Pemilu Tidak Dirancang untuk Melakukan Perubahan ke Arah yang Lebih Baik


MutiaraUmat.com -- Direktur Pamong Institute Drs. Wahyudi Al Maroky, M.Si., mengatakan, pemilu dalam demokrasi tidak dirancang untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. 

"Pemilu hari ini tidak dirancang untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, tetapi justru pemilu hari ini dirancang untuk melanjutkan politik dinasti," ungkapnya dalam Fokus; Pemilu, Nasib Umat Makin Pilu? Di kanal YouTube UIY Official, Ahad (11/2/2023). 

Wahyudi mngatakan, pemilu hari ini hanyalah akan melanjutkan kebijakan rezim yang ada atau melanjutkan sistem politik yang sudah ada. Jadi, kalau diharapkan ada perubahan, maka itu jelas jauh dari yang kita harapkan. Kalau masyarakat berharap perubahan yang mendasar atau menuju kepada masyarakat yang jauh lebih baik lalu mengharapkan pemilu 2024, maka itu  suatu harapan yang sia-sia. 

"Karena pemilu 2024 tidak dirancang untuk membuat perubahan masyarakat menjadi lebih baik, yang ada dirancang untuk melanjutkan keadaan yang ada dengan berbagai cara, berbagai intrik. Mereka menggunakan berbagai cara untuk meloloskan orang-orang yang mereka anggap bisa melanjutkan kekuasaan yang dimiliki, dan itu merupakan tabiat yang wajar di kalangan politis sekuler dan dalam politik sekuler," paparnya. 

Kemudian, Wahyudi menambahkan, adagium yang sangat terkenal bagaimana mendapatkan kekuasaan, kemudian setelah kekuasaan didapatkan, bagaimana mengelola kekuasaan itu, kemudian dipertahankan dan bahkan kemudian setelah dipertahankan dia tingkatkan lebih besar kekuasaanya atau kalau sudah tidak bisa diperbesar, diperpanjang. 

"Sehingga, kalau hari ini kita lihat pemilu 2024 memang Pak Jokowi sebagai kepala negara dan pemerintahan yang sebagai puncak struktur politik, peluang yang bisa dilakukan memperpanjang dengan mencari orang yang mau melanjutkan kekuasaan yang mirip dia lakukan. Atau minimal melanjutkan apa-apa yang sudah menjadi kebijakannya. Itulah kenapa akhirnya kita mendapatkan orang akhirnya melihat dicalonkannya anak presiden itu tidak lain dan sulit dihindari dari penilaian bahwa untuk melanjutkan dinasti politik atau melanjutkan kekuasaan Pak Jokowi entah pasangannya," terangnya. 

Posisi Umat Islam 

Ia menjelaskan bahwa pemilu memang dirancang untuk melakukan perubahan, melakukan suksesi kepemimpinan, jadi yang dilibatkan aktornya. Sehingga bukan melakukan perubahan. Selain dari itu, kebetulan aktor itu terlahir dalam sistem demokrasi sekuler membutuhkan dukungan suara untuk menjadi legitimasi bahwa dia sudah dipilih rakyat. 

"Maka dia membutuhkan sejumlah suara dan kenyataannya jumlah suara di negeri ini mayoritas umat Islam, dan umat Islam kalau di negeri ini ada 86 persen. Jadi partai apa pun, politikus siapa pun, dia kalau ingin memenangkan pertarungan dia mau tidak mau mengambil suara umat Islam harus setidaknya memperebutkan umat Islam, karena tidak mungkin memperebutkan suara yang lain, suara yang lain sangat minoritas," tegasnya.

Menurutnya, posisi umat Islam yang banyak menjadi sangat seksi bagi para pemburu kekuasaan yang disyaratkan memerlukan dukungan suara publik. Itulah, akibat menggunakan sistem demokrasi, suka tidak suka, suara rakyat dihitung per kepala dan itu jadi syarat untuk dinyatakan menang. Siapa yang menang, siapa yang kalah hitungannya jumlah kepala yang memilihnya itulah yang akhirnya umat Islam karena jumlahnya mayoritas.

"Suka tidak suka menjadi ajang rebutan siapa yang mau maju, entah siapa pun dia, mau enggak mau, dia akan mendatangi umat Islam untuk meraih suaranya atau meraih dukungannya, itu yang terjadi selama ini karena posisinya yang mayoritas itu," sambungnya. 

Ia menyayangkan, yang terjadi setelah suara didapat, dapat legitimasi dan duduk di kekuasaan, suara umat Islam tidak didengar lagi. Jadi hanya untuk mengantarkan pada posisi kursi kekuasaan. 

"Itulah posisi umat Islam hari ini di dalam sistem demokrasi yang sekuler dan liberal. Rezim yang hari ini fobia terhadap Islam, bahkan tidak sekadar fobia sampai kepada anti terhadap Islam. Jadi kalau melihat nasib rakyat pasca pemilu 2024 setidaknya kita bisa melihat memang ada perubahan tetapi yang berubah orang yang memimpinnya, sedangkan kepemimpinan dan kepentingannya tidak berubah kecuali dilanjutkan yang ada dan tentu nasib rakyat tidak beda jauh dengan rezim sebelumnya atau mungkin lebih parah," ungkapnya. 

"Kalau kita bicara kualifikasi atau pun kafaah dari pemimpin calon-calon yang ada, kita hopeless melihat bagaimana bisa jadi yang lebih baik dengan kondisi kualitas seperti itu jadi menggelisahkan banyak pihak," pungkasnya. [] Alfia Purwanti

0 Komentar