MutiaraUmat.com -- Pendidikan bagian dari kebutuhan dasar setiap individu. Memenuhinya adalah kewajiban negara, baik secara gratis ataupun semurah-murahnya, tanpa lagi memandang miskin atau kaya. Namun, paradigma ini tidak berlaku dalam sistem pendidikan yang berasaskan sekuler kapitalistik.
Baru-baru ini, dilansir dari Republika (26-1-2024), Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim melaporkan, hingga 23 November 2023 penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) telah mencapai 100 persen target, yaitu telah disalurkan kepada 18.109.119 penerima. Bantuan itu menelan anggaran sebesar Rp 9,7 triliun setiap tahunnya.
Sedangkan berdasarkan data, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mencatat jumlah murid di Indonesia pada semester ganjil tahun ajaran 2023/2024 telah mencapai 53,14 juta orang (data.goodstats.id, 16/10/2023).
Berdasarkan data di atas, nampak jelas bahwa 100% yang dimaksud bukanlah untuk per individu rakyat. Sesuai yang dikatakan Nadiem, hanya 100% target saja. Sungguh, ini sangat wajar dalam tata kelola pendidikan yang sekuler kapitalistik. Terlebih dalam peradaban kapitalisme hari ini, pendidikan masuk dalam komoditas yang dikomersilkan.
Mengapa Program Indonesia Pintar yang telah mencapai 100% tidak mampu mewujudkan kemerataan? Apa dampak ketidakmerataan Program Indonesia Pintar yang mencapai 100%? Bagaimana strategi pemenuhan kemerataan pendidikan yang hakiki?
Ketidakmerataan Program Indonesia Pintar Capai 100% Adalah Keniscayaan dalam Sistem Pendidikan Sekuler Kapitalistik
Pendidikan yang merupakan kebutuhan dasar tiap individu sudah seharusnya menjadi kewajiban pemerintah memenuhinya. Maka, tidak boleh tidak penyaluran bantuan dana pendidikan harus mencapai 100 persen. Yang berarti tiap individu rakyat menikmati pendidikan sampai jenjang setinggi-tingginya dengan cuma-cuma atau semurah-murahnya.
Namun sangat disayangkan, bagi pemerintah dalam kapitalisme yang dimaksud 100 persen adalah 100 persen target dana yang telah dianggarkan. Bahkan, capaiannya pun tidak mencapai setengah dari total pelajar yang ada di Indonesia. Bagaimana tidak? Pelajar di tahun ini mencapai 53,14 juta orang, tetapi capaian 100 persen bantuan dana hanya untuk 18.109.119 penerima. Ini menunjukkan ketidakmerataan tata kelola pendidikan dalam sistem sekuler kapitalistik.
Ketidakmerataan dana bantuan pendidikan yang termaktub dalam Program Indonesia Pintar yang meskipun telah mencapai 100 persen adalah keniscayaan di sistem hari ini yang berasaskan sekuler kapitalis. Sebuah keniscayaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
Pertama, terbatasnya dana bantuan.
Anggaran pendidikan tahun 2024 sebesar Rp660,8 triliun atau 20 persen pada APBN 2024, sedangkan tahun 2023 mencapai Rp612,2 triliun. Adapun anggaran beasiswa dan bantuan sosial (bansos) untuk pendidikan menjadi Rp35,94 triliun pada 2024 dan Rp28,9 triliun pada 2023. (Pulasdik.kemdikbud.go.id, 18/8/2023).
Dengan berbagai macam alokasi kebutuhan pendidikan dari tingkat pusat hingga daerah, anggaran tersebut belum mampu memenuhi segala sarana dan prasarana yang memadai dan merata. Berikut anggaran dana bantuan pendidikan pun tak bisa merata, jangankan menyentuh keseluruhan, sebagian pelajar pun tak terpenuhi. Inilah kelemahan pemerintahan dalam sistem kapitalis ketika pemasukan negara hanya bertumpu pada pajak dan utang.
Kedua, data survei dijadikan sebagai tolok ukur kebijakan.
Ketika berbicara kebutuhan tiap individu, seharusnya keberhasilan penjaminan dilihat secara tepat, apakah individu tersebut benar-benar telah tertunaikan kebutuhan dasarnya secara merata. Negara sudah seharusnya hadir mensolusi permasalahan rakyatnya secara tepat.
Seperti survei ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data, berdasarkan Survey Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, 76% keluarga mengakui anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi. Sebagian besar (67,0%) di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya (8,7%) harus mencari nafkah. (Pulasdik.kemendikbud.go.id, 29/10/2022)
Dari persoalan di atas ketika solusinya dana bantuan Program Indonesia Pintar (PIP), sulit dikatakan mampu merata dan menyentuh permasalahannya? Bahkan, Kemendikbudristek pun mengakui, belum ada survei yang secara langsung menunjukkan kehadiran PIP dapat mencegah anak-anak dari keluarga miskin dan rentan miskin untuk putus sekolah.
Ketiga, komersialisasi pendidikan.
Sistem kapitalis yang menjadikan materi sebagai tujuannya telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu komoditas jasa yang dikomersilkan. Ini mengakibatkan biaya pendidikan makin mahal, mahalnya biaya pendidikan sebanding dengan kualitas yang diberikan. Alhasil, sarana dan prasarana pendidikan tak dapat dinikmati secara merata, baik oleh si kaya ataupun si miskin.
