Gagal Nyaleg Berujung Kena Mental, Keniscayaan dalam Kapitalisme

Mutiaraumat.com -- Meskipun belum ada keputusan final dari KPU pasca pemilu 2024 lalu, namun hasil dari perhitungan real count sementara sudah mulai menunjukan bakal caleg mana yang sekiranya akan mendapatkan kursi. Pemilu tahun ini tak jauh bedanya dengan pemilu-pemilu sebelumnya, selalu saja terdapat berbagai fenomena caleg yang gagal terpilih dan timses yang kecewa. Mulai dari yang menderita stress, menarik kembali ‘pemberian’ pada masyarakat, bahkan bunuh diri.

Seperti yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur, yang timses caleg menarik kembali bantuan paving block yang telah dikirim dengan truk dan rencananya akan digunakan untuk membangun salah satu sudut jalan disebuah desa (SurabayaKompas.com, 19 Februari 2024).

Di Kabupaten Subang, Jawa Barat, juga ada seorang caleg yang melakukan aksi kejahatan lantaran gagal mendapatkan kursi. Beliau menyalakan petasan di menara masjid di sebuah desa. Aksi teror petasan ini dilakukan pada siang dan malam hari bersama para timsesnya di beberapa titik yang perolehan suaranya anjlok. Naasnya akibat aksi tak bermoral ini seorang warga bernama Dayeh (60) meninggal dunia terkena serangan jantung (News.okezone.com, 25 Februari 2024).

Fenomena yang paling membuat hati nelangsa terjadi di Kabulaten Pelalawan, ada seorang timses dari caleg berinisial WG (56) mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di pohon rambutan. Peristiwa ini terjadi di kebun karet milik beliau dan WG diduga depresi lantaran caleg yang diusungnya tidak mendapatkan suara sesuai harapan (kalah) (MediaIndonesia.com, 19 Februari 2024).

Berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya, mereka hanya siap menang, namun tak siap untuk kalah. Fenomena ini juga menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan, dikarenakan keuntungan yang akan didapat sangat menggiurkan. Sehingga rela ‘membeli suara’ rakyat dengan modal yang besar, dengan pamrih mendapat suara rakyat.

Namun sayang, jika pada akhirnya suara yang diperoleh tidak sesuai harapan, mereka seolah tak terima dan marah pada keadaan, mengingat banyaknya modal yang telah dihabiskan. 

Kapitalisme Membentuk Pribadi yang Gila Jabatan

Berbagai fenomena yang terjadi pada caleg gagal disebabkan karena adanya kekeliruan dalam memandang jabatan. Sebab, jabatan dipandang sebagai golden ticket untuk memperoleh kentungan materi semata.

Sehingga, demi mendapatkan jabatan mereka harus mampu memenangkan kontestasi dan bersaing untuk memperoleh sebanyak-bayaknya suara rakyat. Mereka tak ragu merogoh kocek sampai ke dasar saku yang paling dalam, dengan cara menjual tanah, rumah, kendaraan, perhiasan, bahkan ada yang sampai mengambil pinjaman berbunga karena sudah kehabisan opsi untuk memperoleh modal.

Modal ini digunakan untuk membiayai berbagi macam alat kampanye, timses, dan sebagian besar dananya digunakan untuk membeli suara rakyat yang kita kenal dengan sebutan 'serangan fajar' atau 'money politic'. Serta untuk pemberian bantuan fisik seperti pembangunan jalan, mushollah, dan fasilitas-fasilitas lainnya demi mendapatkan suara rakyat.

Wajar jika semua usaha tersebut sudah dilakukan demi mendapatkan jabatan, tapi ternyata pada akhirnya gagal, dunia seolah telah berakhir dan semua usaha yang dilakukan sia-sia. Alhasil berujung pada depresi, bahkan bunuh diri. 

Model Pemilu Berbiaya Tinggi

Dalam sistem kapitalisme ada istilah 'No Free Lunch'  atau 'tidak ada makan siang yang gratis', termasuk untuk mendapatkan jabatan. Demi mencalonkan diri menjadi pemimpin, seorang calon pemimpin harus habis-habisan mengeluarkan harta yang dimiliki. Artinya segala sesuatu dalam pemilu membutuhkan biaya yang besar.

Rakyat menganggap bahwa ketika para caleg mendapatkan kursi jabatan, mereka bisa kaya mendadak karena jabatannya. Sehingga mereka mewajarkan aktivitas 'Money Politic'. Karena itu rakyat menganggap bahwa mereka berhak mendapatkan uang atas suara yang diberikan pada caleg tertentu. 

Padahal dalam Islam aktivitas seperti itu disebut suap menyuap yang sangat dilarang. Dari Abu Hurairah ra,

“Rasulullah SAW melaknat pelaku suap, penerima suap, dan perantara antara keduanya.” (HR. Tirmidzi)

“Penyuap dan orang yang disuap akan dimasukkan ke dalam neraka.” (HR. Thabrani).

Jabatan itu Amanah

Islam memandang bahwa jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Oleh sebab itu orang yang memiliki jabatan (terlebih seorang pemimpin) sejatinya memikul amanah yang berat. Jika ia berlaku adil dan menjadikan syariat Allah sebagai landasan, maka ia akan beruntung. Sebaliknya jika ia berlaku dzalim maka ia akan menyesal diakhir kelak.

Dalam sebuah sirah, Abu Dzar pernah berkata kepada Rasulullah SAW,

“Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu Rasulullah saw. memukulkan tangannya di bahuku dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Dalam Islam,  pemilu adalah salah satu uslub untuk mencari pemimpin/majelis ummah, dengan mekanisme yang sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi dan penuh kejujuran, tanpa tipuan ataupun janji-janji. Para calon pun adalah orang-orang yang memiliki kepribadian Islam, dan hanya mengharap keridlaan Allah semata.

Tujuan mereka menjadi pemimpin umat tak lain hanya untuk dapat menjalankan roda kehidupan seusai dengan ketentuan Allah dan tuntunan Rasulullah. Sehingga, seluruh syariat Allah dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Tak hanya terkait ibadah mahdhoh/akidah ruhiyah semata, namun juga akidah siyasiyah yang meliput seluruh aspek kehidupan (pendidikan, politik, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain).

Sehingga, ketika seorang calon pemimpin telah memiliki keimanan yang teguh, tak akan ada lagi keniscayaan depresi akibat gagal caleg. Mereka yakin bahwa kemenangan maupun kekalahan itu datangnya dari Allah. Dan semua skenario Allah untuk hidup mereka adalah yang terbaik diantara pilihan-pilihan yang baik.

Pun ketika seorang calon pemimpin berhasil memimpin, beliau akan menjalankan amanah dengan sangat berhati-hati. Sebab, pertanggungjawabannya besar dihadapan Allah kelak. Inilah makna politik dalam Islam. Islam tak hanya menanggap aktivitas politik terpaku hanya pada jabatan dan kekuasaan, melainkan ri’ayatusy syu’unil ummah dakhiliyan wa kharijiyan bil Islam (sebagai upaya mengurusi urusan umat). Maka setiap Muslim, terutama pemimpin harus mengimplementasikan politik untuk kepentingan umat, bukan mengatasnamakan kepenting umat diatas kepentingan pribadi.

Oleh: Marissa Oktavioni, S. Tr. Bns
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar