Rabu, 14 Pebruari 2024: Inikah Hari Pembangkangan Sipil (Civil Disobidience) Akibat Distrust, Diskriminasi dan Authoritarianism dalam Penyelenggaraan Negara?


MutiaraUmat.com -- Indonesia ialah negara hukum. Demikian deklarasi Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Maka, sebenarnya tujuan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 pun mesti harus diwujudkan melalui hukum. Sebagaimana dikonsepsikan oleh Gustav Radbruch, hukum punya 3 nilai dasar sekaligus menjadi dasar keberlakuannya. Ketiga nilai dasar itu disebut dengan Triadism. Triadisme itu adalah:
1. Secara filosofis: nilai keadilan (justice)
2. Secara yuridis: nilai kepastian (certainty)
3. Secara sosiologis: nilai expediency (kebaikan, kebijaksanaan (wisdom, kemanfaatan (utility) dll). 

Pertanyaannya adalah: Apakah hukum kita sudah adil, pasti dan manfaat khususnya terhadap kesejahteraan sosial atau social welfare yang oleh Brian Z. Tamanaha disebut sebagai "the thickest rol"? 

Ketika tiga nilai dasar hukum tersebut belum dapat diwujudkan, misalnya adanya fakta: disktiminatif (non equality before the law)---the unjust law is not law--lex injusta non est lex, hukum yang "ngaret", ketimpangan, kesengsaraan, kemiskinan, ketidakbebasan, opresi, persekusi dll, maka sangat berpotensi terjadinya distrust rakyat. 

Adanya "Lack" pada ketiga nilai dasar tersebut dapat menggerus modal social trust sehingga menjadi distrust. Distrust akan menjadi trigger munculnya sikap disobidience. Pada akhir kekuasaan Jokowi periode satu, tepatnya pada bulan Mei 2019 di Indonesia sempat muncul issue untuk melakukan people power untuk merevolusi kondisi negeri Indonesia. Namun, diyakini "cost"-nya terlalu mahal sehingga tidak terjadi oleh karena pemerintah juga melarangnya dengan penjagaan yang sangat ketat. Secara teoretik sebenarnya ada cara lain untuk memprotes kebijakan suatu tata pemerintahan yakni dengan melakukan civil disobidience. Civil disobidience bisa jadi dapat mengganti peran people power yang "cost"-nya lebih kecil dari pada people power. Sebagai sebuah teori tentu sifatnya sangat umum dan bagaimana praktik di lapangan tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, in context. 

Selain distrust, civil disobidience juga dapat disebabkan oleh karena authoritarianism. Penggunaan dan pengutamaan pendekatan kekuasaan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dan akhirnya authoritarianism ini dapat menyebabkan timbulnya democracies will die. 

Dalam bukunya How Democracies Die (2018), Levitsky dan Ziblatt menyatakan bahwa "Donald Trump’s presidency has raised a question that many of us never thought we’d be asking: Is our democracy in danger? Harvard professors Steven Levitsky and Daniel Ziblatt have spent more than twenty years studying the breakdown of democracies in Europe and Latin America, and they believe the answer is yes." Authoritarianism is the one factor that cause how democracies die? 

Apa pun bentuknya, dapat diprediksikan bahwa distrust, dan authoritarianism apalagi ditambah dengan inequality before the law dalam penegakan hukum dapat memicu terjadinya civil disobidience. Bila negara tidak ingin ada disobidience maka pemerintah harus berbuat adil kepada rakyat, melindungi rakyat, mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Trust, bukan sekedar angka hasil survei tapi ini persoalan legitimasi dari rakyat. 

Mungkinkah tindakan penegakan hukum pada periode kedua rezim Jokowi terkait dengan penanganan kerumunan gate, harisy gate, baliho gate, makar gate, harun masiku gate, jiwasraya gate, asabri gate, maher gate, papua gate, KM 50 gate, sambo gate, kanjuruhan gate, narkoba gate, judi online gate, ijazah palsu gate, rafael gate, MK gate, kampanye presiden gate, KPK gate dapat memicu distrust rakyat kepada rezim  penguasa sekaligus menunjukkan bahwa rezim legislator, yudikator hingga eksekutor telah bersikap diskriminatif, in equality before the law dan otoritarianisme? 

Jika iya, maka potensi terjadinya pembangkangan sipil (civil disobidience) sebagaimana pernah dinyatakan oleh pakar HTN UGM, Arifin Mochtar sangat mungkin terjadi. Dan itu berarti dapat dimaknai akan terjadi "soft people power". Sebenarnya, kita sangat berharap, Indonesia akan "baek-baek saja" dan tidak muncul civil disobidience. Kunci utamanya adalah berbuat adil, jujur, tidak diskriminatif, tidak otoriter di negara demokrasi ini. Menjadi negara benevolen yang sanggup menyejahterakan rakyat akan menepis gejolak rakyat, apa pun bentuknya. Namun, jika sebaliknya yang terjadi di negeri ini sekarang, siapa yang mampu menggagalkan civil disobidience tersebut. Apa pun harus diakui bahwa rakyatlah sebenarnya penentu reward bagi penguasa yang dulu pernah diberikan mandat olehnya. Jika khianat, maka penguasa harus siap pula menanggung hukuman dari rakyat cerdas dan waras untuk tidak memilih rezim dan kroninya kembali untuk memegang tampuk pemerintahan.

Lalu, terkait dengan pemilu legislatif-DPD dan Pemilu Presiden civil disobidience akan dapat diwujudkan dalam bentuk apa? Rakyat sipil dapat melakukan pembangkangan sipil dalam bentuk tidak memilih atau mencoblos paslon yang berkontestasi dalam pilpres yang mencerminkan karakter rezim yang represif, diskrikiminatif, otoritarianisme, menggunakan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan, dan membunuh demokrasi itu sendiri. Tidak memilihnya adalah sebagai bentuk langkah perlawanan sosial yang dapat dilakukan oleh rakyat yang lemah dan termarjinalkan. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan Indonesia sebagai negara hukum demokratis dari arah sesat menuju jurang negara kekuasaan yang otoriter pembunuh demokrasi. 

Pembangkangan sipil juga disebut sebagai pembangkangan ala petani di zaman kolonial Belanda dulu. Anda mungkin pernah ingat gerakan perlawanan massal yang dilakukan oleh masyarakat Samin Blora yang dipimpin oleh Surosentiko. Masyarakat menolak pajak dengan caranya sendiri. Aksi sedulur Sikep ini dikenal sebagai cikal bakal dari perlawanan tanpa kekerasan yang dapat membuat kalang kabut penjajah Belanda pada tahun 1900 an. Inginkah Anda menentukan koordinat diri Anda pada hari pencoblosan kertas suara pileg-DPD dan Pilpres khususnya? Pilih mana, Anda mau menjadi pejuang atau pecundang kebenaran dan keadilan? 
 
Tabik...! []

Semarang, Rabu: 31 Januari 2024


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

0 Komentar