Banjir Berulang, Solusi yang Ditawarkan Hanya Tambal Sulam

Topswara.com -- Memasuki musim penghujan di berbagai daerah dilanda banjir, tidak terkecuali Semarang dan daerah Demak. Memang bukan kali pertama Semarang dilanda banjir bandang, dilansir dari Tribunnews (15/3/2024). Banjir di wilayah Kecamatan Genuk masih cukup tinggi. Berdasarkan keterangan polisi, ketinggian banjir masih ada yang mencapai 1,5 meter. Memang wilayah tersebut menjadi langganan banjir, bukan musim penghujan pun tetap banjir. 

Namun yang menjadi miris, wilayah yang sebelumnya jarang banjir kini terdampak banjir seperti dilansir dari DetikJateng.com (15/3/2024). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Demak mencatat banjir akibat curah hujan tinggi dan tanggul Sungai Dombo jebol meluas hingga 44 desa tergenang. Akibatnya ada lebih dari 2000 warga yang harus mengungsi. 

Berbagai cara untuk mencegah banjir telah dilakukan, seperti membuat tanggul namun selalu jebol, kemudian masyarakat melakukan peninggian jalan, yang ada membuat rumah menjadi makin kecil, di satu sisi jika warga memiliki uang, dia akan pindah rumah, sehingga banyak rumah yang kosong dibeberapa daerah Genuk dan sekitar. Atau warga meninggikan bangunan rumahnya hingga menjadi lantai tiga, jika ada banjir mereka tidak pusing untuk mengungsi. 

Di sisi lain pemerintah selalu menyalahkan alam, curah hujan tinggi dan lainnya, kemudian menyalakan masyarakat yang selalu membuang sampah sembarangan, akibatnya aliran sungai terhambat sampah yang menumpuk.

Kemudian, banjir yang terus berulang dan tidak mendapatkan solusi hakiki membuat masyarakat jengah, bukan hanya menghambat aktivitas, juga menghambat arus lalu lintas, serta menghambat proses pendidikan.

Dilansir dari Tempo.com (15/3/2204). Banjir yang mengepung Kota Semarang sejak Rabu malam hingga sepanjang Kamis, 13-14 Maret 2024, dinilai bukan hanya karena cuaca hujan ekstrem. Cuaca ekstrem hanyalah satu komponen dari banyak faktor yang memicu banjir di Kota Semarang. 

Pakar perencanaan wilayah dan kota di Universitas Islam Sultan Agung Kota Semarang, Mila Karmila mengatakan, perubahan guna lahan terbangun di Kota Semarang selama 20 tahun mengalami peningkatan dari 20 persen pada 2009 menjadi 50 persen sepuluh tahun kemudian. Sebaliknya untuk lahan non terbangun, dari 80 persen pada 2009 menjadi 50 persen pada 2019.

Kota Semarang disebutnya merupakan daerah yang berkontur, memiliki wilayah pesisir serta dataran tinggi. Kondisi itu, kata Mila, seharusnya menuntut perencanaan tata ruang berbasis bencana. Kawasan bawah atau pesisir harus diperhatikan terlebih karena ketinggian muka tanah kini di bawah muka air. “Pembangunan yang masif akan makin memperparah penurunan tanah dan akibatnya pada luapan air laut ke daratan juga menjadi semakin mudah,” tuturnya.

Fakta tersebut menambah bukti kesemrawutan pembangunan dan tata kota menyebabkan banjir tahunan. Keserakahan para kapital menjadikan menjamurnya mall di kota Semarang, apartemen yang menjulang langit, akibatnya minim lahan resapan.

Banjir dan kerusakan lingkungan buah dari kerakusan manusia. Sistem kapitalisme nyata melahirkan manusia serakah, kerusakan lingkungan, dan berbagai penderitaan lainnya.

Jika permasalahan karena curah hujan yang tinggi, itu juga akibat ulah manusia, yang mana alih fungsi hutan menjadi hunian elit, daerah resapan tidak ada. Kemudian, meluasnya bencana banjir menunjukkan betapa rakusnya para kapital merenggut daerah resapan air, permukaan tanah makin menurun akibat konsumsi air tanah sebagai penunjang hunian elit dan industrialisasi. 

Lalu apa solusinya?

Banjir berulang tidak bisa dipungkiri erat kaitannya dengan paradigma pembangunan. Paradigma pembangunan saat ini menggunakan sistem kapitalisme, yakni menyerahkan kendali ekonomi pada swasta baik lokal maupun asing, maka tidak heran suara rakyat tidak pernah didengar. Sistem ini pula lah yang telah merenggut ruang hidup perempuan dan anak. 

Berbeda sekali ketika Islam dijadikan way of life, bahwa acuan dalam pembangunan sesuai dengan syariat dan terwujud kemaslahatan umat. Pembangunan dalam Islam dilaksanakan untuk kepentingan umat dan memudahkan kehidupan. Di sinilah dibutuhkan penguasa yang menjadi ujung tombak, bukan swasta atau yang lain. Karena penguasa adalah pengurus rakyat dalam menjalankan berbagai kebijakan pembangunan. 

Dalam Islam, pembangunan fasilitas publik akan diatur lokasi pembangunan, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, bukan asal membangun untuk mendulang rupiah ataupun mendapatkan citra kota modern, karena orientasi pembangunan adalah pelayanan kepada masyarakat.

Pembangunan dalam Islam akan memperhatikan berbagai aspek termasuk lingkungan, keselamatan masyarakat, serta bagaimana dampak kesehatan bagi warga sekitar. Tidak seperti pembangunan di sistem kapitalisme yang hanya memikirkan keuntungan semata namun merugikan lingkungan bahkan merusak lingkungan, serta mengancam jiwa manusia.


Alfia Purwanti 
Analis Mutiara Umat Institute

0 Komentar