Kesepakatan Tanpa Standar Hanyalah Petaka

MutiaraUmat.com -- Kata kesepakatan bukanlah kata yang asing bagi sebagian besar rakyat di negara Indonesia, karna kata ini merupakan salah satu bagian esensi dari sila ke empat yang menjadi falsafah dasar di negara Indonesia. Selain menjadi falsafah dasar, kesepakatan juga merupakan lambang dari legalitas hukum yang ada di Indonesia. Fakta ini bisa dilihat ketika para pembuat hukum di negeri ini sepakat terhadap suatu hal, maka hal itu akan berubah menjadi hukum karna telah disepakati bersama. 

Namun yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah kesepakatan yang dimaksudkan ini mempunyai standar dalam menetapkan acuan yang menjadi landasannya? Ternyata tidak. Undang-undang yang seharusnya dijadikan acuan bernegara bisa dengan mudah dirubah asal orang-orang yang ditunjuk untuk menjadi wakil rakyat 'sepakat' untuk merubah undang-undang tersebut. Alhasil, terciptalah Undang-Undang baru yang semakin bertambahnya hari semakin mempersulit kehidupan rakyat di negeri ini. 

Ketiadaan standar ini sebenarnya bisa dirubah oleh penduduk negeri ini jika mereka sepakat untuk menetapkan standar dalam kesepakatan mereka seperti standar halal/haram yang ada pada ajaran Islam. Hanya saja asas demokrasi-sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan membuat penetapan standar ini menjadi tidak mungkin untuk diwujudkan. 

Jadi, walaupun sebagian besar rakyat di negeri ini merasakan kesepakatan tanpa standar ini lebih banyak memberikan keburukan dibandingkan manfaat, tetap juga mereka mengupayakan untuk tetap mempertahankannya sebagai asas penetapan hukum dalam bernegara. Sehingga siapapun orang yang mengatakan bahwa kesepakatan ini harus diberikan standar maka orang tersebut bisa dituduh sebagai pengkhianat dan perusak kedamaian bangsa. 

Dari pernyataan itu kita jadi berfikir sendiri, orang-orang yang menginginkan adanya standar dalam menetapkan hukum itu atau orang-orang yang tidak ingin adanya standar ini yang sebenarnya pengkhianat dan perusak bangsa? 

Bukankah sudah jelas karna ketiadaan standar ini membuat minuman keras yang seharusnya dilarang untuk diperjualbelikan menjadi boleh untuk diperjualbelikan? Bukankah karna ketiadaan standar ini yang membuat sex bebas menjadi merajalela dikalangan generasi muda negeri ini? Dan bukan kah karna ketiadaan standar ini membuat perekonomian negara ditopang oleh hutang ribawi yang semakin hari semakin mempersulit rakyat? 

Untuk itu, seharusnya aturan kesepakatan tanpa standar ini lebih baik ditinggalkan oleh penduduk negeri ini lalu mereka ganti dengan aturan yang memiliki standar yang jelas seperti aturan Islam. Islam yang meletakkan kedaulatan menetapkan hukum hanya hak Allah semata, membuat hukum-hukumnya tidak bisa diutak-atik sekehendak hati manusia. Sehingga keburukan-keburukan yang ada pada contoh diatas akan tetap terlarang untuk dilakukan sampai kapanpun. 

Meskipun kita semua tahu bahwa untuk mencapai kondisi dimana Islam dijadikan standar dalam membuat hukum akan selalu dihalang-halangi dengan berbagai cara oleh pembencinya, kewajiban itu bukan berarti boleh ditinggalkan. Para pengembangan dakwah cukup fokus mendakwahkan ketengah-tengah masyarakat bahwa semakin lama mereka meninggalkan hukum Allah untuk mengatur kehidupan mereka, maka akan semakin sempit jugalah kehidupan ini akan mereka rasakan. 

Wallahu a'lam Bishowab


Oleh: Rudi Lazuardi
Anggota Komunitas Medan Beriman

0 Komentar