100 Tahun Pasca-Keruntuhan Kekhilafahan Islam: Orang Pintar Berpikir Benar, Orang "Tidak Pintar" Berpikir Keliru




MutiaraUmat.com -- Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam telah runtuh sejak 3 Maret 1924. Genap seratus tahun ketiadaannya. Kini, umat Islam bak anak ayam kehilangan induk. Tanpa perlindungan dan pemersatu. 

Seiring "peringatan" keruntuhannya, opini tentang khilafah banyak bermunculan. Dalam chatting-an suatu Grup WA yang kami ikuti, ada anggota grup yang berpendapat sebagai berikut:

"Tidak ada yang bisa diperbuat selain melakukan perubahan fundamental. Presiden baru harus orang yang pede banget; semua parpol yang sudah “berdosa” dibubarkan, sementara pimpinannya dicabut hak politiknya. Pemimpin-pemimpin politik yang telah memungkinkan dan menyebabkan semua malapetaka ini harus mempertanggungjawabkan  kelakuannya.

Nasionalisasi semua perusahaan yang selama ini telah merugikan negara dan bangsa, tanpa pandang bulu. Sangat keras ya Pak? Memang harus begitu kalau kita mau menyelamatkan NKRI. Tapi jangan lupa juga untuk mengontrol pemimpin baru sehingga dia tidak melenceng dari kepentingan rakyat."

Atas komentar tersebut di atas, kami mengajukan sebuah pertanyaan; dengan sistem apa tindakan-tindakan yang direkomendasikan olehnya bisa dilakukan? Di bawah sistem pemerintahan apa? monarki, demokrasi (jelas akan berpotensi mengulang kebobrokan demokrasi yang sudah disinyalir oleh Socrates  dan muridnya Plato sejak 600 tahun sebelum Masehi? Ataukah ada alternatif lainnya sebagai solusi tuntas? 

Khilafah: Sebuah Alternatif dan Argumentasi terhadap Penolakannya

Jawabnya ada, yaitu sistem pemerintahan Islam, mau disebut immamah atau khilafah itu soal nomenklatur saja. Jadi, sebenarnya ada proposal baru yang dapat diajukan sebagai alternatif penyelesaian perkara NKRI secara tuntas yakni khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam, khusus terkait fikih siyasah.

Namun sebagaimana diketahui, sistem ini terkesan ditolak sebelum didiskusikan terutama oleh pengidap Islamofobia terkait ajaran Islam, khususnya tentang jihad dan khilafah, yakni bernegara ala Nabi atas contoh Nabi menjadi kepala negara Madinah.

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: salahkah mengikuti cara bernegara Nabi itu? Tokoh pejabat nasional Mahfud MD menyatakan bahwa haram hukumnya mendirikan negara ala Nabi di negeri ini. dalam catatan kami, sudah dua kali Mahfud MD menyatakan hal itu. 

Pertama, dalam diskusi "Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia" di Gedung PBNU, Jakarta, Sabtu (25/1/2020). Ia menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa negara khilafah tidak boleh diikuti.  Mahfudz MD mengatakan, "Kita dilarang mendirikan negara seperti yang didirikan Nabi karena negara yang didirikan Nabi merupakan negara teokrasi di mana Nabi mempunyai tiga kekuasaan sekaligus.

Mengapa tidak boleh diikuti?  Menurutnya, ada tiga alasan. Di zaman Nabi Muhammad, negara yang dibentuk:

1. Nabi Muhammad itu lembaga legislatif, 
2. Nabi Muhammad lembaga eksekutif, 
3. Nabi Muhammad lembaga yudikatif. 

Menurutnya, kalau dulu Rasulullah dipandu langsung oleh Allah dengan wahyu, lalu sekarang wahyu siapa karena tidak ada lagi Nabi atau Rasul?

Kedua, pada tahun  2022, Mahfud MD kembali menyebut haram hukumnya mendirikan sebuah negara layaknya pada zaman Nabi Muhammad SAW. Tanpa menyebut dalil, Mahfud mengeluarkan hukum haram mendirikan negara seperti negaranya Nabi SAW. 

Dia mengatakan, "Kita enggak bisa dan dilarang membentuk negara seperti yang dibentuk oleh Nabi, enggak boleh. Haram hukumnya."

Hal itu dikatakan oleh Mahfud saat Ceramah Tarawih dengan tema 'Titik Temu Nasionalis-Islam dan Nasionalis-Sekuler dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara' di Masjid UGM, Sleman, Minggu (3/4/2022).

Menurut kami, kalau pertanyaannya wahyu siapa, jawabnya mestinya wahyu Allah dalam Al-Qur'an. Lalu apalagi dasarnya? Tentu Hadis Rasulullah dan juga ijtihad para ulama. Bukankah begitu? Itukan sumber hukum Islam?

