Perundungan Perempuan juga Bisa?


MutiaraUmat.com -- Viral di jagad Maya. Video perundungan pada dua remaja perempuan oleh seorang perempuan dewasa beserta 3 remaja perempuan di Batam. Terlihat dalam video tersebut, dua remaja mengalami kekerasan fisik. Mereka dipukul dan ditendang berkali-kali oleh pelaku, hingga kesakitan dan menangis (liputan6.com, 06/03/2024).

Kasus perundungan ini telah ditangani oleh pihak kepolisian. Motif para pelaku yang berinisial N (18), RRS (14), M (15), dan AK (14), melakukan perundungan adalah sakit hati. Tak hanya pelaku, korban penganiayaan yang berinisial SR (17) dan EF (14) pun mengakui bahwa mereka kerap terlibat saling ejek dan menjelek-jelekkan.

Peristiwa ini pun sampai ke telinga Kementerian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Kementerian ini mengecam tindakan perundungan, siap mengawal kasus ini dan memberikan pendampingan kepada korban.


Fenomena Gunung Es

Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Setiap hari kita disuguhkan berita perundungan. Pelakunya mulai dari anak-anak setingkat SD hingga remaja setingkat SMA bahkan dewasa. Perundungan yang identik dengan adu fisik, logikanya hanya dilakukan oleh laki-laki. Faktanya saat ini, perempuan pun bisa melakukan perundungan. 

Hingga Agustus 2023, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat sebanyak 2.355 pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk KPAI (republika.co.id, 09/10/2023). Diduga kuat, yang tidak tercatat masih banyak lagi. Jumlahnya pun terus meningkat setiap bulannya.

Kasus perundungan laksana fenomena gunung es. Yang nampak di permukaan lebih jauh lebih sedikit dibandingkan yang tidak kelihatan. 


Faktor Pemicu

Ada tiga faktor yang menyebabkan generasi hari ini begitu mudah melakukan perundungan, di antaranya:

Pertama, asuhan orang tua. Tak sedikit orang tua yang melampiaskan emosi kepada anak-anaknya. Kelelahan orang tua dalam memenuhi tuntutan hidup diantara himpitan ekonomi acap kali membuatnya gelap mata. Dan anak pun menjadi korban aksi kekerasan verbal maupun fisik.

Kedua, faktor lingkungan. Boleh jadi si anak telah di didik dengan baik di rumahnya. Diberi limpahan kasih sayang dan terhindar dari tindak kekerasan. Namun lingkungan mewarnainya dengan berbagai hal toksik seperti saling ejek yang berujung pada perkelahian. 

Persis seperti lagunya Bang H. Rhoma Irama. "Darah muda darahnya para remaja. Selalu merasa gagah tak pernah mau mengalah. Masa muda masa yang berapi api. Maunya menang sendiri walau salah tak peduli. Darah muda"

Faktor ketiga, konten hiburan yang tak mendidik. Mulai dari serial animasi yang sering berkata-kata kasar. Film dan sinetron yang penuh dengan konflik dan adegan kekerasan. Hingga sosmed dan game online yang tanpa filter menjejali otak anak dengan berbagai macam termasuk kekerasan.


Akar Masalah

Sekalipun negara sudah membentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Komisi Perlindungan Anak (KPAI). Pemerintah pun sudah menerbitkan sejumlah regulasi untuk mencegah dan menindak aksi kekerasan di dunia pendidikan. Bahkan di tiap sekolah telah diinstruksikan untuk membentuk satgas anti kekerasan.

Faktanya, aksi perundungan terus terjadi bahkan cenderung meningkat. Artinya, segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah tak menyentuh akarnya. Faktor-faktor pemicu terjadinya perundungan tak pernah diselesaikan hingga ke akarnya.

Akar masalah perundungan bersumber dari sistem kehidupan kapitalisme yang saat ini diterapkan. Sistem kapitalisme menempatkan negara hanya sebagai regulator, bukan pengurus dan pelindung rakyat. Negara justru selalu menyerahkan setiap persoalan kepada keluarga. Keluarga jadi benteng yang melindungi negara. Logika terbalik.

Sistem ekonomi kapitalisme memberikan izin kepada swasta untuk mengelola sektor-sektor strategis. Termasuk pelayanan umum seperti kesehatan, transportasi, BBM, listrik, dll. Akibatnya, income rumah tangga menjadi tak seberapa dibandingkan pengeluaran. Ditambah dengan harga sembako yang selalu naik akibat ketidakberdayaan pemerintah terhadap swasta yang menguasai pasar. Tekanan ekonomi rumah tangga cenderung terus meningkat. Tingkat stres orang tua pun tinggi. Alhasil, anak menjadi korban. 

Di masyarakat, tingginya pengangguran menyebabkan kriminalitas yang tinggi, perundungan pun subur. Sektor SDA yang potensinya besar, termasuk dalam menyerap tenaga kerja, justru diserahkan kepada swasta asing. 

Sistem pendidikan sekuler melahirkan generasi yang split kepribadian. Memiliki mindset materialisme, meletakkan standar kebahagiaan hidup pada kesenangan duniawi dan jasadiyah. Mudah menyakiti orang lain demi kepuasan diri. Bersikap semaunya tanpa batas karena sekularisme telah menjauhkannya dari agama.

Negara bersistem sekuler kapitalisme hanya memikirkan keuntungan dari dunia hiburan. Tanpa peduli apakah kontennya mendidik atau merusak. Apalagi dengan agama, apakah sesuai atau bertentangan. Tak ada variabel terikat selain materi. 

Melengkapi ketidakmampuan sistem kapitalisme menuntaskan perundungan. Yaitu sistem sanksi yang tidak memberi efek jera. Mendefinisikan anak-anak hingga berusia 17 tahun, membawa konsekuensi logis yang harus ditelan dengan pahit. Hukuman yang lebih ringan atau bahkan dikembalikan kepada keluarga untuk dibina. Alhasil, perundungan pun menjalar kemana-mana hingga perempuan pun bisa menjadi pelaku.


Solusi Sistemis untuk Perundungan

Perlu perubahan sistem untuk menihilkan kasus perundangan. Hanya sistem Islam kaffah yang berasas akidah Islam melalui representatif negara khilafah yang mampu menuntaskan kasus perundungan.

Islam memberikan kewajiban negara sebagai ra'in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (perisai umat). Rasulullah SAW bersabda: “Imam/Khalifah itu adalah ra'in dan bertanggungjawab terhadap apa yang diurusnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Khilafah akan menyelenggarakan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam dan melahirkan individu berkepribadian Islam. Individu yang akan menyesuaikan setiap perbuatannya dengan syariat Allah. Sebab tujuan hidupnya hanyalah untuk mencari ridha Allah.

Sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan akan membantu orang tua fokus mendidik anaknya. Media informasi akan diatur sebagai sarana syiar Islam dan keagungan khilafah. Adapun hiburan, Islam memandangnya sebagai perkara mubah selama tidak ada unsur yang melanggar syariat Islam. Khilafah tak menjadikan sektor hiburan sebagai sumber pemasukan negara.

Sistem sanksi Islam yang tegas akan memberi efek jera dan mencegah terjadinya kemaksiatan yang sama. Islam membagi fase hidup manusia hanya dua yaitu baligh dan belum baligh, bukan berdasarkan umur. Jika seseorang sudah baligh dan bermaksiat maka ia akan terkena sanksi dalam Islam.

Hanya khilafah yang mampu menerapkan seperangkat sistem mencegah terjadinya perundungan. Wallahu a'lam. []


Oleh:Mahrita Julia Hapsari
Aktivis Muslimah Banua

0 Komentar