Proyek Strategis Nasional di Kawasan Elit: Inikah Hipokrisi Pemerataan Pembangunan dalam Sistem Kapitalis?


MutiaraUmat.com -- Proyek Strategis Nasional (disingkat PSN) adalah proyek-proyek infrastruktur Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dianggap strategis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, kesejahteraan masyarakat, dan pembangunan di daerah (Wikipedia). Oleh karena itu wajar rakyat berharap dari PSN ini akan merasakan kenyamanan infrastruktur yang merata, hingga akan membawa kesejahteraan bagi mereka.

Di tahun 2024 ini, pemerintah sudah menargetkan 41 PSN bakal selesai. Pemerintah juga menetapkan 14 usulan PSN baru yang pembiayaannya berasal dari investor swasta dan tidak membutuhkan dukungan APBN.

Juru Bicara Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto mengungkapkan pengembangan 14 PSN baru dilakukan di sejumlah daerah yakni di Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Mencakup pengembangan di berbagai sektor, 14 PSN baru tersebut terdiri dari 8 Kawasan Industri, 2 Kawasan Pariwisata, 2 Jalan Tol, 1 Kawasan Pendidikan, Riset dan Teknologi, Kesehatan, serta 1 Proyek Migas Lepas Pantai. (CNBC Indonesia, 25-3-2024)

Dari 14 PSN baru, Bumi Serpong Damai (BSD) dan Pantai Indah Kapuk (PIK) adalah 2 di antaranya yang ditetapkan sebagai PSN. Dua kawasan elite yang sudah berkembang ini digarap oleh Agung Sedayu Group dan Sinar Mas Group. Penetapan BSD dan PIK menjadi PSN ini memunculkan tanda tanya adanya hipokrisi pemerataan pembangunan di sistem kapitalis.

Mengapa pemerintah menetapkan proyek strategis nasional di kawasan elit?
Apa dampak pembangunan proyek strategis nasional di kawasan elit?
Bagaimana seharusnya pemerintah menetapkan pembangunan infrastruktur?


Proyek Strategis Nasional di Kawasan Elit Menjadi Hipokrisi Pemerataan Pembangunan dalam Sistem Kapitalis

Proyek strategis nasional di kawasan elit yakni BSD dan PIK telah memicu tanda tanya. Pasalnya, proyek-proyek di kawasan elit tersebut telah berjalan. Sedangkan, masih banyak di daerah-daerah lain yang lebih membutuhkan adanya pemerataan pembangunan, sebagaimana yang menjadi tujuan pembangunan proyek strategis nasional.

Meskipun PSN di dua kawasan elit ini tidak memperoleh suntikan dana APBN, tetapi dengan dijadikannya PSN dipastikan akan mendapatkan berbagai fasilitas dan kemudahan. Fasilitas tersebut diberikan dalam bentuk:
Pertama, kemudahan perizinan mulai dari tahap perencanaan, penyiapan, transaksi, konstruksi, operasi dan pemeliharaan.
Kedua, kemudahan dalam hal pembiayaan. Aturan pembiayaan yang krusial sebagaimana dalam peraturan yang telah dibuat bahwa pembiayaan PSN yang tidak memakai APBN dan APBD bisa ditopang melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).
Ketiga, memperoleh jaminan pemerintah. Seperti, kredit atau pembiayaan syariah, kelayakan usaha, KPBU, dan risiko politik.
Keempat, penanganan dampak sosial. Menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota menyiapkan program dan anggaran untuk penanganan dampak sosial bagi masyarakat terdampak langsung atas pelaksanaan PSN.

Terpantau, setelah ditetapkan sebagai PSN telah berpengaruh pada harga saham perseroan pengelola kawasan PIK dan BSD naik. Dilansir dari CNBC Indonesia (25-3-2024), kedua saham tersebut yakni PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) milik Keluarga Widjaja, pengelola perumahan BSD City di Serpong, Tangerang Selatan dan PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) milik Sugianto Kusuma alias Aguan, pengelola kawasan perumahan elit di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. Hingga pukul 09:15 WIB, saham BSDE terpantau melesat 1,53% ke posisi harga Rp 995/saham. Sedangkan saham PANI melejit 5,16% menjadi Rp 5.600/saham. Bahkan, dilansir dari bisnis.com (24-3-2024), nilai investasi kedua proyek PSN tersebut, yakni BSD dan PIK diperkirakan mencapai Rp83,54 triliun.

