Sertifikasi Halal Dikomersialkan

Mutiaraumat.com-- Muhammad Aqil Irham selaku Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menyatakan bahwa seluruh produk makanan dan minuman yang diperdagangkan di Indonesia diurus sertifikasi halalnya selambat-lambatnya tanggal 17 Oktober 2024 (tirto.id, 2/2/2024).

Sertifikat halal ini harus diurus seluruh pelaku bisnis baik mikro dan kecil (UMK) maupun bisnis besar. Berbagai jenis sanksi telah disiapkan jika para pelaku usaha tidak dapat menunjukkan sertifikat halal produk mereka setelah tanggal yang ditetapkan. Sanksi dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, maupun penarikan produk dari pasaran. 

Proses pengurusan sertifikat halal ini sendiri terdiri dari beberapa tahap mulai dari registrasi akun, verifikasi akun dan seterusnya sampai didapatkan sertifikat tersebut. Sedangkan biaya pengurusan sertifikat ini tergantung jenis usahanya. Biaya registrasi mulai dari Rp. 300.000 hingga Rp. 12.500.000. Setelah empat tahun, pengusaha harus memperbarui sertifikat halal atas produk mereka dengan rincian biaya yang berbeda (liputan6.com, 2/2/2024).

Sertifikat halal yang melekat pada suatu produk memiliki nilai strategis yaitu kepercayaan masyarakat atas jaminan bahwa produk tersebut telah memenuhi prinsip halal secara syariat Islam. Kepercayaan masyarakat ini akan meningkatkan nilai ekonomi produk serta memberikan daya tawar lebih tinggi dibanding produk tanpa label sehingga proses pemasaran juga lebih baik.
 
Meskipun pengurusannya terlihat sederhana, kita bisa membayangkan kerepotan proses itu bagi pedagang kecil. Ambil saja contoh penjual pecel yang yang membungkus barang dagangannya dengan sederhana menggunakan daun pisang di pasar, atau sekedar penjual es dawet yang menggunakan meja kecil untuk berjualan dengan keuntungan yang tidak seberapa. 

Bagaimanapun, kita tidak sekedar berbicara jaminan kehalalan produk, tetapi kita sedang berbicara tentang kehidupan masyarakat yang kompleks dan tidak bisa begitu saja dipisahkan dari setiap aspek yang melingkupinya. 

Alih-alih menjadi solusi atas trust issue konsumen, kebijakan penerbiatan sertifikat halal ini berpotensi menimbulkan masalah baru. Selama ini, banyak fakta bahwa penerapan kebijakan penerbitan sertifikat ini hanya bersifat formalitas dan administratif. 

Terutama bagi institusi besar yang memiliki cukup sumberdaya untuk melakukan “pengadaan bukti” bahwa prosedur yang dilakukan di dalam institusi mereka telah sesuai dengan kriteria yang diminta oleh penyelenggara sertifikasi. Ini telah menjadi rahasia umum. Maka, siapa yang menjamin bahwa sertifikasi halal ini akan berjalan dengan benar? Jangan-jangan memang keluar sertifikat, tetapi sejatinya tidak halal, dan sebaliknya.

Sampai di sini, kita menjadi paham begitu kuatnya pengaruh sistem. Siapa yang memiliki uang, dia yang akan menguasai pasar, begitu kan? Pedangang besar yang mampu membayar biaya sertifikat halal dan memperpanjangnya setiap tahun, akan bertahan dengan usahanya. 

Sebaliknya, pedangang kecil yang tidak seberapa keuntungannya, padahal jelas produknya halal, tetapi tidak mampu membayar sertifikat beserta perpanjangannya, akan digulung oleh pemerintah. 

Dengan adanya regulasi ini, terlihat hubungan pengusaha dengan penguasa sangat harmonis. Pemerintah dapat pemasukan dari pengurusan sertifikat halal, pada saat yang sama, pengusaha besar mendapat jaminan kelangsungan usahanya dengan tergilasnya pengusaha-pengusaha kecil. Inilah kenggragasan yang niscaya ketika sistem kapitalis diterapkan. 

Kebijakan sertifikasi halal ini lebih terkesan pemalakan legal regulator kepada para pedagang. Bagaimana tidak, jika memang benar hak konsumen muslim atas jaminan kehalalan produk yang mereka konsumsi adalah tujuan pemerintah, maka itu adalah kebutuhan pemerintah untuk melakukan penjaminan itu. Seharusnya proses sertifikasi ini dilakukan dengan prosedur yang sederhana dan gratis.

Bagaimanapun, urusan kehalalan produk ini bukan sekedar ada sertifikat atau tidak. Tetapi sistem kehidupan yang melingkupi masyarakat ini juga harus mendukung para pengusaha untuk memproduksi produk halal.

Jika sistem pendidikan, sistem sanksi, regulasi, dan suasana keimanan tidak menjadikan mereka manusia-manusia yang paham dan sadar akan pentingnya produk halal, maka permasalahan ini tidak akan pernah selesai. 

Di dalam Islam, terdapat kaidah fiqih yang menyebutkan bahwa “Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah". Artinya jika pada sesuatu itu tidak terdapat dalil yang mengharamkan, maka hukum sesuatu adalah mubah. Di dalam negara Islam dengan sistem pendidikan yang baik, peraturan yang jelas, serta sistem sanksi yang tegas, maka para pedagang akan memahami dengan baik mana yang halal dan haram.

Maka, asumsinya, seluruh produk makanan dan minuman yang diproduksi adalah halal. Sehingga jika ada produk haram di negeri muslim, tinggal dilabeli yang haram saja. Selesai masalah. 

Begitu juga dengan sistem ekonomi Islam yang diterapkan tidak hanya bertujuan untuk mencapai keuntungan materi atau lakunya produk dengan banyaknya kepercayaan konsumen. Sistem ekonomi Islam memungkinkan bagi para pelaku bisnis untuk mendapatkan keuntungan dari usaha mereka sesuai batasan syariat Islam. 

Peran negara di dalam sistem Islam adalah melindungi hak-hak warganya berdasarkan syariat Islam. Jikalaupun ada produk-produk yang memerlukan pelabelan halal, haram, bahaya, dan seterusnya, maka tentu saja negara harus menyediakan jasa pengecekan produk ini dengan prosedur yang sederhana dan terjangkau atau bahkan gratis, bukan mempersulit proses sehingga justru mengorbankan hak masyarakat. 
Apalagi kehalalan adalah perkara keterlaksanaan hukum syariat, bukan sekedar urusan untung-rugi. 

Negara harus hadir sebagai penyedia seluruh sarana prasarana agar jaminan halal dalam seluruh produk yang dikonsumsi oleh kaum muslimin. Pendidikan tentang konsep halal-haram ini harus clear di masyarakat. Kesadaran tentang halal-haram juga harus dibangun dengan suasana keimanan. Sanksi harus benar-benar diberlakukan kepada para pelanggar. Wallaahu a’lam bishshawwab.[]

Oleh: Fatmawati 
(Aktivis Dakwah)

0 Komentar