Nonis Serukan War Takjil: Ini Demi Toleransi ataukah Modus Siasat Moderasi?


MutiaraUmat.com -- Fenomena non Islam (nonis) ikut berburu takjil mulai viral ketika viral video pendeta Marcel yang mengajak jemaatnya berburu takjil. Hal itu makin viral ketika diikuti influencer nonis yang membuat konten-konten war takjil. Seperti, mereka mengenakan hijab, mencoba menghafalkan rukun iman dan Islam, dan sebagainya. Sampai pada akhirnya, pendeta Marcel yang menyeru jemaatnya war takjil diundang di Podcast Deddy Corbuzier bertajuk Log In yang dipandu Habib Jafar dan Onad dua hari yang lalu (Senin, 25 Maret 2024) di YouTube Deddy Corbuzier bertajuk Habib: Awas Nanti Paskah Kami Balas Kalian! Perang Takjil Jafar Onad.

Dalam diskusi mereka bahas soal toleransi dan upaya meluruskan hal-hal yang tidak benar dan sebagainya. Sebenarnya aneh, apa yang harus diluruskan? Dari zaman Nabi Muhammad Saw Islam adalah agama yang paling toleran sebagaimana dalam surat Al-Kafirun ayat terakhir, lakumdinukum waliyadin. Toleransi adalah menghargai ibadah agama lain, bukan lalu latah ikut-ikutan budaya dan kebiasaan agama lain.

Inilah yang harus dipahami dan diwaspadai umat Islam, jangan sampai latah berburu kue di hari raya agama lain hanya karena ingin balas war takjil yang mereka lakukan di bulan Ramadhan. Sampai-sampai Jafar mengucapkan dia akan diculik ke gereja untuk khotbah di sana, begitu pun sang pendeta diculik ke masjid untuk ceramah di masjid. Menurut saya ini sudah kebablasan bercandanya.

Menyoal di Balik Fenomena Nonis Ikut War Takjil

Di balik isu nonis ikut war takjil ternyata ada balasan yang tak sengaja terlontar dari Habib Jafar, yaitu gantian nanti hari Paskah, ikut berburu kue Paskah. Sebenarnya ini yang patut diwaspadai, ketika nonis mengucapkan hari raya Idulfitri kepada umat Islam, itu boleh-boleh saja. Hanya saja ketika kaum Muslim latah ikut-ikutan mengucapkan hari natal itu tidak dibenarkan dalam Islam, karena mengucapkan selamat hari raya mereka sama saja dengan mengakui kelahiran tuhan yang ada di agama mereka dan itu bisa mengeluarkan dari keimanan kaum Muslim. 

Jangankan berburu kue Paskah, umat Islam tidak diperbolehkan memasuki tempat ibadah agamanya, bagaimana bisa umat Islam gantian ikut war kue-kue di hari raya umat agama lain di tempat ibadah mereka? Inilah yang sejatinya perlu diwaspadai. Jangan sampai yang katanya toleransi jadi kebablasan murtad karena tak mengerti agama, cuma ikut tren. Apalagi ini sedang ramai-ramainya isu moderasi beragama, yaitu upaya membuat sekuler dan liberal kaum Muslim lewat kampanye moderasi beragama.

Seolah-olah ada upaya, jika kaum nonis sudah mengucapkan selamat hari raya Idulfitri terhadap umat Islam, harus gantian donk pas hari natal yang diperingati sebagai hari kelahiran tuhan mereka, umat Islam juga mengucapkan selamat kepada mereka. Kalau umat Islam tidak mau mengucapkan artinya tidak toleran, tidak moderat, dan radikal. Selanjutnya, karena takut dicap radikal dan intoleran, akhirnya ada beberapa umat Islam yang latah bergantian mengucapkan selamat hari raya agama lain. Begitu pun soal perang takjil ini. Kaum nonis boleh-boleh saja ikut war takjil, ikut berburu takjil ketika bulan Ramadhan. Toh, takjil dalam Islam bisa beranekaragam menu kudapan yang ada di Indonesia ataupun ingin takjil ala makanan mana saja asalkan halal dan tayib. 