Tidak heran penetapan BSD dan PIK menjadi PSN memicu tanda tanya. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai ini sebagai proyek balas budi, karena masuknya BSD dan PIK ke dalam PSN dianggap tidak tepat dan tidak ada urgensinya hingga membutuhkan pemerintah turun tangan. (Tempo, 27-3-2024)

Tidak jauh berbeda, Chief Executive Officer Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, menilai penetapan tersebut ada kaitannya dengan unsur politik. Kawasan PIK dikembangkan oleh Agung Sedayu Group milik Sugianto Kusuma alias Aguan. Sedangkan BSD merupakan bagian dari Sinar Mas Group. Agung Sedayu dan Sinar Mas termasuk 10 investor kelas kakap yang membantu Presiden Jokowi membangun IKN. (Kumparan, 23-3-2024)

Pada akhirnya akan semakin nampak, penetapan kawasan elit BSD dan PIK masuk ke dalam proyek strategis nasional menjadi hipokrisi pemerataan pembangunan demi kesejahteraan rakyat. Proyek strategis nasional yang telah diselesaikan maupun yang masih berjalan nampak lebih condong bersifat kapitalistik, lebih mementingkan investor atau oligarki. Faktanya, kedua kawasan elit yang dipegang oleh swasta ini proyeknya telah berjalan dan berkembang. Rasanya sangat masuk akal jika dikatakan pemerintah tidak perlu dan tidak ada urgensinya turut campur. Ini semakin menguatkan opini publik ada kepentingan elit politik atau oligarki di daerah tersebut.

Selain itu, hipokrisi pemerataan pembangunan dalam proyek strategis nasional juga nampak dari munculnya berbagai konflik dalam praktiknya di lapangan sehingga jauh panggang dari api dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Faktanya, banyak konflik perampasan lahan, sengketa lahan, kerusakan lingkungan maupun sosial budaya, dan hanya memberikan kerugian bagi rakyat.


Dampak Penetapan Proyek Strategis Nasional di Kawasan Elit

Sudah seharusnya pembangunan proyek strategis nasional berorientasi pada pemerataan pembangunan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan di daerah setempat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, faktanya pembangunan dalam sistem kapitalisme lebih sering menguntungkan para oligarki dan merugikan rakyat. Contoh saja pembangunan jalan tol, banyak yang sudah rampung tetapi tidak dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan rakyat, tidak sedikit yang enggan menggunakan karena mahalnya biaya tol.

Penetapan kawasan elit yakni BSD dan PIK ke dalam PSN, seakan rakyat melihat pemerintah sudah tak malu lagi menampakkan hipokrisinya. Pemerataan pembangunan seakan hanya sekadar pretensi agar tampak sebagai penguasa yang memikirkan nasib rakyat.

Dampak yang dapat dilihat dari penetapan PSN di kawasan elit ini, di antaranya:

Pertama, menguatkan pemerintahan yang kapitalistik. Menjadi hal yang lumrah ketika negara menggunakan kapitalisme sebagai paradigmanya, maka kebijakan yang ditetapkan cenderung menguntungkan para kapitalis atau oligarki.

Kedua, menampakkan hipokrisi pemerataan pembangunan dalam PSN. Ketika paradigma kapitalisme yang dijadikan sebagai tolok ukur, pemerataan pembangunan yang menjadi tujuan dalam PSN hanya akan menampakkan hipokrisi pemerintah. Ketika berbenturan antara kepentingan rakyat dengan kepentingan oligarki, dapat dipastikan nasib rakyat akan lebih sengsara.

Ketiga, PSN menciptakan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hanya presensi saja. Tidak sedikit proyek strategis nasional yang membebaskan lahan sekitar, mengakibatkan hilangnya mata pencarian masyarakat di sekitarnya.

Keempat, menguatkan adanya politik balas budi. Meskipun dalam penetapan BSD dan PIK ke dalam PSN, pemerintah telah membantah adanya nuansa politik dengan berbagai alasan yang dikemukakan, tetapi melihat trust rakyat kepada pemerintah kemungkinan dapat dipastikan rakyat hanya akan menganggap alasan itu hanya sekadar presensi belaka.


Strategi Pembangunan Infrastruktur dalam Islam

Infrastruktur untuk jalan, pendidikan, kesehatan ataupun fasilitas-fasilitas lainnya yang dibutuhkan masyarakat merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya. Apalagi jika itu infrastruktur yang berkaitan dengan kebutuhan dasar tiap individu. Inilah paradigma Islam.

Itulah mengapa pembangunan berbagai infrastruktur di dalam paradigma kapitalisme jauh berbeda dengan Islam. Jika kapitalisme menitikberatkan pada untung dan rugi serta cenderung memihak segelintir kelompok oligarki, berbeda dengan Islam yang tiap-tiap perencanaan pembangunannya menimbang manfaatnya bagi masyarakat. Maka, kewajiban pemerataan pembangunan tidak lagi sekadar hipokrisi.

