapat dibagi dalam:

a) Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya seperti yang sudah diterangkan di muka. Juga sesuai dengan Firman Allah SWT yang artinya: “Janganlah kamu katakan kata-kata yang keji kepada dua orang ibu-bapakmu”. Kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.

b) Lahnal khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT.:

إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُونِهِمْ نَارًا( النّساء :۱۰)

Artinya: “mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka” ( QS. An-Nisa’ : 10)

Kedua. Hukum Membakar Harta Anak Yatim.

Allah telah berfirman sehubungan dengan perihal anak-anak yatim ini : “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”. (Q.S. 4 : 2). 

Ayat tersebut di atas bicara tentang makan harta anak yatim. Persoalannya dapat saja akan timbul, yakni: Apa hukumnya membakar harta anak yatim? Hukumnya haram! Kita hanya temukan haramnya karena memakan, tapi bukan berarti membakar, membuang harta anak yatim itu dihalalkan. Jadi, meskipun dalam Al-Qur'an dan Hadist kita tidak menemukan secara letterlijk bahwa membakar, membuang harta anak yatim itu dihalalkan, tetap hal itu dihukumi sama dengan memakannya.

Ketiga. Hukum Jual Beli di Hari Jumat.

Jenis mafhum yang kedua adalah Mafhum mukhalafah. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipelajari selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT :

إذَا نُوْ دِيَ لِلصَّلوةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ…

Artinya: “Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jumat, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkan jual beli

Dipahami dari ayat ini bahwa boleh jual beli di hari jumat sebelum azan si Mu’azin dan sesudah mengerjakan sholat. Mafhum Mukhalafah ini dinamakan juga Dalil Khitab.

Keempat. Hukum Tabbayun terhadap Berita.

Bila ada berita dari orang yg dipercaya, perlukah kita tabbayun? Yang ada klo ada orang fasik membawa berita. Yang kita temukan adalah Al Hujurat ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

(Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu).

Kalau ada seorang ulama, imam membawa berita melalui kitab-kitabnya, masihkah kita meragukan ijtihadnya?

Saudaraku, orang yang paham Islam tidak akan selalu meragukan dan menanyakan dalil dan dalih untuk patuh pada hukum syariah karena ia telah mengerti ilmunya bagaimana memahami dan menjalankan hukum syariah.

Hukum syariah adalah hukum Allah yg dipahami oleh manusia bersumber pada Al-Qur'an, Hadis, Ijma Sahabat dan Qiyas dengan ijtihad yang benar. Itjihad bukan sekedar pendapat tapi adalah Hukum Syariah. Perbedaan akan sangat mungkin, namun bagi orang yang berilmu tidak akan mendatangkan perpecahan dan kebencian. Untuk perkara yang qath'i tidak boleh ada perbedaan.

Qath’i adalah ketetapan hukum yang sudah pasti yang langsung ditetapkan Allah maupun oleh Nabi Saw. Seperti wajibnya shalat 5 waktu, shalat dhuhur itu wajib 4 rakaat, mambaca Fatihah itu wajib dalam setiap rakaat shalat, puasa ramadhan itu wajib, puasa senin kamis itu sunnah, zakat itu wajib bagi yang mampu, naik haji itu wajib bagi yang sudah mampu dll. Hukum Qath'i seperti ini tidak boleh diperselisihkan lagi dan haram hukumnya memperselisihkannya. Dan dalam pengaplikasinya pun tidak ada yang berbeda pendapat baik dari kalangan sahabat hingga generasi berikutnya.

Perkara zhanni, yaitu dalil-dalil yang belum pasti penunjukannya terhadap satu masalah. Artinya ketika ada satu masalah yang memerlukan ketetapan hukum syariat, sedangkan dalil yang ada baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah tidak menunjukan kepastiannya, ataupun tidak ada dalil-dalil sama sekali, maka munculah perbedaan pendapat mengenai status hukum itu. Dan perbedaan pandangan ini sudah dimulai semenjak generasi sahabat di mana setelah wafatnya Nabi SAW dan Al-Qur’an pun sudah sempurna diturunkan, sedangkan permasalahan terus bermunculan. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan cara Ijtihad. Definisi mudah ijtihad itu adalah meneliti dengan seksama semua dalil yang ada dan mengambil paradigma berpikir yang dianggap tepat oleh seorang Mujtahid (orang yang berijtihad) untuk menetapkan satu kasus hukum.

Perbedaan dalam urusan pribadi ya sangat mungkin. Perbedaan dalam urusan publik: keputusan seorang imam khalifah mengangkat perbedaan. Imam harus mengambil salah satu hukum yang ada. Kisah Nabi banyak yang bisa menunjukkan betapa umat butuh pendapat akhir dari seorang imamah, khalifah. Bisa dikaji kisah Perang Khandaq dan Perang Uhud.

Kelima. Hukum Khilafah Bagaimana?

Pendapat yang menyatakan bahwa ijtihad ulama, ijtihad imam hanyalah pendapat biasa dan bukan termasuk hukum syariah adalah cara keji untuk menjauhkan umat Islam dari hukum Syariah. Khilafah adalah hasil ijtihad para ulama dalam kitab terpercaya dan bersumber pada sumber hukum: Al-qur'an dan Hadis.

