Pemilu dalam Sistem Demokrasi Didesain untuk Sirkulasi Elite Politik

MutiaraUmat.com -- Pengamat Politik Dr. Riyan, M.Ag melontarkan kritikannya terkait Pemilu bahwa Pemilu dalam sistem demokrasi hanya didesain untuk sirkulasi elite politik. 

"Pemilu dalam sistem demokrasi didesain hanya untuk sirkulasi elite. Hanya sekadar pergantian orang saja. "Jadi kalau kemarin kamu, ya sekarang saya lah, atau kalau kamu mau, saya kasih ya segini, tapi jangan gangguin saya," begitulah kira-kira. Sehingga dari sini saya kira masyarakat akan terus melihat hal ini sebagai sesuatu yang akan terus berlangsung," jelasnya dalam Program Live Kabar Petang: Pertemanan Jokowi dan Prabowo Tidak Permanen? di YouTube Khilafah News, Rabu (6/3/2024).

Ia melihat, saat para politisi sudah duduk di bangku kekuasaan output dari kebijakan-kebijakannya bukan menguntungkan justru merugikan rakyat.

"Maka, sudah saatnya saya kira masyarakat diajak berpikir untuk kemudian memikirkan sistem alternatif agar jangan sampai mereka hanya sekadar dijadikan sebagai legitimasi, hanya sebagai batu loncatan saja. Rakyat itu dengan diberikan sekian ratus ribu tapi kemudian dizalimi selama lima tahun. Itu menjadi hal yang sangat penting untuk kemudian menjadi pertimbangan," ucapnya. 

Ia menuturkan, sudah sekian kali pemilu terselenggara pada saat yang sama tidak terhitung juga rakyat kecewa dengan hasilnya. Padahal Rasulullah sudah mengingatkan bahwa seorang muslim tidak boleh terjerembab di lubang yang sama dua kali, tetapi pada faktanya umat ini telah jatuh di lubang yang sama berulang kali. 

"Kemudian pas pemilihan yang kita dapatkan akhirnya justru bukan harapan-harapan yang dijanjikan dalam busa-busa kampanye. Namun, yang terjadi malah kekecewaan demi kekecewaan," cetusnya. 

Demokrasi-Sekulerisme

Ia menilai, sebab tak kunjung usainya rakyat diselimuti rasa kecewa adalah karena masih diterapkannya sistem demokrasi yang berbasis sekularisme yakni memisahkan agama dari kehidupan. Karenanya, poin penting pertama yang harus dilakukan adalah mewujudkan perubahan dari sisi asas kehidupan berbangsa dan bernegara. 

"Adalah hal yang rasional kalau umat Islam kembali kita ingatkan tentang pentingnya membangun hubungan berbangsa dan bernegara dengan asas akidah. Dalam konteks ini tidak ada tempat untuk sekularisme dan ujungnya tentu tidak ada tempat untuk sistem demokrasi yang kemudian salah satu bentuknya itu adalah mereka hanya sekadar bertukar tempat ketika kemudian ada dalam keputusan pemerintahan. Tetapi output-nya tetap aja sama. Kezaliman, kefasadan ada di dalam berbagai kebijakan yang diberlakukan untuk rakyat," ujarnya. 

Lebih lanjut ia menjelaskan poin kedua, yaitu dibutuhkan partai Islam ideologis yang kuat dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Pada konteks perubahan partai Ideologis bisa menjadi pemimpin dari perubahan yang kita harapkan, tetapi atas dasar Islam, sehingga dari situ nanti akan terbentuk tatanan Islam. Kalau di dalam literatur dan pendapat yang mahsyur dikalangan para ulama itulah nanti dalam konteks sistem Khilafah. Kemudian partai politik ini tidak ada kaitannya dengan oposisi tetapi kaitannya dengan melakukan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa yang nanti terpilih atau Khalifah. 

"Jadi partai politik ini ada bukan kepentingan atau haus kekuasaan, tetapi kepentingannya adalah sama-sama bersama dengan penguasa mendekatkan diri kepada Allah. Penguasa mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menerapkan hukum Islam secara kaffah kemudian rakyat yang diwakili oleh partai politik Islam ideologis tadi itu melakukan ketakwaannya dengan melakukan amar makruf nahi mungkar sehingga dari situ maka kita  bisa melihat bagaimana nanti adanya konfigurasi politik yang Islami," paparnya.

Jadi katanya, tidak hanya persoalan  pergantian, tetapi yang terjadi adalah berabagai upaya utk mendekatkan diri kepada Allah karena atas dasar akidah dan  karena keinginan untuk takwa.

"Sehingga menjadi negeri baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur, negeri yang penuh kebaikan dan ampunan dari Allah SWT," tuntasnya []Tenira

0 Komentar