Perlu diketahui, kue bulan dalam perayaan imlek yang menjadi ciri khas adalah penggunaan minyak babi. Dikutip dari Kompas.com (21/9/2021), salah satu bahan khas kue bulan yang digunakan adalah minyak babi. Bahan ini umumnya digunakan dalam pembuatan kue bulan di China. Walaupun ada penjual kue bulan yang telah menjamin kuenya tanpa menggunakan minyak babi karena dijual di tempat umum. Hanya saja umat Islam jangan latah berburu kue bulan di hari raya mereka yang belum tentu bebas dari minyak babi.

Atas dasar toleransi mereka mengajak umat Islam untuk berbalas ikut-ikutan apa yang mereka lakukan. Faktanya, ini bukan toleransi justru ini adalah pemaksaan mereka terhadap umat Islam agar ikut-ikutan budaya mereka. Toleransi adalah menghargai dan membiarkan agama lain beribadah dengan keyakinannya, bukan malah sok-sokan mengikuti dan mengucapkan hari raya ibadah agama lain demi dianggap toleran dan tidak radikal. Inilah yang perlu diluruskan. 

Justru, jika narasi moderasi beragama yang mencampuradukkan agama dengan dalil toleransi terus digaungkan, maka hal itu berpotensi mengganggu kerukunan beragama. Karena rukun dan damainya umat beragama cukup dengan saling menghormati dan menghargai keyakinan agama lain bukan latah ikut-ikutan perayaan agama lain. Makna toleransi adalah menghargai ibadah masing-masing bukan mengajak umat agama lain untuk beribadah sesuai keyakinan agama lain. Dikhawatirkan ada upaya supaya kaum Muslim bebas menormalisasi indikasi-indikasi yang berpotensi memurtadkan kaum Muslim secara perlahan-lahan. Ada anggapan demi toleransi mereka mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil.

Dampak Nonis Ikut Perang Takjil terhadap Umat Islam

Sebenarnya nonis ikut perang takjil boleh, karena jajanan yang disuguhkan ketika berbuka puas juga jajanan khas nusantara yang halal dan tayib. Tidak ada masalah jika mereka ikut berburu takjil yang dijual di pinggir jalan jelang berbuka puasa. Dalam urusan jual beli, tidak ada batasan yang khusus terkait pembeli dan penjual. Penjual takjil boleh melayani orang-orang nonis yang ikut berburu takjil. Hanya saja perang takjil yang diserukan pendeta tersebut memiliki dampak terhadap umat Islam jika disikapi tanpa kehati-hatian.

Pertama, sinkretisme. Seolah-olah ada upaya mencampuradukkan pemahaman kepercayaan atau aliran-aliran agama. Jika sekarang nonis ikut perang takjil, maka besok umat Islam juga ikut perang berburu kue-kue di perayaan agama lain yang belum tentu halal. Jika itu dilakukan di rumah ibadah mereka, maka ada upaya umat Islam agar ikut-ikutan budaya ke kabiasaan mereka di tempat yang banyak madaniyah kaum kafir. 

Kedua, upaya liberalisasi dan sekularisasi umat Islam dengan dalil toleransi. Narasi toleransi yang hari ini sering disampaikan sebenarnya membawa misi terselubung yang tidak diketahui yaitu upaya meliberalisasi dan menyekulerkan kaum muslim. Sebagaimana yang bisa disampaikan di atas, toleransi adalah menghargai dan menghormati keyakinan agama lain, tetapi bukan berarti kaum muslim ikut-ikutan melakukan ibadah ritual mereka atau ikut merayakan hari raya mereka. Kalau yang terjadi demikian itu artinya mencampuradukkan agama. Islam melarang mencampuradukkan agama.

Ketiga, kampanye moderasi beragama. Hari ini umat disuguhkan dengan kampanye moderasi beragama yang menormalisasi umat Islam dalam mengikuti perayaan dan budaya kaum kafir. Seolah-olah jika tidak ikut-ikutan dianggap intoleran dan radikal, sehingga banyak yang lebih mengedepankan menjaga perasaan agama lain dengan keluar dari koridor toleransi yang syar'i dalam Islam. 

