Revolusi Dakwah Pena: Mengukir Keberanian dan Kebangkitan Umat Islam Menuju Ketinggian Peradaban


MutiaraUmat.com -- Dakwah dapat diibaratkan sebuah seni dengan memanfaatkan beragam sarana. Kunci utama dakwah yaitu agar gagasan yang diusung dapat menembus dengan efektif ke hati obyek dakwah (mad’u). Dakwah dengan memanfaatkan sarana komunikasi, baik lisan maupun tulisan, memiliki potensi yang setara untuk mencapai obyek dakwah. Namun, keberhasilannya ditentukan oleh dua faktor esensial: obyek dakwah (mad’u) dan para pengemban dakwah.

Faktor pertama menekankan pentingnya keterbukaan hati obyek dakwah untuk menerima seruan dakwah. Penerimaan ini bergantung pada hidayah dan taufik dari Allah SWT, suatu aspek yang terletak di luar kendali manusia dan merupakan bagian dari wilayah al musayyar, di mana obyek dakwah perlu membuka hatinya dan dengan dibimbing oleh Allah SWT untuk menerima seruan dakwah dalam ketulusan.

Sementara itu, faktor kedua, yang tergolong dalam wilayah mukhayyar, dapat dioptimalkan melalui usaha dan ikhtiar. Dalam wilayah mukhayyar, suatu wilayah yang dapat diikhtiarkan oleh pengemban dakwah, yaitu dengan kesadaran dan tanggung jawab untuk terus memperbaiki dan mengoptimalkan cara penyampaian dakwahnya. Contohnya, ketika berdakwah lewat lisan, retorika ucapannya dapat ditingkatkan; atau melalui dakwah lewat tulisan, fokus diberikan pada perbaikan konten tulisan agar tetap relevan dan berdaya tahan, serta solutif. Khusus dakwah melalui tulisan saat ini menjadi makin penting, terutama di era di mana pemikiran Barat dan Timur menyerang unsur-unsur pemikiran islami melalui tulisan yang dibungkus dengan indah, tetapi menyimpan "racun" yang dapat menghancurkan pondasi Islam.

Oleh sebab itu, komitmen yang kuat sangat dituntut dari para pengemban dakwah. Meski dihadapkan pada hujatan dan kritik terhadap tulisan mereka, komitmen ini tidak mudah goyah karena bermuara pada harapan akan ridha Allah SWT semata, bukan untuk mencari kepuasan dunia atau yang lainnya, karena Allah SWT yang mengajarkan manusia dengan perantaraan pena (QS Al Alaq 4-5). Maka, dakwah lewat tulisan menjadi panggilan yang memerlukan ketekunan dan kesungguhan untuk menjaga keaslian dan kebenaran pesan yang disampaikan dengan niat menulis karena Allah SWT.

Komitmen seorang pengemban dakwah dalam bentuk tulisan kadang terus diuji oleh berbagai dinamika kehidupan dan banyak pembatasan. Oleh sebab itu kekuatan untuk menulis tidak boleh bergantung kepada kekuatan materi atau kekuatan moral, namun harus ikhlas karena Allah SWT. “Setiap amal tergantung daripada niat”, demikian Rasul SAW bersabda. Niat menulis karena Allah SWT merupakan pondasi agar tulisannya kokoh sehingga dalam dakhwahnya akan ditolong oleh Allah SWT dengan memberikan “ilham”. Alhasil, setiap kata dalam tulisannya mampu menggugah kesadaran; baik kesadaran dirinya, maupun kesadaran orang lain. 

Ciri peradaban besar dunia terletak pada besarnya minat mereka akan tradisi tulis-menulis. Peradaban Romawi dan yunani misalnya, ataupun peradaban cina; diakui oleh dunia karena melahirkan banyak pemikir melalui tulisan, dan hal ini tidak terkecuali dengan peradaban Islam. Perhatian para khalifah sangat tinggi terhadap tradisi tulis menulis. Bisa disimpulkan bahwa setiap peradaban besar selain bertumpu pada kekuatan militer dan alutsista yang canggih, juga bertumpu pada budaya intelektual, pemikiran, dan akademik yang di tandai dengan tingginya taraf budaya tulis menulis mereka. Tulisan adalah salah satu senjata mematikan dalam sebuah peradaban. Sayyid Qutb pernah berkata: ”Satu peluru hanya dapat menembus satu kepala, namun satu tulisan dapat menembus ribuan kepala”. Imam Al Ghazali walaupun sudah wafat beribu tahun yang lalu, namun beliau seolah-olah hidup di tengah tengah kita berkat tulisannya yang menggugah kesadaran banyak orang. 

Hubungan dunia Islam hari ini dengan kekuatan Barat dan Timur selalu memanas, tak terkecuali peristiwa terbaru seperti pendudukan dan pembantaian Israel atas palestina; atau peristiwa dan keadaan negeri islam yang lain yang terjajah dan tercabik cabik secara politik, ekonomi, maupun pemikiran, sehingga negeri islam hidup dalam kebodohan peradaban, persis seperti karakter kejahiliahan zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini seharusnya menjadi perhatian umat Islam. Posisi tawar umat Islam sangat rendah di hadapan umat yang lain, sehingga menimbulkan perasaan rendah diri bahkan untuk sekadar menyatakan pendapat pendapat Syar’i mereka atas berbagai kejadian untuk di selesaikan sesuai dengan pandangan Islam dan hukum syariat pun mereka tidak mampu melakukannya. Dengan kata lain , umat Islam sudah tidak memiliki hak istimewa lagi atas diri mereka sendiri; umat Islam telah kehilangan kedaulatan atas diri mereka sendiri. Rasul SAW telah mengisyaratkan keadaan tersebut. Beliau SAW dalam sebuah hadis shahih menyatakan akan ada satu masa di mana umat Islam bagaikan hidangan yang akan dikerubuti dan dilahap dengan rakus oleh serigala-serigala kelaparan (umat dan bangsa lain), sekalipun jumlah umat Islam sangat banyak saat itu. Patut diduga zaman yang ditunjukkan oleh Nabi SAW tersebut adalah zaman kehidupan kita umat Islam pada hari ini. Oleh sebab itu, umat Islam harus bangun dari tidurnya yang panjang, dan kebangkitannya harus nyata. Bukti atas kebangkitannya itu dapat diukur dengan pemikiran cemerlang mereka yang tertulis dan berisi solusi fundamental atas permasalahan umat. Lukislah peradaban Islam dengan tulisan yang memberikan solusi fundamental atas permasalahan umat Islam (syariah dan khilafah), bukan solusi khayalan dan semu seperti demokrasi Islam, Al ‘adalah al ijtimaiyah (keadilan sosial), moderasi beragama, dan lain lain, serta kuburlah ide busuk tersebut ke tong sampah peradaban, sehingga umat dapat meniti jalannya kembali sebagaimana jalan Rasul SAW dan para sahabatnya yang telah dianugerahi nikmat ketinggian dan kemuliaan Islam dan syariatnya oleh Allah SWT. Wallahu a’lam. []


Oleh: Erwin Ansory
Aktivis Muslim

0 Komentar