MutiaraUmat.com -- Sobat. Saydina Ali Bin Abi Thalib ra pernah berkata, " Tidak ada ibadah yang pahalanya sepadan dengan tafakur." Tafakur adalah sebuah konsep dalam agama Islam yang sering diterjemahkan sebagai "refleksi", "kontemplasi", atau "meditasi". Ini adalah proses memikirkan, merenungkan, dan mendalami makna hidup, penciptaan, dan hubungan manusia dengan Allah SWT. Tafakur memungkinkan seseorang untuk memahami tujuan hidupnya, mengevaluasi perilaku dan tindakannya, serta meningkatkan kesadaran spiritualnya.
Dalam Islam, tafakur merupakan bagian penting dari ibadah dan perkembangan diri. Ini adalah cara bagi umat Islam untuk memperkuat iman mereka, meningkatkan pemahaman tentang ajaran agama, dan mengembangkan hubungan yang lebih dalam dengan Allah SWT. Tafakur juga bisa membantu seseorang untuk menghadapi tantangan dan kesulitan dalam hidup dengan sikap yang lebih bijaksana dan penuh ketenangan.
Beberapa Ulama salafush shalih berkata," Tafakur itu merupakan pelita hati. Jika tafakur hilang, Hilang pula pelita hati.
Pernyataan tersebut menyoroti pentingnya tafakur dalam kehidupan spiritual. Ulama salafush shalih, atau para ulama terdahulu yang dianggap teladan dalam agama Islam, sering menekankan bahwa tafakur adalah seperti pelita bagi hati seseorang. Ini menggambarkan bahwa tafakur menerangi, membimbing, dan memperjelas hati seseorang dalam mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran, makna hidup, dan hubungan dengan Allah SWT.
Ketika seseorang kehilangan praktik tafakur dalam hidupnya, hatinya menjadi gelap atau kehilangan cahaya yang diperlukan untuk memandu dirinya dalam kehidupan spiritual. Dengan kata lain, ketika tafakur hilang, kecerahan dan kedalaman hati juga hilang, yang dapat mengarah pada kebingungan, kecemasan, dan kehilangan arah dalam kehidupan spiritual.
Pernyataan ini menegaskan bahwa tafakur bukan hanya sekadar kegiatan intelektual atau spiritual yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, tetapi merupakan aspek penting dari keberadaan manusia yang mempengaruhi kualitas hati dan keadaan spiritual seseorang secara keseluruhan. Oleh karena itu, menurut pandangan ulama salafush shalih, memelihara praktik tafakur adalah suatu keharusan dalam perjalanan spiritual seseorang.
Tafakur tidak akan terwujud tampa lisan yang terbiasa berzikir kepada Allah dengan kekhusukan hati.
Pernyataan ini menekankan pentingnya penggunaan lisan dalam praktik tafakur. Dzikir, atau mengingat Allah, adalah salah satu bentuk ibadah yang penting dalam Islam. Ketika seseorang menggunakan lisan mereka untuk berzikir kepada Allah dengan hati yang khusyuk, ini membantu menciptakan kondisi yang memungkinkan tafakur untuk terjadi.
Dalam praktik zikir, seseorang secara aktif mengingat Allah, mengucapkan pujian, memohon ampun, atau merenungkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Melakukan dzikir dengan lisan memungkinkan seseorang untuk fokus dan memusatkan perhatian mereka pada kebesaran dan keagungan Allah, yang kemudian membuka pintu bagi tafakur.
Kekhusukan hati dalam dzikir sangat penting, karena tujuan utamanya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperdalam hubungan spiritual. Tanpa kekhusukan hati, dzikir hanya akan menjadi rangkaian kata-kata yang diucapkan tanpa makna yang mendalam.
Jadi, pernyataan tersebut menyoroti bahwa praktik tafakur tidak hanya melibatkan pikiran, tetapi juga melibatkan lisan yang berdzikir kepada Allah dengan hati yang khusyuk. Keduanya saling melengkapi dalam menciptakan pengalaman spiritual yang lebih dalam dan bermakna bagi individu yang melakukannya.