Sebagai contoh, pemaksaan pemakaian atribut natal bagi karyawan muslim, jika tidak memakai dianggap tidak toleran dan mendapatkan tekanan dari atasannya. Berbalas mengucapkan selamat hari raya agama lain dengan dalil toleransi. Andai umat Islam latah mengucapkan selamat natal itu artinya umat Islam sedang memberikan pengakuan terhadap kelahiran tuhan yang diyakini agama lain. Dalam Islam tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah SWT. Oleh karena itu, tidak boleh umat Islam latah mengikuti tradisi dan budaya kaum kafir yang telah jelas itu bagian dari keyakinan mereka. 

Inilah penting negara menjaga kemurnian dan kesucian Islam, sehingga tidak terjadi kerancuan atau campur baur antara hak dan batil. Dalam Islam telah jelas antara yang hak dan batil, hanya saja kurangnya pemahaman Islam membuat umat Islam tidak ada ubahnya dengan kaum kafir. Dalam KTP tertulis Muslim tetapi perilaku dan perbuatannya jauh dari syariat dan cenderung ikut-ikutan budaya dan pemikiran kaum kafir. Andai saja negara menjadi garda terdepan dalam menjaga akidah umat, tentu masalah-masalah seperti tidak akan jadi polemik. Hanya saja fungsi negara sebagai penjaga akidah tidak bisa diwujudkan di negara sekuler seperti yang ada di negeri ini, tetapi bisa diwujudkan jika sebuah negara menerapkan syariat Islam secara sempurna.

Strategi Islam dalam Menjaga Toleransi kepada Nonis di Bulan Ramadhan

Dalam Islam kaum Muslim disunahkan agar menyegerakan untuk berbuka puasa dan sedekah terbaik ketika Ramadhan adalah memberi makan buka puasa untuk mereka yang sedang berpuasa. Rasulullah SAW bersabda:

كِّرُوْا بِالإفْطَارِ، وَأَخِّرُوْا السَّحُوْرَ


Artinya: "Segerakanlah berbuka dan akhirkanlah sahur." (HR. Anas Bin Malik RA)

Dari Zaid bin Khalid Al Juhani bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa memberi makan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa maka ia mendapat seperti pahala orang-orang yang puasa tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun" (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192, Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan hadis ini shahih).

Membahas makna takjil secara bahasa sebenarnya maknanya bukan camilan untuk buka puasa, melainkan kata kerja, yaitu penyegaraan untuk berbuka puasa. Kata takjil, apabila ditelusuri dalam bentuk kata kerja telah (fi’il madhi) dan kata kerja sedangnya (fi’il mudhari’) adalah ‘ajjala yu’ajjilu. Sedangkan arti fi’il madhi-nya apabila diambil dari arti kata ‘ajila ya’jalu salah satunya adalah asra’a yang artinya bersegera (Kamus Al-Munawwir hal.:90).

Namun faktanya, banyak yang menganggap takjil adalah kurma atau makanan atau minuman lain yang bisa digunakan untuk membatalkan puasa, sedangkan arti sebenarnya adalah aktivitas bersegera berbuka ketika telah datang waktu magrib atau ketika azan magrib berkumandang.

Begitu juga soal iftar. Iftar dalam KBBI artinya hal berbuka puasa. Jadi, beberapa hal yang dimakan atau diminum untuk membatalkan puasa dan mengawali ketika datang azan magrib. Bentuk kata ifthar ialah isim Masdar dari afthara yufthiru. Di dalam kamus, arti kata afthara sama halnya dengan akala au syariba (Al-Munjid hal.: 619) yang bermakna makan atau minum, atau berbuka (Al-Munawwir hal.: 1.063).

