Rakyat Terbebani Pajak, Ekonomi Negara Tidak Sehat

MutiaraUmat.com -- Menanggapi akan ada kenaikan PPN menjadi 12 persen, Direktur Pamong Institute Drs. Wahyudi Al Maroky mengatakan, jika rakyat terbebani kena pajak, merupakan ekonomi yang tidak sehat. 

"Kita terbebani kena pajak. Ini ekonomi yang tidak sehat, negara yang seperti ini tidak sehat di mana beban, semua dibebankan kepada rakyat," ungkapnya video berjudul Gawat, Pajak Makin Mencekik. PPN 11% Mau Naik 12% di kanal YouTube Bincang Bersama Sahabat Wahyu, Juma’at (2/2/2024). 

Wahyudi menambahkan, semestinya negara yang pemerintahan yang baik adalah sedikit membebani rakyat dan banyak melayani rakyat. "Filosofinya kan gitu, kalau orang baik kan dia sedikit membebani orang, sedikit merepotkan orang tetapi melayani," ungkapnya. 

Dia mengatakan, Pemerintah hari ini terpapar model pemerintahan yang sekular, terpapar juga budaya kolonial, sehingga melanjutkan model-model pemerintahan Eropa, Amerika yang tidak ada solusi lain kecuali karakter menjajah dan karakter menarik pajak dari daerah-daerah jajahannya. 

"Celakanya pemerintahan hari ini juga melanjutkan itu ketika penjajah-penjajah keluar dari Indonesia, negeri ini dilanjutkan dengan cara pengelolaan yang sama dengan pengelolaan di negara-negara penjajah tadi yang memiliki karakteristik untuk menarik setoran, menarik pajak ini yang bahkan makin hari bukan makin rendah makin tinggi tarifnya dan itu sangat membebani masyarakat yang semestinya ekonominya bisa berputar dengan harga yang lebih murah justru dengan pajak itu akan menambah komponen baru yang membuat bisa lebih mahal lagi," paparnya. 

Wahyudi menambahkan, Menteri Keuangan Bu Sri Mulyani yang menganggap PPN 12 persen masih wajar itu karena cara pandangnya mengambil standar negara-negara penjajah. 

"Cara pandangnya mengambilnya standar negara-negara penjajah, negara-negara kolonialis dan negara-negara yang sudah maju secara kesejahteraannya jadi kalau negara yang kehidupan rakyatnya itu sudah sangat tinggi, maju, ekonominya bagus mungkin kalau dipajak besar mungkin tidak kerasa," urainya. 

Sehingga, kata Wahyudi  kalau pendapatanya Sri Mulyani menganggap PPN 12 persen wajar, itu karena cara pandang sekular. Sehingga cara berpikirnya memang pajak, tidak pernah berpikir bagaimana mengelola kekayaan ini sebagaimana cara pandang Islam bagaimana kekayaan alam harus menjadi milik rakyat atau milik umat yang menjadi hak umat dan harusnya dikelola negara diserahkan kepada individu maupun Perusahaan apalagi perusahaan asing. 

"Jadi kalau kita lihat hampir kekayaan alam inikan dikuasi oleh perusahaan-perusahaan individu satau bahkan perusahaan-perusahaan asing sehingga rakyat tidak mendapatkan apa-apa, kita bayangkan saja kalau Freeport dikelola oleh negara tidak dikelola perusahaan asing keuntungannya seharusnya menjadi keuntungan rakyat Indonesia atau rakyat Papua," ungkapnya. 

Dia mengatakan jika Freeport ataupun Newmont Minahasa kalau bisa dikelola negara jauh lebih menguntungkan, namun cara pandang itulah yang menjadi persoalan. 

"Ketika cara pandang adalah cara pandang kapitalis maka kita mencontoh negara-negara kapitalis sekular yang ada saat ini dan kebetulan mereka negara-negara maju sehingga kalau negara maju ditarik pajak berapapun tidak ada masalah," paparnya. 

Lebih lanjut Wahyudi mencontohkan, Kalau para buruh yang UMR dengan gaji yang untuk pola hidup minimal pas-pasan atau bahkan masih minim dan masih kurang kalau dipajaki dengan lebih besar membandingkan dengan negara-negara yang sudah maju itu tidak apple to apple. 

"Cara pandang itulah yang bermasalah, karena cara pandangnya sekuler, kemudian kuliahnya dengan negara-negara lain. Harusnya kalau dia melihat itu diukur dulu iya betul di New Zealand 15 persen tetapi pendapatan per kapitanya berapa? Jangan dibandingkan dengan Indonesia, Indonesia mungkin perbandingannya sesame dengan negara-negara yang pendapatannya tidak terlalu jauh itu pun kita masih tertinggal," pungkasnya. [] Alfia Purwanti

0 Komentar