Lima Macam Tafakur
Terdapat berbagai macam pendekatan dalam praktik tafakur di dalam Islam. Lima macam tafakur yang umum disebutkan antara lain:
1. Tafakur atas Ciptaan Allah (Tafakur fi al-Khaliqah): Ini adalah bentuk tafakur di mana seseorang merenungkan kebesaran Allah SWT melalui penciptaan-Nya. Melalui pengamatan alam semesta, keindahan alam, keberagaman kehidupan, dan keajaiban alam, seseorang dapat menggali pemahaman yang lebih dalam tentang keagungan dan kekuasaan Allah sebagai Pencipta.
Allah SWT berfirman:
قُلِ ٱنظُرُواْ مَاذَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَمَا تُغۡنِي ٱلۡأٓيَٰتُ وَٱلنُّذُرُ عَن قَوۡمٖ لَّا يُؤۡمِنُونَ
“Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman". ( QS. Yunus (10) : 101 )
2. Tafakur atas Nama dan Sifat Allah (Tafakur fi Asma' Allah wa Sifat-Nya): Dalam tafakur ini, seseorang mempertimbangkan nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT yang tercantum dalam Al-Qur'an dan hadis. Ini melibatkan refleksi tentang keadilan-Nya, kasih sayang-Nya, kebijaksanaan-Nya, dan atribut-atribut lain yang memperdalam pemahaman tentang hakikat Allah.
3. Tafakur atas Kehidupan Diri Sendiri (Tafakur fi al-Nafs): Ini adalah bentuk tafakur di mana seseorang merenungkan kehidupan mereka sendiri, termasuk dosa-dosa mereka, kesalahan-kesalahan mereka, dan pencapaian-pencapaian mereka. Tujuannya adalah untuk introspeksi, mengevaluasi diri, dan memperbaiki perilaku sesuai dengan ajaran agama.
سَنُرِيهِمۡ ءَايَٰتِنَا فِي ٱلۡأٓفَاقِ وَفِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّۗ أَوَ لَمۡ يَكۡفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُۥ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ شَهِيدٌ أَلَآ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” ( QS. Fushshilat (41) : 53)
4. Tafakur atas Al-Qur'an (Tafakur fi al-Qur'an): Dalam tafakur ini, seseorang mempertimbangkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan cermat, merenungkan maknanya, dan mengaitkannya dengan kehidupan mereka sendiri. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang ajaran Allah dan menyerap hikmah serta petunjuk yang terkandung di dalamnya.
5. Tafakur atas Kematian dan Akhirat (Tafakur fi al-Maut wa al-Akhirah): Dalam tafakur ini, seseorang merenungkan tentang hakikat kematian, kefanaan dunia, dan kehidupan setelah kematian. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan diri secara spiritual untuk menghadapi hari pembalasan di akhirat, serta untuk meningkatkan kesadaran akan urgensi dan pentingnya amalan yang baik dalam kehidupan dunia.
إِنَّ ٱلۡأَبۡرَارَ لَفِي نَعِيمٖ وَإِنَّ ٱلۡفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٖ
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (QS. Al-Infithar (82) : 13-14)
Sobat. Ayat ini menjelaskan hasil atau akibat dari pencatatan amal manusia, yaitu adanya pahala dan surga bagi orang-orang yang berbuat kebajikan, dan azab bagi orang-orang yang berbuat maksiat dan dosa. Surga adalah balasan bagi orang-orang bertakwa dan beramal saleh. Allah berfirman:
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya). (an-Nazi'at/79: 40-41)
Sedangkan orang-orang yang durhaka diazab Allah di api neraka. Allah berfirman:
Maka adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh, nerakalah tempat tinggalnya. (an-Nazi'at/79: 37-39)
Melalui praktik tafakur ini, umat Islam diharapkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, meningkatkan kesadaran spiritual mereka, dan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang ajaran agama.
Pertama.Tafakur tentang ayat-ayat Allah melahirkan tauhid dan yakin kepada Allah.
Benar, tafakur tentang ayat-ayat Allah adalah salah satu cara yang sangat penting untuk memperkuat keyakinan (iman) seseorang kepada Allah dan untuk memperdalam pemahaman tentang tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Allah. Al-Qur'an merupakan sumber utama dari ayat-ayat Allah yang mencerminkan kebesaran-Nya, hikmah-Nya, dan kekuasaan-Nya.