Saudaraku, apakah Anda masih juga bingung?
Bingung, itu sebagai tanda awal tidak adanya ilmu. Menghadirkan ilmu: wajib. Masalah besar kita adalah tidak adanya ilmu. Carilah dalil yang kuat. Bila ada perbedaan kita harus toleran sambil mencari dasarnya, mencari dalilnya. Pendapat seseorang bisa jadi akan berubah karena konsisten pada kebenaran bukan nafsunya. 

Masih meragukan bahwa khilafah itu ajaran Islam yang merupakan bagian dari Hukum Syariah? Bila masih ragu bahkan menentangnya, sangat mungkin itu terjadi karena kita belum memahaminya lantaran tidak punya ilmunya.


Strategi yang Harus Ditempuh Umat Islam agar Tidak Meragukan Hukum Syariah Islam

Mengapa umat Islam terombang-ambing dalam keraguan? Orang ragu itu karena prinsipnya kurang atau bahkan tidak berilmu. Saudaraku, mungkin kita akan debatable terkait masalah ini, mengingat situasi politik kita sekarang yang sangat absurd dan begitu banyak distorsi penalaran sebagai insan berpikir. Bagi kami, sebagai sebuah ilmu pemerintahan, khilafah itu bukan sesuatu yang menjijikkan, atau berbahaya bagi eksistensi suatu rezim manapun selama kita tidak menggunakan cara kekerasan dan pemaksaan apalagi penggunaan perilaku ekstrim untuk memberlakukan suatu sistem pemerintahan tertentu. 

Selain penguasaan ilmu, dibutuhkan kedewasaan berpikir untuk memahami semua sistem apa pun di dunia ini sehingga kita tidak antipati bahkan prejudice terhadapnya sementara pengetahuan kita terhadapnya sangat minim dan terbatas. Mari kita tingkatkan literasi kita sehingga tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan suka melempar tanggung jawabnya. Kita buktikan bahwa Islam itu rahmatan lil 'alamiin, rahmat bagi seluruh alam. 

Apabila kita bicara tentang hukum syariah Islam tentang khilafah, seringkali kita juga terjebak soal sistem baku sebuah pola atau model pemerintahan. Apakah sistem pemerintahan khilafah itu memiliki model baku? Dalam hal menjawab masalah ini kita harus memiliki ilmu yang cukup plus kesadaran berpikir yang mendalam bahkan mustanir. Taruhlah sistem dan jenis kekhalifahan itu tidak baku, namun apakah sesuatu yang tidak baku itu tidak bisa diikuti? Kalau sekarang kita ikuti sistem pemerintahan demokrasi, apakah demokrasi juga punya bentuk baku? Negara mana yang benar-benar menerapkan sistem demokrasi yang benar? Ala Amerika, ala Rusia, Ala China, Ala Eropah, ala Asia, ala Afrika? Sebut, berapa jenis demokrasi yang ada? Dan apakah negara yang menganut demokrasi benar-benar menerapkan prinsip dasar demokrasi? Atau mereka tidak tulus menerapkan demokrasi melainkan hanya sekedar pseudo demokrasI? Atau bahkan sebenarnya mereka justru telah membunuh sendiri demokrasi yang mereka puja (harakiri) sebagaimana ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi pun akan mati bila kediktaktoran rezim justru dipertontonkan (How Democracies Die). 

Seandainya memang sistem pemerintahan Islam itu dikatakan tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk, beragam, pluralistik dan lain-lain, namun pernahkah kita juga berpikir bahwa apakah zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin itu masyarakat Madinah juga homogen? Masyarakatnya semua muslim? Tidak bukan? Ada yang muslim, musyrik, kafir dan tidak beragama juga ada. Jadi, ketika hukum Islam diterapkan masyarakat Madinah juga plural, majemuk, beragam. Lalu, benarkah alasan menolak ide kekhalifahan itu karena pluralitas masyarakatnya? Bukan itu! Alasannya karena kita tidak mau dan tentu saja banyak yang merasa terancam karena ditegakkannya hukum-hukum Allah atau setidaknya hukum yang bersumber dari hukum Islam. 

Memang sudah terbukti varian kekhalifahan itu beragam sistem. Namun, sebagai manusia yang dibekali oleh cipta, rasa dan karsa, tidak bisakah kita menyaring, memilah dan memilih sistem kekhalifahan terbaik dari sekian banyak varian sistem kekhalifahan itu sebagaimana kita pilih demokrasi Pancasila yang konon terbaik meskipun hingga sekarang pun kita sulit mengidentifikasi karakteristiknya karena Indonesia pun sistem pemerintahannya dikelola tidak lebih dan tidak kurang sama dengan negara liberal bahkan lebih liberal lagi. Lalu, demokrasi Pancasila itu yang bagaimana? Atau gampangnya begini, dari 7 rezim yang berkuasa dan semuanya mengklaim rezimnya berideologi Pancasila, coba tunjukkan kepada kamis rezim mana yang telah menjalankan dan menerapkan ideologi Pancasila dan oleh karenanya berbeda dengan negara dengan ideologi liberal dan atau komunis?

Itulah strategi umat yang harus ditempuh agar umat Islam sendiri tidak meragukan, tidak asing apalagi memusuhi hukum syariah Islamnya sendiri. Kalau bukan umat Islam sendiri, siapa lagi yang akan merawat, mengokohkan dan menerapkan hukum syariah yang jelas dibentuk berdasarkan sumber-sumber yang sahih dan benar serta diterjemahkan oleh para alim ulama yang memiliki kompetensi tinggi serta dijamin keilmuannya dan keshalihannya. []


Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

0 Komentar