UIY menyebut, dalam kitab Ahkam As Sulthaniyah disebut hirasatuddin was siasatud dunya bihi atau biddin, yaitu tugas pemimpin atau penguasa itu adalah menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama, ad-din di situ tentu yang dimaksud tak lain adalah Islam.
"Jadi kekuasaan itu untuk menjaga agama. Nah, ini persis seperti yang disebutkan oleh Imam Ghazali di dalam kitab al-ikqtisad filtiqad ini satu perumpamaan yang sangat menarik, sebab dikatakan antara kekuasaan dan agama itu punya hubungan yang sangat erat. Dan hubungannya seperti saudara kembar," terangnya.
Dia katakan bahwa addinu usun, agama itu sebagai fondasi wasultonu harisun dan kekuasaan itu sebagai penjaga agama. Wama la usalahu, katanya, apa yang tidak ada fondasi famahdumun dia akan runtuh ya seperti bangunan tanpa fondasi pasti cepat atau lambat akan runtuh kemudian wamala harisalahu dan apa yang tidak ada penjaga dia akan hilang begitu saja.
"Jadi di situlah pentingnya agama sebagai pondasi dari sebuah kekuasaan dan kekuasaan sebagai penjaga bagi agama," tegasnya.
UIY juga merujuk pada pendapat Imam al-Mawardi, itulah tugas fungsi dan kekuasaan di dalam Islam. Lanjutnya, hirosatuddin adalah menjaga agama. Sebab, agama Islam itu eksistensinya sebagai risalah. Dan di dalam Al-Quran dikatakan Allah sendiri yang menjaganya.
Katanya, secara faktual agama Islam ini ya’lu wala yu’la alaih, tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi lagi. “Itu dia tidak otomatis akan tinggi kecuali ada yang memperjuangkannya. Sebagaimana, ketika baginda Rasulullah SAW dan para sahabat sampai kalangan tabiin dan para pejuang selepas itu, Islam menjadi kekuatan yang tak diperhitungkan. Disebut sebagai abad keemasan, sejarawan menyebut 700 tahun memperjuangkannya," jelasnya.
“Nah, puncak keunggulan ini, jika tidak dijaga dia akan jatuh mengikuti sebuah sunatullah peradaban sebagaimana Allah juga katakan watilkal ayyam nudawiluha bainanas dan itu pula yang kemudian sejarah perlihatkan kepada kita akhirnya kalau kita membaca sejarah lebih dari 1400 tahun Islam berjaya. Hingga runtuh pada tahun 1924 di Turki,” ungkapnya.
"Adalah kekuasaan Khilafah Utsmani, dijelaskan lebih lanjut yang mana Islamnya itu sendiri tetap ada tetapi hanya sebagai sebuah risalah, dan risalah ini hanya sebatas ibadah-ibadah mahdag saja shalat, puasa, zakat, dan naik haji saja. Oleh karena kekuasaan tidak ada maka Islam tidak ada penjaganya," ujarnya.
Namun, di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, kemajuan sains teknologi tak terlihat. Jadi, di situlah bahwa ketika kekuasaan itu tidak ada, maka agama tidak ada yang menjaganya, tegasnya. Kemudian dia akan hilang dari eksistensi kehidupan masyarakat dan negara. Karena agama itu sebuah risalah dia adalah pandangan hidup dan sistem, akidah dan mabda.
“Oleh karena itu, cara menjaganya ya dengan mewujudkannya itu atau menggunakannya itu sebagai pengaturan kehidupan masyarakat dan negara dalam seluruh aspek kehidupan, sedemikian sehingga akhirnya agama itu jadi eksis,” tegasnya.
Kemudian katanya, kalau dilihat dari sudut pandang masyarakat atau negara maka negara ini memerlukan pengaturan kehidupan, pengaturan berbagai aspek kehidupan itu yang jika tidak menggunakan Islam pasti akan menggunakan sesuatu selain Islam.
“Mengapa? Karena kehidupan masyarakat negara itu tidak akan mungkin kosong dari sesuatu yang mengatur, tidak mungkin karena interaksi antara satu manusia dengan yang lain itu jika ingin didapatkan kebaikan, pasti memerlukan aturan. Nah, aturannya tinggal ada dua kemungkinan yang pertama aturan Islam atau yang kedua aturan selain Islam,” tandasnya. [] Titin Hanggasari
0 Komentar