Biaya Fantastis Proyek TOL Kediri Tulungagung Diserahkan Oligarki


MutiaraUmat.com -- Berdasarkan Surat Menteri nomor PB 0201-Mn/2954 tanggal 14 Desember 2023 telah ditetapkan pemenang lelang pengusahaan Jalan Tol Kediri – Tulungagung sepanjang 44,17 Km yang diprakarsai oleh PT Gudang Garam (Tbk). Diperkirakan biaya investasi pembangunan Jalan Tol ini sebesar Rp 9,92 triliun dengan masa konsesi 50 tahun, dikutip Okezone.com, Sabtu (02/03/2024).

Pembangunan jalan TOL ini digadang-gadang sebagai proyek strategis yang berdampak positif pada perekonomian masyarakat. Adanya akses jalan TOL mempermudah pelayanan jasa transportasi dan distribusi, sehingga biaya angkutan logistik lebih cepat dan murah. Diharapkan juga berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas pertanian, peternakan, perikanan dan pariwisata. 

Namun fakta tak semanis harapan, tetap saja yang diuntungkan para oligarki, pemilik modal besar pemenang tender proyek pembangunan jalan TOL Kediri-Tulungagung dengan biaya fantastis. Selama masa konsesi 50 tahun tersebut oligarki bebas memalak rakyat dan menentukan tarif TOL, tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat.  

Sejatinya, berbagai proyek TOL dibangun hanya untuk memenuhi kepentingan Oligarki, bukan rakyat. Proyek pembangunan jalan TOL belum terbukti memberikan manfaat jangka panjang dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, proyek ini meningkatkan potensi kerugian negara dan rakyat karena alokasi pendanaan berasal dari oligarki dan selama 50 tahun negara hanya akan gigit jari.

Terbukti jalan TOL hanya dapat dinikmati kalangan menengah keatas, karena yang lewat disana hanya kendaraan roda empat, yang notabene hanya orang kaya dan pengusaha saja yang memiliki. Rakyat kecil hanya jadi korban penggusuran, akibat terdampak pembebasan lahan TOL. Ditambah apprasial yang ditawarkan belum cukup untuk membeli rumah dan lahan pertanian baru disekitarnya. Uang ganti rugi hanya cukup untuk membeli di daerah pinggiran yang kurang strategis dengan kondisi lahan pertanian yang belum tentu subur. Sudahlah kehilangan tempat tinggal, mata pencaharianpun ikut melayang, rakyat kecil semakin tertindas.

Pemerintah tidak ada upaya penyelesaian konflik lahan dampak pembangunan TOL secara adil dan setara, bahkan pemerintah lebih berpihak kepada oligarki, hingga sering kali menyebabkan hak rakyat terabaikan. Akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme telah meniscayakan kesulitan hidup masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme memberikan kebebasan bagi individu (oligarki) untuk menguasai kepemilikan lahan dan memonopoli kepentingan umum. Pemerintah hanya sebagai regulator, yang menjembatani oligarki untuk memuluskan kepentingannya, bukan untuk kesejahteraan rakyat. 

Pembangunan infrastruktur dalam Islam bertujuan untuk memenuhi kemashalatan umat, bukan untuk kepentingan komersial, apalagi kepentingan oligarki. Pembangunan dan pengelolaan infrastruktur wajib dilaksakana oleh negara, tidak boleh dikelola dan dimiliki oleh oligarki, apalagi investor asing, sehingga rakyat pun dapat menikmati dengan murah, bahkan gratis. Fungsi negara dalam Islam sebagai pelayan (raa’in) dan pelindung (junnah) bagi rakyatnya.

Kepemilikan dalam Islam ada tiga, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara. Jalan dalam hal ini masuk dalam aspek kepemilikan umum, sehingga tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh individu. Semua lahan milik umum, dikelola negara untuk kemaslahatan umum. 

Berdasarkan konsep kepemilikan ini, maka konsesi lahan oleh oligarki atau individu baik untuk jalan TOL ataupun proyek strategis lainnya tidak berlaku

Hukum kepemilikan ini harus dijaga oleh negara, termasuk kepemilikan individu, sehingga tidak ada perampasan lahan ataupun penggusuran apabila rakyat keberatan. 

Islam sangat adil, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Siapa saja yang mengambil sesuatu (sebidang tanah) yang bukan haknya maka pada hari kiamat nanti ia akan dibenamkan sampai tujuh bumi.” (HR Bukhari).

Pembangunan Infrastruktur dalam Islam, sesuai dengan kaidah-kaidah Islam kaffah, yaitu negara meminta kerelaan masyarakat menyerahkan tanahnya tanpa adanya paksaan, dan negara pun akan memberikan kompensasi yang sesuai, bahkan lebih baik. Penolakan terhadap relokasi ataupun penggusuran bukan berarti penolakan terhadap pembangunan Infrastruktur yang akan dilakukan pemerintah. Namun rakyat hanya menuntut haknya untuk mendapatakan kembali hunian nyaman, aman dan mendapatkan lapangan pekerjaan ditempat baru, sehingga kesejahteraan rakyat menjadi tujuan utama pembangunan.

Sebagaimana kebijakan pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab ketika melakukan pembebasan lahan demi proyek pembangunan masjid.. Saat itu Amr bin Ash sebagai gubernur Mesir menggusur tanah dan gubuk reyot milik seorang kakek Yahudi untuk pembqngunan masjid tersebut. Kakek Yahudi itu mengadukannya pada Khalifah, Umar. Umar ra, kemudian dengan pedangnya beliau menggoreskan di tulang sebuah huruf alif yang lurus dari atas ke bawah dan goresan melintang di tengahnya. Kemudian meminta kakek itu untuk tulang tersebut kepada Amr. 

Sesampainya di Mesir, kakek yahudi menyerahkan tulang tersebut kepada Amr bin Ash. Melihat tulang itu, wajah sang gubernur langsung pucat pasi. Tanpa menunggu lama, ia mengumpulkan rakyatnya untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan membangun kembali gubuk yang reyot milik si Yahudi. 

Si kakek Yahudi pun merasa heran. Ia lalu meminta Amr menjelaskan makna di balik tulang dari Khalifah Umar. Amr menjelaskan bahwa tulang itu merupakan peringatan keras dari sang Khalifah. Lewat tulang, Umar seolah hendak mengingatkan, apa pun pangkat dan kekuasaan seseorang, suatu saat akan bernasib sama seperti tulang ini. Sebagai pemimpin ia harus bertindak adil, baik ke atas maupun ke bawah. Apabila tidak, sang Khalifah tidak segan untuk memenggal lehernya. 

Orang Yahudi itu kemudian tunduk. Ia terkesan dengan keadilan dalam Islam. Akhirnya, ia pun masuk Islam dan memberikan tanahnya untuk pembangunan masjid. 

Masyaallah, demikianlah kisah teladan penggusuran gubuk orang Yahudi yang menggambarkan salah satu prinsip keadilan di dalam Islam. Pemimpin dilarang untuk melakukan peggusuran maupun mengambil tanah milik rakyat secara zalim. Semua konflik lahan dan Infrastruktur dapat terselesaikan, apabila negera menerapkan syariat Islam kaffah dalam naungan Khilafah. []


Oleh: Yesi Wahyu I.
Aktivis Muslimah

0 Komentar