Tiga Catatan Penting terhadap Mahalnya Biaya Pendidikan

MutiaraUmat.com -- Pemerhati Kebijakan Publik Ustazah Iffah Ainur Rochmah memberi tiga catatan penting terkait pembebanan biaya pendidikan yang sangat besar kepada para mahasiswa. 

"Pertama, menggambarkan bahwa negeri ini menganut neoliberalisme pada skala yang makin mengkhawatirkan. Yakni bahwa neoliberalisme sebagai satu bentuk baru liberalisme klasik," tuturnya dalam Muslimah Talk Pinjol Solusi Mahalnya UKT Mahasiswa, Bagaimana Solusi Islam?, Di kanal YouTube Muslimah Media Center, Sabtu (3/2/2024). 

Dia menjelaskan peresmkan pinjaman online yang diresmikan sebagai satu media yang diadopsi dengan kebijakan kampus menggambarkan betapa dengan neoliberalisme masyarakat digiring untuk memiliki budaya riba. Selain itu, juga  menggambarkan betapa makin besarnya lepas tangan pemerintah untuk melayani kebutuhan masyarakat. 

"Kedua, dalam pandangan Islam, pendidikan termasuk pendidikan tinggi ini adalah kewajiban negara untuk menyediakan dan negara menyediakan pendidikan tinggi yang berkualitas bahkan secara gratis," paparnya. 

Dia menjelaskan, terjaminnya pendidikan dalam Islam dilihat berdasarkan nash syariat. Pada masa awal pemerintahan Islam, Rasulullah SAW selesai perang Badar menjadikan sebagian tawanan dari perang Badar itu menebus dirinya dengan mengajarkan baca tulis Al-Qur’an kepada anak-anak di Madinah. 

"Bisa kita baca di dalam kitab Shiarah demikian. Begitu pula ijma’ shahabat telah menegaskan wajibnya negara menjamin pembiyaan pendidikan. Khalifah Umar bin Khatab dan Utsman memberikan gaji kepada guru, imam shalat jamaah dan demikian juga mengeluarkan dana dari Baitul Mal untuk memastikan bahwa pendidkan bisa diakses oleh seluruh warga negara secara gratis," terangnya. 

Ketiga, mekanisme pembiayaan pendidikan dalam khilafah. Berbicara tentang besarnya biaya untuk memberikan fasilitas pendidikan, tinggi memang negara yakni Baitul Mal itu harus memiliki pos pemasukan yang juga sangat besar dan itu hanya bisa diwujudkan Ketika kita memberlakukan sistem ekonomi Islam. 

Lebih jauh ia menambahkan, dengan mengelola sumber daya alam sesuai syariat Islam dari situlah akan ada pos kepemilikan umum, seperti pemasukan negara dari pengelolaan tambang oleh negara, minyak, gas, hutan, laut dan juga dari himmah yakni milik umum yang penggunaanya telah di khususkan. 

"Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dari beberapa pemasukan tadi akan dibelanjakan dua kepentingan untuk membayar gaji dan semua pihak yang terkait layanan pendidikan guru, dosen, karyawan dan lain-lain. Kedua untuk menyediakan segala macam sarana dan prasarana pendidikan bangunan sekolah, bangunan kampus, asrama, perpustakaan, untuk biaya riset, buku pegangan dan seterusnya semua itu disediakan dan dananya dari Baitul Mal," terangnya. 

Sehingga, lanjutnya, dengan kata lain negara mensponsori secara langsung pembiayaan perguruan tinggi. Tidak menyerahkan kepada swasta, tidak menyerahkan kepada mahasiswa dan apalagi kemudian mencari alternatif dari misalnya dana pertanggung jawaban sosial dari perusahaan tertentu. 

"Sepanjang sejarah pemberlakuan Islam dalam naungan khilafah kita juga memiliki contoh Sejarah emas bagaimana negara menyediakan secara gratis Pendidikan tinggi kepada rakyat bahkan bukan hanya yang muslim bahkan warga non muslim dari berbagai wilayah belahan dunia itu juga menikmati fasilitas nomer satu yang disediakan oleh perguruan tinggi di dunia Islam," jelasnya. 

"Ada dana wakaf yang merupakan inisiatif rakyat atau masyarakat yang kaya untuk berperan dalam pendidikan, dan ini disyariatkan. Dalam sejarah, kita tau bahwa orang-orang kaya membangun sekolah dan membangun perguruan tinggi di Damaskus, Baghdad, Khairo, wilayah Persia dan mereka bukan hanya membangun gedungnya tetapi juga membangun fasilitasnya termasuk membangun perpustakaan, asrama. Bahkan dulu juga sejarah- tergambar ada wakaf-wakaf yang bersifat khusus seperti wakaf untuk keilmuan hadis, wakaf mereka yang sekolah dokter, wakaf untuk riset obat-obatan, wakaf untuk pengembangan teknologi," pungkasnya. [] Alfia Purwanti

0 Komentar