Pertanyaan kami selanjutnya tetap fokus pada, "Apakah betul mengikuti cara Nabi itu salah?" Bukankah Rasulullah itu uswatun hasanah, suri tauladan yang baik? Lalu apa yang pantas kita teladani dari Rasulullah? Hanya shalatnyakah, zakatnyakah, hajinyakah, puasanyakah? Bukankah Rasulullah juga memberikan contoh bagaimana mengelola negara, mengelola harta, berhubungan dengan negara luar, berperang, berdagang. Apakah dikira Rasulullah itu hanya sekelas ketua RT?

Khilafah: Sejarah Tak Terbantahkan 

Menurut kami, tidak fair bila kita mengharamkan khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah. Itu tidak fair! Mengapa?

Pertama, karena dalam sejarah selama 1300 tahun umat Islam memang dalam kepemimpinan dengan sistem kekhilafahan, apapun bentuk dan variasinya. Bahkan,  bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Ustmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta? Bukankah, kita juga pernah dibantu khilafah ketika kita melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu a-history!

Kedua, taruhlah sistem dan jenis kekhalifahan itu tidak baku, namun apakah sesuatu yang tidak baku itu tidak bisa diikuti? Kalau sekarang kita ikuti sistem pemerintahan demokrasi, apakah demokrasi juga punya bentuk baku? Negara  mana yang benar-benar menerapkan sistem demokrasi yang benar? Ala Amerika, ala Rusia, Ala China, Ala Eropah, ala Asia, ala Afrika? 

Sebut, berapa jenis demokrasi yang ada? Dan apakah negara yang menganut  demokrasi benar-benar menerapkan prinsip dasar demokrasi? Atau mereka tidak tulus menerapkan demokrasi melainkan hanya sekedar pseudo demokrasi? Atau bahkan sebenarnya mereka justru telah membunuh sendiri demokrasi yang mereka puja (harakiri) sebagaimana ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi pun akan mati bila kediktaktoran rezim justru dipertontonkan (how democracies die). 

Ketiga, seandainya memang sistem pemerintahan Islam itu dikatakan tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk, beragam, pluralistik, dan lain-lain, namun pernahkah kita juga berpikir bahwa apakah zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin itu masyarakat Madinah juga homogen? Masyarakatnya semua Muslim? Tidak bukan? Ada yang Muslim, musyrik, kafir dan tidak beragama juga ada.

Jadi ketika hukum Islam diterapkan masyarakat Madinah juga plural, majemuk, beragam. Lalu,  benarkah alasan menolak ide kekhalifahan itu karena pluralitas masyarakatnya? Bukan itu! Alasannya ya karena kita tidak mau dan tentu saja banyak yang merasa terancam karena ditegakkannya hukum-hukum Allah atau setidaknya hukum yang bersumber dari hukum Islam. 

Keempat, memang terbukti varian kekhalifahan itu beragam sistem. Namun, sebagai manusia yang dibekali oleh cipta, rasa dan karsa, tidak bisakah kita menyaring, memilah dan memilih sistem kekhalifahan terbaik dari sekian banyak varian sistem kekhalifahan itu sebagaimana kita pilih demokrasi Pancasila yang konon terbaik meskipun hingga sekarang pun kita sulit mengidentifikasi karakteristiknya karena Indonesia pun sistem pemerintahannya dikelola tidak lebih dan tidak kurang sama dengan negara liberal bahkan lebih liberal lagi. 

Lalu, demokrasi Pancasila itu yang macem mana? Atau gampangnya begini, dari 7 rezim yang berkuasa dan semuanya mengklaim rezimnya berideologi Pancasila, coba tunjukkan rezim mana yang telah menjalankan dan menerapkan ideologi Pancasila dan oleh karenanya berbeda dengan negara dengan ideologi liberal dan atau komunis?

Baiklah, bila dari tujuh rezim yang telah berkuasa namun tidak mampu memberikan warna Demokrasi Pancasila, lalu apakah diharamkan apabila umat Islam menawarkan resep lain dalam untuk mengatasi segala permasalahan bangsa dan negara Indonesia dengan sistem hukum Islam. Atau setidak-tidaknya menawarkan agar hukum Indonesia itu dibentuk dengan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukumnya. 

Mengapa kita tidak mengambil strategi ini bahkan makin menjauhkan kehidupan bangsa dan negara dari hukum Allah? Ataukah memang kini umat Islam masih meragukan bahwa hukum Allah itu sumber hukum terbaik? Ya, kami kira ini persoalannya. Kita masih meragukan hukum Allah sebagai hukum terbaik dan selalu benar karena difirmankan oleh Allah Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya? 