Beberapa contoh pembangunan dalam kekhalifahan Islam di antaranya proyek pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam hingga Istambul. Pembangunan ini dilakukan pada masa Sultan Ottoman. Kereta api Hijaz digunakan untuk mengangkut penumpang dan barang-barang komersial setiap hari. Dan di bulan haji, menjadi transportasi mudah bagi para jamaah haji, perjalanan dari Damaskus ke Madinah yang sebelumnya ditempuh dalam 40 hari dengan unta menjadi hanya 72 jam.

Pada masa Khilafah ‘Abbasiyyah, Zubaidah yakni istri Khalifah Harun ar-Rasyid membiayai proyek saluran air bersih di Jalur Armina (Arafah-Mina-Muzdalifah), dikenal dengan nama Qanat Zubaidah (Jalur Air Zubaidah). Proyek saluran air bersih ini terhubung hingga ke Baghdad dengan Birkah (Situ) dan ‘Ain Zubaidah (Mata Air Zubaidah).

Kemudian ada tiga perpustakaan besar yang dibangun di masa kekhalifahan Islam, yaitu Baytul Hikmah di Baghdad, perpustakaan Dinasti Fatimiyyah di Mesir, dan perpustakaan Kordoba milik Dinasti Umayyah.

Baytul Hikmah (`Rumah Kebijaksanaan') yang dirintis Sultan Harun ar-Rasyid telah melahirkan cendikiawan Muslim, di dalamnya berkumpul karakteristik multikultural terdiri atas orang- orang Aramaik, Persia, Arab, serta berbagai umat beragama, baik Muslim maupun non-Muslim. Semuanya hidup berdampingan secara damai dan adil.

Kemudian pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, ada pembangunan proyek pengerukan kembali sungai yang pernah mengalir di antara sungai Nil dan benteng Babilonia serta mengalir ke laut merah. Pada masa lalu diketahui sungai tersebut merupakan jalur perdagangan antara Mesir dan Hijaz, tetapi sungai itu telah ditutup oleh Romawi khalifah. Proyek pengerukan ini dipandang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Gubernur Mesir Amru bin Ash menjalankan proyek tersebut dan hasilnya tampak nyata, jalur perdagangan antara Hijaz dan Mesir menjadi lebih mudah dan membuat perekonomian kembali menggeliat.

Itulah beberapa contoh pembangunan berbagai infrastruktur dalam masa pemerintahan Islam, semuanya ditujukan demi kemaslahatan rakyat hasilnya pun benar-benar memberi kesejahteraan bagi rakyat, bukan sekadar hipokrisi semata.

Dalam pembangunan tentu akan membutuhkan dana yang cukup besar, Islam memiliki berbagai mekanisme dalam pembiayaan pembangunan, di antaranya:

Pertama, membangun infrastruktur dengan dana Baitul Mal. Ini sangat mungkin, dengan kekayaan umum yang ikuasai dna dikelola negara, ditambah kekayaan milik negara, pembangunan itu dapat dilakukan.

Kedua, jika Baitul Mal tidak ada dana, dan proyek pembangunan tersebut sangat vital yang merupakan satu-satunya fasilitas umum yang dibutuhkan rakyat, negara akan mendorong partisipasi publik untuk berinfak. Apabila masih belum cukup, negara mengenakan pajak bagi Muslim laki-laki, dan mampu. Atau negara bisa mengajukan fasilitas kredit tanpa bunga dan syarat yang menjerat. Namun, ini hanya untuk proyek infrastruktur vital saja, tetapi kemungkinan sangat kecil melihat kekayaan milik umum yang berlimpah di negeri-negeri Muslim.

Strategi pembangunan infrastruktur dalam Islam terbukti mampu memberikan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi rakyat, bukan sekadar hipokrisi semata layaknya kapitalisme yang cenderung pada kepentingan rakyat segelintir saja.


Penutup 

Proyek strategis nasional di kawasan elit telah membuka mata rakyat, bahwa paradigma pembangunan dalam sistem kapitalis menjadikan upaya pemerataan pembangunan sekadar hipokrisi semata.

Pada akhirnya berdampak menguatkan paradigma pemerintahan hari ini yang kapitalistik, menampakkan hipokrisi pemerataan pembangunan, begitu pula upaya menciptakan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hanya sekadar presensi saja, serta menguatkan anggapan adanya politik balas budi.

Strategi pembangunan infrastruktur dalam Islam sepenuhnya demi kemaslahan dan kesejahteraan rakyat dengan mekanisme pembiayaan dari Baitul Mal, dan ini telah terbukti dalam sejarah panjang kekhalifahan Islam. []


#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo 

0 Komentar