Oleh karena itu, ketidakmerataan Program Indonesia Pintar yang telah mencapai 100% adalah keniscayaan dalam sistem pendidikan sekuler kapitalistik. Tata kelola pendidikan yang sekuler kapitalistik adalah akar masalahnya. Akidah sekuler membuat pemerintah tak menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum setiap kebijakan yang dikeluarkan, pendidikan yang harusnya menjadi kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi pun terabaikan. Berikut kapitalisme menjadikan segala kebijakan termasuk masalah pendidikan didasarkan pada untung dan rugi.
Dampak Ketidakmerataan Program Indonesia Pintar Capai 100%
Pendidikan yang berkualitas dan didasarkan pada akidah yang shahih akan mampu mencetak generasi yang unggul. Namun, dalam sistem sekuler kapitalistik hari ini muncul berbagai macam persoalan di dunia pendidikan, tidak hanya tentang dana bantuan yang tak dapat diterima secara merata saja.
Secara fakta, rakyat dapat menemukan bahwa akses pendidikan belum sepenuhnya merata, baik dalam hal sarana prasarananya, kuantitas ataupun kualitas pendidikannya. Termasuk ketersediaan dana, kurikulum pendidikan, dan sumber daya pendidiknya juga menjadi bagian persoalan dunia pendidikan hari ini.
Dampak ketidakmerataan dana bantuan pendidikan dalam Program Indonesia Pintar yang dikatakan telah mencapai 100%, di antaranya:
Pertama, pendidikan murah hanya sekadar harapan yang sulit terealisasi. Apalagi selama tetap menjadikan sekuler kapitalisme yang mengatur kehidupan.
Kedua, pendidikan berkualitas sulit dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Bagi yang menerima bantuan belum tentu mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Pasalnya, dalam kapitalisme kualitas pendidikan yang bagus menuntut biaya pendidikan yang mahal pula.
Ketiga, sulit mewujudkan generasi yang unggul. Kualitas pendidikan mempengaruhi kualitas generasi yang diciptakan. Ketika pendidikan tidak bisa dinikmati secara merata, akan menghasilkan ketimpangan kualitas generasi.
Keempat, suramnya masa depan peradaban. Ini karena generasi merupakan harapan masa depan sebuah peradaban. Ketika generasi tidak terdidik dengan pendidikan yang berkualitas, maka sumber daya manusianya rendah dan dapat tercipta masa depan peradaban yang suram.
Strategi Mewujudkan Kemerataan Pendidikan yang Hakiki
Demi mewujudkan Program Indonesia Pintar yang tercapai 100% secara hakiki, maka dibutuhkan suatu sistem shahih yang dapat melampaui sistem lainnya. Sistem yang dapat memberikan pelayanan pendidikan bagi setiap individu.
Islam menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab negara dalam seluruh aspeknya, menyediakan fasilitas pendidikan bagi setiap individu tanpa adanya diskriminasi, mencukupi kebutuhan sarana pendidikan yang bersifat pokok seperti gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, dan lainnya termasuk kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan negara.
Pendidikan Islam juga memiliki kurikulum terbaik, berdasar akidah Islam, yang mampu mencetak generasi berkepribadian Islam. Islam menjadikan pendidikan dapat diakses secara gratis, menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang menjadi hak bagi setiap warga negara Muslim maupun non-Muslim tanpa terkecuali.
Pada masa kepemimpinan Khalifah Al muntashir Billah didirikan Madrasah Al Muntashiriah di kota Baghdad. Setiap siswanya menerima beasiswa berupa emas seharga 1 Dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian para siswa dijamin sepenuhnya oleh negara. Bahkan, fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan, rumah sakit dan pemandian. Dengan kemakmuran negara Islam pada waktu itu, anggaran pendidikan tak pernah menjadi masalah. Oleh karenanya, tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam siswa tidak sekolah karena tidak adanya akses pendidikan di wilayahnya.
Begitu juga pada masa Khalifah Al Ma'mum, kebijakan pelayanan pendidikan gratis dan berkualitas betul-betul dilaksanakan dengan baik. Negara tidak hanya menggratiskan biaya pendidikan. Negara juga memberi fasilitas berupa asrama, makan-minum, kertas, pena dan lampu serta uang satu dinar perbulan. Jika harga emas 1 gram Rp 700.000, berarti Rp 2.975.000 perbulan.
Pada masanya di bangun "House of Wisdom" yang merupakan perpustakaan sekaligis laboratorium tempat berkumpul dan telah melahirkan para ilmuwan-ilmuwan Muslim. Terbukti dalam masa keemasan Islam, pada masa itu studi ilmiah dan penelitian seperti kedokteran, ekonomi, matematika, geografi, astronomi dan banyak lagi berkembang di dunia Islam.
Umat Muslim memberi kontribusi besar bagi sains, budaya dan sastra. Yang paling terkenal Aljabar yang ditemukan Al-Khawarizmi, Ilmiwan Persia di bidang matematika. Cendikiawan-cendikiawan Islam itu muncul dari berbagai agama, wilayah, suku dan ras. Orang Yahudi dan Zoroaster memainkan peran besar dalam menterjemahkan karya lama Yunani, Romawi, Persia, Cina dan Hindu ke dalam Bahasa Arab, bahkan ia dikenal sebagai Syekh of the translators. Di masa keemasan ini orang-orang yang berbeda agama dan budaya berkumpul di Baghdad. Semuanya berada di bawah perlindungan penguasa Muslim, yaitu Khilafah Islamiyah.
Sistem pendidikan Islam mampu memberikan pelayanan pendidikan merata dan gratis bagi setiap individu rakyatnya, tanpa melihat miskin atau kaya, Muslim ataupun non-Muslim, semua memperoleh hak yang sama. []
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo
0 Komentar