Ketika seseorang merenungkan ayat-ayat Allah dengan kekhusyukan hati dan pikiran yang tenang, mereka dapat mengamati tanda-tanda kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya, mengetahui hikmah di balik perintah dan larangan-Nya, serta memahami keadilan-Nya dan kasih sayang-Nya yang tak terbatas.
Praktik tafakur ini membantu seseorang untuk lebih mendalam dalam pemahaman akan keesaan Allah, memperkuat keyakinan mereka bahwa hanya Allah yang layak disembah, dan menumbuhkan rasa takjub dan pengabdian kepada-Nya. Hal ini juga membantu seseorang untuk melihat kehidupan dengan perspektif yang lebih luas, memahami tujuan penciptaan mereka, dan menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak Allah.
Dengan demikian, tafakur tentang ayat-ayat Allah tidak hanya membantu memperkuat tauhid dan keyakinan kepada Allah, tetapi juga membimbing seseorang dalam menjalani kehidupan yang bermakna dan bertaqwa.
Kedua. Tafakur tentang nikmat-nikmat Allah melahirkan rasa cinta dan syukur kepada Allah.
Benar sekali. Tafakur tentang nikmat-nikmat Allah merupakan salah satu cara yang paling kuat untuk membangkitkan rasa cinta dan syukur kepada-Nya dalam hati seorang mukmin. Ketika seseorang merenungkan nikmat-nikmat Allah yang melimpah, seperti nikmat hidup, kesehatan, rezeki, keluarga, dan banyak lagi, mereka akan semakin memahami kebaikan dan kemurahan Allah terhadap mereka.
Praktik tafakur ini membantu seseorang untuk melihat betapa besar kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya, yang terwujud dalam berbagai nikmat yang diberikan-Nya setiap hari. Ketika seseorang menyadari bahwa semua nikmat tersebut adalah pemberian langsung dari Allah, mereka akan merasa tergerak untuk bersyukur dan mencintai-Nya dengan lebih dalam.
Rasa cinta kepada Allah timbul karena pengakuan akan kasih sayang-Nya yang tak terhingga, sedangkan rasa syukur muncul karena kesadaran akan berkat-berkat yang diberikan-Nya secara terus-menerus. Praktik tafakur ini juga membantu seseorang untuk meningkatkan kesadaran akan ketergantungan mereka kepada Allah serta memperdalam penghormatan dan pengabdian kepada-Nya.
Dengan demikian, tafakur tentang nikmat-nikmat Allah tidak hanya melahirkan rasa cinta yang mendalam kepada-Nya, tetapi juga membimbing seseorang untuk hidup dalam keadaan syukur dan penuh kesadaran akan kebaikan Allah dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Ketiga. Tafakur tentang janji-janji Allah, melahirkan rasa cinta kepada akhirat.
Tafakur tentang janji-janji Allah mengenai akhirat adalah salah satu cara yang kuat untuk membangkitkan rasa cinta dan kerinduan kepada surga dan kenikmatan yang dijanjikan oleh-Nya bagi orang-orang yang taat. Dalam Al-Qur'an dan hadis, Allah SWT telah menggambarkan dengan jelas berbagai janji-Nya kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh di dunia ini.
Ketika seseorang merenungkan janji-janji Allah tentang akhirat, seperti janji surga yang penuh kenikmatan, pahala yang tidak terhingga, dan kebahagiaan yang abadi bagi para penghuni surga, hal ini membawa mereka untuk merindukan tempat yang penuh kedamaian dan kebahagiaan di sisi-Nya.
Tafakur semacam ini membantu seseorang untuk memahami bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan ujian, sedangkan kehidupan akhirat adalah yang abadi dan lebih bernilai.
Dengan merenungkan janji-janji Allah mengenai akhirat, seseorang juga diberi kesempatan untuk memperdalam keyakinan mereka akan kebenaran dan keadilan Allah, serta untuk memotivasi diri mereka sendiri untuk meningkatkan amal ibadah dan kebaikan.
Lebih dari itu, tafakur tentang janji-janji Allah tentang akhirat juga membantu seseorang untuk memperkuat keyakinan mereka bahwa semua kesulitan dan ujian yang mereka alami di dunia ini akan berujung pada kebahagiaan dan pahala yang tak terhingga di sisi Allah.
Dengan demikian, praktik tafakur tentang janji-janji Allah mengenai akhirat tidak hanya membangkitkan rasa cinta kepada surga dan kenikmatan yang dijanjikan, tetapi juga membimbing seseorang untuk hidup dengan kesadaran yang lebih besar akan tujuan sejati kehidupan mereka dan untuk berusaha mencapai akhirat dengan amal saleh dan taqwa kepada Allah SWT.
Keempat. Tafakur tentang ancaman Allah, melahirkan sikap waspada terhadap perbuatan dosa.
Tafakur tentang ancaman Allah adalah salah satu cara yang penting untuk membangkitkan sikap waspada terhadap perbuatan dosa dan untuk memperkuat pertahanan spiritual seseorang terhadap godaan yang mungkin menghampiri mereka. Dalam ajaran Islam, Allah SWT telah menjelaskan dengan jelas berbagai ancaman terhadap perbuatan dosa dan pelanggaran terhadap hukum-Nya, baik dalam Al-Qur'an maupun dalam hadis.
Ketika seseorang merenungkan ancaman-ancaman Allah terhadap perbuatan dosa, seperti azab dan siksa-Nya di akhirat, hal ini membawa mereka untuk menghindari dosa-dosa tersebut dan untuk memperbaiki perilaku mereka sesuai dengan ajaran agama. Tafakur semacam ini membangkitkan rasa takut dan kesadaran akan konsekuensi dari perbuatan dosa, yang kemudian menjadi dorongan bagi seseorang untuk menjauhkan diri dari tindakan yang tidak diinginkan.
Praktik tafakur ini juga membantu seseorang untuk memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, baik di dunia maupun di akhirat, dan bahwa hanya dengan taat kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya seseorang dapat mencapai kebahagiaan sejati dan kedamaian yang abadi.
Lebih dari itu, tafakur tentang ancaman Allah juga membimbing seseorang untuk hidup dengan kesadaran yang lebih besar akan pentingnya taqwa dan ketaatan kepada-Nya dalam setiap aspek kehidupan mereka, serta untuk terus meningkatkan upaya mereka dalam menghindari dosa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dengan demikian, praktik tafakur tentang ancaman Allah tidak hanya membangkitkan sikap waspada terhadap perbuatan dosa, tetapi juga membantu seseorang untuk menjaga diri mereka dari godaan dan untuk hidup dalam ketaatan kepada ajaran agama, sehingga mereka dapat mencapai keberkahan dan kebahagiaan sejati di dunia dan di akhirat.
Kelima. Tafakur tentang kekurangan diri dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, melahirkan rasa malu kepada Allah.
Tafakur tentang kekurangan diri dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah adalah langkah penting dalam pengembangan diri spiritual. Ketika seseorang merenungkan kesalahan dan kekurangan mereka dalam beribadah atau melaksanakan perintah Allah, hal ini membangkitkan rasa malu kepada Allah.
Rasa malu kepada Allah adalah kesadaran bahwa kita sebagai hamba telah jatuh pendek dalam menjalankan kewajiban-kewajiban kita kepada-Nya. Ini adalah sikap hati yang penuh dengan penyesalan dan rasa hormat kepada Allah, menyadari bahwa kita sebagai manusia tidak sempurna dan seringkali tergelincir dalam ketaatan kita.
Tafakur semacam ini membantu seseorang untuk meningkatkan kesadaran akan dosa dan kesalahan mereka, serta memotivasi mereka untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Rasa malu kepada Allah juga membimbing seseorang untuk menumbuhkan sikap rendah hati dan ketaatan yang lebih baik di masa depan.
Lebih dari itu, rasa malu kepada Allah mengingatkan kita bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat segala yang kita lakukan, baik yang tersembunyi maupun yang terbuka. Oleh karena itu, sikap malu ini membawa seseorang untuk berupaya lebih keras dalam meningkatkan kualitas ibadah dan menjauhi perbuatan dosa.
Dengan demikian, tafakur tentang kekurangan diri dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah tidak hanya melahirkan rasa malu kepada-Nya, tetapi juga membantu seseorang untuk tumbuh dalam kesadaran spiritual dan meningkatkan kualitas hubungan mereka dengan Allah SWT. Sebagai hamba Allah SWT seharusnya kita mampu menghadirkan macam-macam tafakur di atas dengan tetap berpegang teguh pada Al-Qurán dan As-Sunnah.
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen pascasarjana UIT Lirboyo
0 Komentar