Sebenarnya makna nonis ikut berburu takjil kurang tepat, karena takjil memiliki makna menyegerakan berbuka puasa, padahal kaum kafir tidak ada yang melakukan ibadah puasa Ramadhan. Lebih tepatnya mereka disebut ikut berburu iftar, karena iftar memiliki makna segala hal yang dapat digunakan untuk mengawali buka puasa. Dalam Islam, ketika nonis ikut berburu iftar atau segala bentuk makanan dan minuman yang digunakan untuk berbuka puasa boleh-boleh saja. Tidak ada larangan mereka untuk makan atau minum yang sama dengan yang digunakan umat Islam untuk membatalkan puasanya. 

Apa yang telah dijadikan tren oleh nonis untuk perang takjil jangan langsung disikapi dengan latah umat Islam untuk war mencari makanan atau minuman yang biasa dimakan kaum kafir. Karena dalam Islam ada makanan dan minuman yang diharamkan tetapi dibolehkan oleh kaum kafir untuk menyantapnya. Islam jelas melarang umatnya untuk ikut berburu kue di perayaan agama lain, yakni kue ini khas tersebut menggunakan bahan-bahan yang dilarang dalam Islam seperti minyak babi, khamr, dan lainnya.

Akidah umat Islam terjaga tidak hanya dari upaya diri sendiri, melainkan harus ada cipta kondisi dari masyarakat dan negara untuk menjaga kemurnian agama Islam. Dalam Islam negara menjadi pilar utama penjaga akidah umat, sehingga kasus-kasus mencampuradukkan agama dapat dicegah dan diantisipasi jangan sampai terjadi. Namun, kerukunan umat beragama tetap bisa terjaga, karena hanya dalam naungan Islam seluruh umat beragama dapat rukun, damai, dan sejahtera bersama.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Justru, jika narasi moderasi beragama yang mencampuradukkan agama dengan dalil toleransi terus digaungkan, maka hal itu berpotensi mengganggu kerukunan beragama. Karena rukun dan damainya umat beragama cukup dengan saling menghormati dan menghargai keyakinan agama lain bukan latah ikut-ikutan perayaan agama lain. Makna toleransi adalah menghargai ibadah masing-masing bukan mengajak umat agama lain untuk beribadah sesuai keyakinan agama lain. Dikhawatirkan ada upaya supaya kaum Muslim bebas menormalisasi indikasi-indikasi yang berpotensi memurtadkan kaum Muslim secara perlahan-lahan. Ada anggapan demi toleransi mereka mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil.

Kedua. Inilah penting negara menjaga kemurnian dan kesucian Islam, sehingga tidak terjadi kerancuan atau campur baur antara hak dan batil. Dalam Islam telah jelas antara yang hak dan batil, hanya saja kurangnya pemahaman Islam membuat umat Islam tidak ada ubahnya dengan kaum kafir. Dalam KTP tertulis Muslim tetapi perilaku dan perbuatannya jauh dari syariat dan cenderung ikut-ikutan budaya dan pemikiran kaum kafir. Andai saja negara menjadi garda terdepan dalam menjaga akidah umat, tentu masalah-masalah seperti tidak akan jadi polemik. Hanya saja fungsi negara sebagai penjaga akidah tidak bisa diwujudkan di negara sekuler seperti yang ada di negeri ini, tetapi bisa diwujudkan jika sebuah negara menerapkan syariat Islam secara sempurna.

Ketiga. Akidah umat Islam terjaga tidak hanya dari upaya diri sendiri, melainkan harus ada cipta kondisi dari masyarakat dan negara untuk menjaga kemurnian agama Islam. Dalam Islam negara menjadi pilar utama penjaga akidah umat, sehingga kasus-kasus mencampuradukkan agama dapat dicegah dan diantisipasi jangan sampai terjadi. Namun, kerukunan umat beragama tetap bisa terjaga, karena hanya dalam naungan Islam seluruh umat beragama dapat rukun, damai, dan sejahtera bersama.[]

Oleh. Ika Mawarningtyas 
Direktur Mutiara Umat Institute dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo 

Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo, Rabu, 26 Maret 2024, di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad #LiveOpperessedOrRiseAgainst

0 Komentar