PPN Naik, Hidup Rakyat Makin Sengsara


MutiaraUmat.com -- PPN Kembali Naik pada 2025 Mendatang

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menuturkan bahwa kebijakan untuk menaikkan pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipastikan akan diberlakukan mulai 2025, hal ini sebagai kebijakan dari pemerintah Presiden Jokowi yang akan dilanjutkan oleh kepemimpinan presiden selanjutnya. Kenaikan PPN tersebut berdasarkan pada Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menyatakan bahwa pada 1 April 2022 PPN sebesar 11 persen dan akan kembali dinaikkan menjadi 12 persen. (Dikutip: tirto.id, diakses pada 16 Maret 2024).

Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah atau paling tinggi, yaitu minimal 5% dan maksimal 15% yang kewenangan ini diterbitkan melalui Peraturan Pemerintah atau PP setelah sebelumnya dilakukan pembahasan terlebih dahulu dengan DPR sebagaimana di atur dalam Pasal 7 ayat 3 Undang-Undang PPN. (Dikutip: cnbcindonesia.com, diakses pada 16 Maret 2024).


Pajak sebagai Salah Satu Sumber Pendapatan

Pajak merupakan sebuah pungutan yang bersifat wajib yang dilimpahkan bebannya kepada rakyat untuk diberikan kepada pemerintah. Sedangkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pungutan juga yang tarifnya dikenakan pada tiap proses produksi ataupun distribusi suatu benda/barang. Maka jangan heran ketika sedang melakukan transaksi, salah satunya saat makan di suatu tempat kita akan dikenakan biaya tambahan berupa PPN, karena konsumen atau pembeli adalah pihak yang dalam hal ini dibebankan untuk membayar PPN dari setiap makanan yang dibeli.

Di Indonesia, pajak adalah salah satu pilar utama dalam menghasilkan pendapatan bagi negara. Pada akhir Juli 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa pajak memainkan peran penting sebagai salah satu sumber untuk pemasukan untuk menunjang kegiatan negara dan jumlah pemasukan atau penerimaan negara yang bersumber dari pajak mencapai Rp. 1.109,1 triliun. Sungguh jumlah yang sangat besar. (Dikutip: kemenkeu.go.id, diakses pada 16 Maret 2024). 

Kebijakan untuk menaikkan taraf pajak tentunya akan sangat membebani masyarakat yang sejatinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri sudah sangat tercekik, namun harus dibebankan untuk membiayai negara yang seharusnya justru membiayai kehidupan masyarakatnya. Bahkan tidak sedikit dari pajak yang sudah dikeluarkan oleh masyarakat yang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri sangat berat malah dikorupsi dan disalahgunakan oleh oknum yang tidak memiliki pertanggungjawaban atas amanah yang sudah dipercayakan dan menghianati kepercayaan masyarakat.

Sungguh menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan negara adalah sesuatu yang salah. Kesalahan ini mulai dari pembebanan kepada rakyat yang seharusnya negara yang mengurusnya, penggunaan pajak yang penggunaannya sering kali tidak transparan diketahui secara detail oleh masyarakat, sampai sistem pajak yang tidak adil. 

Sistem pajak yang tidak adil ini dapat kita temukan dalam banyak kasus, banyaknya golongan kaya atau korporasi besar yang kedapatan menggunakan kekuasaan dan kemampuannya untuk menghindari atau menguransi kewajiban pajak mereka, semenara masyarakat menengah ke bawah sampai masyarakat ke bawah terus ditekan untuk membayar kewajiban pajak mereka dengan berbagai slogan-slogan, seperti “Bangga Bayar Pajak”, “Orang Bijak Taat Pajak”, “Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya”, dan masih banyak lagi slogan-slogan yang digaungkan agar masyarakat memenuhi kewajibannya.

Namun di satu sisi, pemerintah atau negara sebagai lembaga yang memiliki banyak tanggung jawab dan kewajiban justru banyak kewajiban yang tidak ditunaikan namun malah bersikap acuh atas akibat dari tidak dijalankannya kewajiban itu dengan baik. Salah satu akibat dari terlalaikannya kewajiban negara adalah carut-marutnya perekonomian negara yang mengakibatkan tidak sejahteranya kehidupan masyarakat.


SDA Berlimpah Tak Cukup untuk Pemasukan Negara

Indonesia telah dikenal secara luas karena melimpahnya sumber daya alam yang dimilikinya. Keberagaman sumber daya alam yang ada di Indonesia seperti adanya minyak bumi, gas alam, batu bara, tambang mineral, serta kekayaan alam lainnya telah menjadi ciri khas negara ini yang dicirikan sebagai negara yang makmur akan sumber daya alam. Kekayaan alamnya terbentang, baik yang berada di atas maupun di bawah tanah. Meskipun demikian faktanya hari ini, kekayaan kekayaan sumber daya alam (SDA) tidak mampu dan cukup untuk menjadi sumber utama pemasukan negara. Ini disebabkan oleh sistem pengelolaan yang salah, eksploitasi SDA, kepemilikan yang bebas, hingga kesalahan akar yaitu salahnya sistem pemerintahan yang salah hingga berimbas pada kesalahan pada pengelolaan bidang ekonomi salah satunya.

