Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK): Inikah Solusi Pahitnya Penderita Diabetes dalam Sistem Ekonomi Kapitalistik?


MutiaraUmat.com -- Dalam beberapa tahun terakhir ini, di setiap sudut jalan banyak dijumpai kedai minuman manis dengan berbagai macam variasi jenis minuman. Ironisnya, kebiasaan ini telah memicu makin meningkatnya penyakit diabetes.

Merujuk data International Diabetes Federation (IDF), orang dewasa, kisaran umur 20-79 tahun, yang mengidap diabetes di Indonesia mencapai 19,5 juta jiwa pada 2021. Nilainya bahkan diproyeksi menyentuh 28,57 juta jiwa pada 2045. Di sisi lain, sekitar 8,6 juta anak di bawah 19 tahun diketahui menderita diabetes tipe 1. Diabetes tipe ini merupakan kondisi akut, di mana terjadi kerusakan pada organ pankreas dalam memproduksi insulin, sehingga memerlukan penanganan seumur hidup. (Tirto.id, 5-2-2024)

Diabetes diakibatkan efek minuman manis diperkuat dengan data dalam dua dekade terakhir, tercatat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) masyarakat meningkat signifikan. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menemukan konsumsi MBDK mengalami peningkatan dari sekitar 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter di 2014. Pada 2020, Ibu Pertiwi menempati posisi ketiga sebagai negara dengan konsumsi MDBK tertinggi di Asia Tenggara. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mengambil langkah tegas dengan rencana mengimplementasikan kebijakan cukai bagi MBDK.

Mengapa cukai MBDK dijadikan solusi meningkatnya penderita diabetes?
Bagaimana dampak cukai MBDK terhadap upaya mengatasi peningkatan jumlah penderita diabetes?
Bagaimana solusi menurunkan angka penderita diabetes?


Cukai MBDK, Pahitnya Solusi Penderita Diabetes dalam Sistem Ekonomi Kapitalistik

Mencuatnya ide cukai MBDK sudah lama, yakni sejak tahun 2016. Munculnya lantaran efek minuman berpemanis ini terhadap kesehatan masyarakat. Lebih dari itu, ada potensi keuntungan besar dari penerapan cukai ini akan masuk ke pendapatan negara.

Menurut laporan UNICEF yang menyebutkan bahwa penerapan cukai 20 persen pada minuman berpemanis terbukti mengurangi pembelian dan konsumsi produk tersebut hingga 10 persen. Alhasil berdasarkan laporan ini, secara tidak langsung penerapan cukai tersebut mengurangi kasus diabetes.

Sekali tepuk dua lalat, mungkin begitu harapan besar dari kebijakan ini. Selain angka penderita diabetes akan menurun, negara pun mendapatkan keuntungan yang berlipat dari penerapan cukai MBDK.

Dilansir dari CNBC Indonesia (23-2-2024), pada Februari 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyampaikan kepada Komisi XI DPR RI bahwa potensi penerimaan dari cukai MBDK bisa mencapai Rp 6,25 triliun. Saat itu, Sri Mulyani mengusulkan tarif cukainya untuk teh kemasan sebesar Rp 1.500 per liter. Data Kemenkeu merekam produksi teh kemasan mencapai 2.191 juta liter per tahun sehingga potensi penerimaannya sebesar Rp 2,7 triliun. Sementara itu, minuman karbonasi sebesar Rp 2.500 per liter dan produksinya mencapai 747 liter per tahun, sehingga potensinya Rp 1,7 triliun.

Wacana kebijakan cukai MBDK belum pasti dapat menurunkan angka penderita diabetes. Namun yang pasti, kebijakan ini akan memberi keuntungan bagi pendapatan negara. Inilah ciri khas pemerintahan yang menerapkan sistem ekonomi kapitalistik, setiap kebijakan yang akan diterapkan selalu bertumpu pada untung dan rugi. 


Dampak Cukai MBDK terhadap Upaya Mengatasi Peningkatan Jumlah Penderita Diabetes

Penerapan kebijakan cukai MBDK memang seperti yang diharapkan pemerintah, kemungkinan besar akan meningkatkan harga jual produk MBDK di pasaran. Namun, meningkatnya harga jual produk MBDK ini tidak serta merta dapat menghalangi masyarakat untuk mengurangi minuman manis.

Terlebih lagi, kondisi masyarakat hari ini sangat rendah literasi kesehatan dan keamanan pangan. Dalam kondisi tingginya kemiskinan, memungkinkan akan muncul banyak celah adanya minuman manis yang tidak terkontrol di tengah masyarakat.

Penerapan cukai minuman berpemanis yang menjadi cara pemerintahan kapitalistik ini untuk memperoleh sumber pendapatan memang lumayan menjanjikan. Namun, kebijakan ini tentu sulit terealisasi melihat penolakan dari pelaku industri yang merasa dirugikan. Meskipun dijalankan pun tidak menutup muncul persoalan terkait dengan kepatuhan dan besarnya peluang penyelewengan pajak. 


Solusi Menurunkan Angka Penderita Diabetes

Solusi untuk mencegah diabetes tentu membutuhkan upaya mendasar dan menyeluruh. Islam menetapkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjaga kesehatan rakyatnya tanpa didasarkan pada keuntungan materi. Negara harus melakukan berbagai upaya dalam pelaksanaannya, di antaranya:

Pertama, pembuatan kebijakan dan aturan dalam industri. Negara dapat membatasi penggunaan pemanis buatan atau pemanis lainnya. Negara dapat mendorong berbagai macam penelitian dan inovasi untuk mengganti pemanis dengan pemanis yang rendah gula.

Kedua, penyediaan sarana kesehatan yang memadai. Kesehatan yang merupakan kebutuhan dasar rakyat, menjadi kewajiban negara memenuhinya baik sarananya dan pelayanannya. Pelayanan kesehatan yang murah bahkan gratis, baik bagi miskin maupun kaya, yang fasilitasnya dapat dinikmati baik di desa maupun kota, akan menjadikan rakyat cepat tertangani ketika muncul gejala penyakit. Tak ada rakyat yang takut sakit karena beban mahalnya biaya berobat seperti yang terjadi di sistem kapitalis hari ini.

Ketiga, meningkatkan edukasi masyarakat dengan sungguh-sungguh. Masyarakat benar-benar dipahamkan pentingnya menjaga kesehatan. Masyarakat juga dipahamkan prinsip makan makanan yang halal dan tayyib.

Keempat, negara dalam Islam tidak menjadikan penarikan pajak sebagai cara dalam mengatur distribusi barang dalam negeri. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama negara.

Berbagai mekanisme di atas dapat dijalankan dengan mudah ketika negara tidak didasarkan pada paradigma kapitalistik. Ketika negara menjadikan dirinya sebagai raain bagi setiap urusan rakyatnya, melayani dan mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab dengan menerapkan seluruh aturan Sang Pencipta. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

0 Komentar