Kelima, bila masih meragukan  hukum Allah sebagai hukum terbaik, tampaknya kita perlu memupuk lagi iman dan takwa kita. Tampaknya pula kita belum pantas disebut sebagai insan yang beriman dan bertakwa itu. Kita masih mengambil dan menggunakan hukum Islam secara prasmanan. Bagian hukum yang enak kita kita pilih dan ambil, sedang bagian hukum yang dirasa tidak enak dan bahkan mengancam eksistensi kita, ramai-ramai kita singkirkan, kita halau bahkan kita musuhi. 

Jika demikian, masihkah kita berharap pada nikmatnya syurga Adn yang dijanjikan bagi orang-orang yang beriman. Mereka tidak pernah takut kepada selain Allah dan mereka tidak pula bersedih hati. Hal itu pula cara Nabi menyikapi riuh rendah hidup di dunia yang fana ini. 

Dengan lima argumentasi tersebut di atas, apakah mengikuti cara Nabi itu salah? Saya hanya mengabarkan bahwa kita hendaknya fair! Itu saja! 

Khilafah Ajaran Islam: Harus Diperjuangkan

Kitab-kitab fikih Islam membahas bab khilafah itu secara khusus. Jadi khilafah itu bagian dari ajaran Islam yang boleh dipelajari, dan boleh didakwahkan. 

Menyatakan khilafah sebagai ajaran sesat, apalagi ajaran setan adalah salah satu bentuk penistaan agama yang memenuhi unsur delik sebagaimana diatur di dalam Pasal 156 a KUHP. 

Forum apa pun yang membicarakan hukum kekhalifahan harusnya mau bersikap adil, undanglah MUI dan juga alim ulama lainnya yang memahami kedudukan hukum tentang khilafah sebagai ajaran Islam. 

Anda mungkin akan mengatakan soal khilafah sebagai ajaran Islam karena tidak ada dalam Al-Qur'an sehingga tidak boleh ditegakkan, didakwahkan bahkan dipelajari. Pertanyaan saya, apakah semua ajaran Islam itu mesti harus secara detail disebut dan ada di Qur'an? Apakah sumber hukum Islam itu hanya Al-Qur'an? Bukan! Ada hadis, ada hasil Ijtihad para ulama yang lebih detail tertuang di dalam kitab-kitab madzab dalam bentuk fikih. Itu juga sumber hukum yang harus diperhatikan oleh umat Islam. Hukumnya bagaimana, kita bisa temukan di kitab-kitab tersebut. 

Analog dengan pemikiran serupa, jika ada yang bersikukuh bahwa ajaran itu mesti ada di kitab Qur'an dan sumber hukum lainnya, maka coba kita lihat demokrasi itu ada di kitab mana? Adakah sistem pemerintahan demokrasi disebut dalam Al-Qur'an? Adakah dalam kitab-kitab fikih 4 madzab Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi'i? Atau kitab-kitab hasil ijtihad para alim ulama? Kami pastikan yang akan anda temukan adalah kitabnya Aristoteles, John Lock dan Montesque. Mereka ini siapa? Nabi-kah? Ulama-kah? Mujtahid-kah? 

Lalu, mengapa Anda mati-matian membela agar demokrasi Barat itu dijalankan di negeri yang nota bene mayoritas penduduknya Muslim (87.19%)? Sadarkah kita bahwa sebenarnya kita sudah dijajah sistem luar berupa demokrasi Barat itu yang sebenarnya sudah ditentang para founding fathers ketika bicara tentang dasar negara?  

Orang Pintar Perjuangkan Khilafah

Kita berharap negara ini tidak kekurangan orang pintar yang mampu berpikir jernih dan benar tapi terlalu berlebih orang yang berpikir dengan "tidak pintar" yang berpikir keliru. Hal ini disebabkan bernegara tidak cukup dengan ideologi indoktrinasi, tapi bernegara itu butuh  berpikir dan bertindak berdasarkan pertimbangan akal sehat. 

Akhir kata, sebagai sebuah proposal sistem pemerintahan alternatif, mestinya semua pihak menyikapinya secara fair dan obyektif sebagai gagasan yang dapat didiskusikan dengan hati dan pikiran yang jernih. Tidak boleh apriori, alergi dan berniat mempersekusi proposal tersebut. 

Ingatlah kata Heraclitus bahwa The world is flux, dunia ini panthareih, mengalir tiada henti dan kekuasaan pun dipergilirkan oleh Allah. Demokrasi pun dapat tumbang dipergantikan dengan sistem yang dijamin Allah paling baik, yakni sistem pemerintahan Islam, yang biasa disebut dengan kekhalifahan. Selamat merenung dan berdiskusi semoga mendapat dan menjadi pencerahan bagi setiap insan beriman.[]

Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati

0 Komentar