Pesta Demokrasi Mengakibatkan Gangguan Jiwa Caleg yang Gagal Terpilih

MutiaraUmat.com -- Sejumlah RS dan RSJ telah bersiap menangani caleg depresi akibat gagal terpilih. Persiapan dilakukan sebagai antisipasi berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya. 

Pemerintah Kota Jakarta Pusat (Pemkot Jakpus) telah menyampaikan pihaknya menyediakan fasilitas dan layanan kesehatan jiwa di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan rumah sakit (RS) bagi peserta Pemilu 2024 yang gagal terpilih. Langkah ini sebagai antisipasi jika ada caleg mengalami gangguan kejiwaan. (detik.com, 26 January 2024) 

Irfan Agusta, Wadir Pelayanan RSUD Oto Iskandar Dinata mengatakan, "Kita sebenarnya sudah memiliki dokter spesialis penyakit jiwa, jadi untuk kegiatan pasien-pasien yang kasus ringan itu bisa dilakukan dengan rawat jalan. Rencananya ada 10 ruangan VIP untuk persiapan Pemilu. (kompas.tv, 24 January 2023)

Fenomena ini membuktikan bahwa pemilu dalam sistem demokrasi rawan mengakibatkan gangguan mental. Beberapa penyebab terjadinya gangguan mental pada caleg yang gagal terpilih diantaranya adalah yang pertama, pemilu dalam sistem demokrasi berbiaya mahal. Biaya di gunakan untuk berbagai macam keperluan kampanye, seperti membuat umbul-umbul, kaos, baliho, iklan, membiayai tem sukses, membayar saksi, biaya mengumpulkan masa, dan bantuan sosial, akomodasi seperti transportasi, penginapan dan makan. Belum lagi biaya "serangan fajar".

Biaya yang selangit tersebut kebanyakan mereka dapat dari berhutang atau mencari sponsor. Jika para caleg gagal tetap harus mengembalikan pinjaman tersebut. Maka, harta benda meraka akan terkuras untuk melunasi hutang. Alhasil mereka kena gangguan mental.

Kedua, mayoritas caleg bertujuan kekuasaan dan materi. Sistem demokrasi yang berasas sekuler-kapitalis akan mencetak para caleg yang tidak paham agama. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk memenangkan pemilu dan tidak perduli halal-haram. Jika pun ada kandidat yang jujur hanyalah sedikit dan pasti akan tersingkir.

Saat ini jabatan menjadi impian besar mereka karena di anggap dapat menaikkan harga diri, juga jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan atau fasilitas hidup. Sehingga wajar jika para caleg lemah iman menjadi depresi saat kalah, sebab mereka tidak paham tujuan hidupnya.

Ketiga, melihat kepemimpinan dari hasil pemilu-pemilu sebelumnya, bahwa pemenang membuat kebijakan tidak akan memihak pada rakyat, suara rakyat tidak akan dihiraukan lagi. Pesta demokrasi hanyalah sarana untuk mengokohkan kekuasaan oligarki. Slogan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanyalah ilusi. Seolah rakyat ikut serta dalam menentukan penguasa namun sebenarnya pemenang sudah di atur sedemikian rupa yaitu mereka yang tunduk pada pemilik modal. Inilah yang menyebabkan caleg tak terpilih menjadi depresi. Mereka dicurangi, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. 

Berbeda halnya dengan sistem Islam yang memandang kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT dan harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Jika tidak, akan merugikan diri sendiri dan seluruh rakyat.

Para kandidat dalam sistem Islam adalah mereka yang taat kepada Allah Taala dan paham tujuan kepemimpinannya untuk meraih ridha Allah Taala dan mereka bekerja untuk kemaslahatan rakyat. Maka, kandidat yang memiliki iman yang kuat jika ia kalah tidak akan mengalami gangguan mental karena paham bahwa menang dan kalah adalah ketentuan Allah taala yang harus di syukuri. Lagi pula kontestasi dalam sistem Islam tidak berbiaya mahal apalagi menguras harta. 

Maka, masihkah kita tetap bertahan pada sistem kufur? Atau beralih ke sistem Islam yang diridhai Allah taala?

Oleh: Puput Weni R
Aktivis Muslimah 

0 Komentar