Eksploitasi SDA adalah fenomena yang saat ini sedang masif terjadi. SDA dikeruk secara habis-habisan dan tanpa memperhatikan dampak buruknya namun nyatanya tetap tidak mampu menjadikan negara ini kuat dari sisi pendapatan negara. Belum lagi kekayaan yag hanya berputar di segelintir orang karena tidak diaturnya batas kepemilikan karena sistem ekonomi yang dianut adalah kapitalisme liberal, yang menjadikan bebasnya kepemilikan bagi siapa pun yang mampu. Hal ini menjadikan negara sebagai lembaga tertinggi terkadang hanya menjadi regulator bagi para orang-orang kaya yang memiliki kekayaan luar biasa yang tidak memberikan pengaruh berarti bagi pemasukan dan pendapatan negara.

Pengelolaan SDA yang didasarkan pada sistem ekonomi kapitalisme liberalisme hari ini menjadikan betapapun banyaknya SDA hari ini tak akan pernah mampu menjadikan SDA sebagai sumber utama pemasukan negara. Sehingga masyarakat akan mustahil seluruhnya mendapatkan kesejahteraan justru sebaliknya hari ini masyarakat justru sengsara menopang hidupnya dan semakin sengsara lagi karena harus dibebankan untuk membayar pajak guna “menghidupi” negara.


Pajak dalam Perspektif Islam

Mengutip dari penjelasan Ustadz Hafidz Abdurrahman, MA bahwa pajak dalam perspektif Islam disebut dharibah. Dharibah adalah sebagai sesuatu yang diwajibkan atas harta maupun orang di luar kewajiban syarak. Pendapat lain adalah sebagai harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam situasi di mana tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya. Jadi Dharibah atau pajak dalam perspektif Islam akan ada dalam “kondisi tertentu” saja, lebih tepatnya adalah saat tidak ada lagi harta di Baitul Mal sehingga negara tidak mampu untuk menjalankan segala aktivitas dan kewajibannya jika harta tersebut tidak ada.

Dalam Islam pajak atau dharibah tidak dijadikan sebagai salah satu tumpuan utama negara, dan pembayarannya juga tidak dibebankan kepada seluruh masyarakat, melainkan hanya dibebankan kepada kaum muslim yang tergolong kaya atau memiliki kelebihan harta yang nantinya akan dipungut darinya pajak atau dharibah. Pajak dalam Islam dibolehkan namun ada syarat-syarat tertentu yang dirujuk dari sumber hukum syarak dalam Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis.

Adapun hari ini pajak yang dijalankan dan dipakai oleh umat Muslim adalah berasal dari ekonomi Barat kapitalis. Sehingga pajak hari ini tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam karena tidak bersumber dari Islam, yaitu sekuler karena memang hari ini negara kita adalah negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan kehidupan. Sehingga hari ini kesejahteraan sangat jauh bagi masyarakat karena sistem ekonomi khususnya yang diterapkan adalah sistem ekonomi yang berasal dari Barat yang sejatinya adalah sistem kufur dan berasal dari selain Islam yang sudah tentu sangat haram untuk diterapkan dan digunakan.


Sumber Pendapatan Negara dalam Islam

Sumber pendapatan negara dalam Islam yang pengimplementasiannya dapat kita lihat pada masa Daulah Islam bahwa dalam Daulah Islam atau dapat kita sebut Daulah Khilafah Islamiyah. Sumber pendapatan dalam Islam di antaranya adalah (1) fai, (2) jizyah, (3) kharaj, (4) ‘usyur, (5) harta milik umum yang dilindungi negara, (6) harta haram pejabat dan pegawai negara, (7) khumus rikaz dan tambang, (8) harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan (9) harta orang murtad. Yang semuanya diterima negara dan masuk melalui baitul mal dan dikelola dengan sebaik mungkin untuk kebutuhan negara. (Dikutip dari: muslimahnews, diakses pada 16/03/2024).

Pajak dalam khilafah adalah solusi akhir ketika Baitul Mal tidak mampu memenuhi kebutuhan negara untuk melaksanakan segala kewajibannya. Dan kondisi ini sangat jarang terjadi saat penerapan sistem Islam dalam bentuk negara khilafah diterapkan. Dan apabila dana yang ada di Baitul Mal telah mampu untuk memenuhi berbagai kebutuhan negara, maka pungutan pajak harus langsung dihentikan. 

Dengan mekanisme seperti ini, khilafah memiliki banyak sumber pendapatan untuk memenuhi kewajiban negara sebagai pengurus rakyatnya, sehingga tidak akan ada masyarakat yang terbebani karena harus mengeluarkan hartanya untuk membiayai negara yang pengeluaran harta tersebut bersifat wajib dan rutin dilakukan. Sehingga masyarakat tidak akan merasa tertekan dengan segala kebutuhan hidup yang harus ditambah dengan kebutuhan hidup negara.

Beginilah kehidupan masyarakat yang akan sangat sejahtera ketika syariat Islam sebagai dasar negara diterapkan. Maka akan turun keberkahan, kesejahteraan, kenyamanan, dan kenikmatan bagi masyarakatnya. Maka sudah seharusnya hari ini kita sebagai kaum muslim berusaha untuk mewujudkan kembali kehidupan yang begitu penuh keberkahan tersebut, berusaha memunaikan kewajiban kita untuk menerapkan Islam secara kaffah di muka bumi Allah ini.

Wallahu a’lam. []


Oleh: Hemaridani
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar