MutiaraUmat.com -- Hanya dalam hitungan hari ke depan hajatan akbar pemilu di negeri ini akan digelar. Tanggal 14 Februari 2024 ditetapkan sebagai waktu serentak pelaksanaan pemungutan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Fantastis, kenaikan dana pemilu di tahun ini diperkirakan mencapai 309% dari pemilu sebelumnya. Anggaran yang membengkak ini tidak sejalan dengan tujuan pemilu serentak yang konon demi menekan biaya. Apa gunanya pemilu dan pilkada serentak di tahun yang sama jika anggarannya justru membengkak dan membebani negara?
Pemilu Demokrasi Boros Anggaran dan Rawan Pertarungan Kepentingan
Penyelenggaraan Pemilu serentak 2024 membutuhkan anggaran total hingga Rp110,4 triliun, dengan alokasi dana untuk KPU Rp76,6 triliun dan Bawaslu Rp33,8 triliun (CNBC Indonesia, 10/4/2022). Biaya pemilu sebesar ini tentu sangat rawan terjadi penyalahgunaan anggaran.
Pemilu langsung juga rawan menjadi ajang adu kuat modal politik. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana dari luar negeri sebesar 195 Milyar ke 21 rekening bendahara partai politik sepanjang 2022-2023 (CNBCIndonesia.com). PPATK juga menerima laporan dari International Fund Transfer Intruction (IFTI) yang menyebutkan bahwa diantara penerima aliran dana asing tersebut terdapat 100 orang dalam daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu. Hal ini diperkuat dengan temuan PPATK terkait adanya tren peningkatan pembukaan rekening baru menjelang pemilu 2024. Tercatat ada 704 juta pembukaan rekening baru selama proses menjelang pemilu 2024 (Liputan6.com).
Aliran dana pemilu dari berbagai pihak termasuk asing ini menunjukkan bahwa kontestasi pemilu berpotensi sarat kepentingan dan intervensi asing. Hal ini berimbas pada tergadaikannya kedaulatan Negara. Artinya, siapapun pemimpin yang terpilih, oligarkilah pemenangnya dan menjadi pihak yang akan mengendalikan penguasa terpilih.
Pemilu dalam sistem demokrasi diklaim sebagai metode baku pergantian kepemimpinan dan wakil rakyat. Pemilihan ini dipandang adil karena seluruh rakyat dilibatkan secara langsung untuk memilih wakilnya di DPR. Namun kenyataannya, praktik pemilu hanya dijadikan sebagai alat industri bisnis oligarki yang dipenuhi transaksi kepentingan, mengejar kekuasaan dan mewujudkan perwakilan oligarki bukan perwakilan rakyat. Oligarki sangat bernafsu kepada eksekutif dan legislatif, sebab dalam demokrasi pihak manapun yang mampu menguasai penguasa dan wakil rakyat akan dengan mudah menumpuk kekayaan. Pihak manapun yang memiliki modal besar pasti memiliki peluang terbesar untuk memenangkan pesta demokrasi ini. Mirisnya, pemilu yang menyedot dana fantastis itu tidak berbanding lurus dengan pemerintahan yang dihasilkan. Penguasa yang terpilih jauh dari keberhasilan menuntaskan masalah rakyat, apalagi hendak mewujudkan rahmatan lil alamin.
Pemilu dalam Islam Murah dan Melahirkan Pemimpin Amanah
Dalam Islam, pemilihan pemimpin efektif sekaligus mampu menjaring sosok pemimpin yang kapabel dan taat syariah. Hal ini karena Islam memposisikan kepemimpinan sebagai amanah. Beratnya amanah menjadikan pemimpin dalam islam tidak akan berani bertindak sesuka hati. Dia akan selalu bersandar pada aturan ilahi dalam memimpin umat karena takut dengan pertanggungjawaban kepada Allah kelak.
Islam menetapkan metode baku dalam pengangkatan kepala negara adalah dengan baiat syar’iy. Imam an Nawawi dalam kitabnya Nihayah Al Muhtaj ila Syarh al Minhaj berkata, “Akad imamah (Khilafah) sah dengan adanya baiat dari ahlul halli wal aqdi yang mudah untuk dikumpulkan.”
Calon pemimpin dalam islam akan dibaiat jika mendapatkan dukungan umat. Dukungan ini tidak harus berupa pemilu langsung yang menguras uang negara. Dukungan rakyat bisa diperoleh melalui metode perwakilan, yaitu rakyat memilih wakilnya lalu wakil umat ini yang akan memilih penguasa. Metode baiat ini bisa ditempuh dengan teknis penunjukan seperti terpilihnya Umar bin Khathtab menjadi kepala Negara. Bisa juga dengan teknis musyawarah oleh ahlul halli wal aqdi yang berjumlah 6 orang sebagaimana pengangkatan Utsman Bin Affan. Panitia kecil ini tentu lebih hemat biaya daripada pemilihan langsung. Meskipun hanya 6 orang, mereka adalah representasi suara rakyat karena merupakan tokoh masyarakat.
Islam menetapkan batas kekosongan kepemimpinan tidak lebih dari 3 hari. Dalilnya adalah ijma sahabat pada pembaiatan Abu Bakar ash Shiddiq yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah SAW, juga ketetapan Umar bin Khathtab yang membatasi waktu musyawarah ahlul halli wal aqdi adalah 3 hari.
Batas waktu 3 hari ini akan membatasi kampanye sehingga tidak perlu ada kampanye akbar yang akan menghabiskan uang dalam jumlah besar. Teknis pemilihan juga akan dibuat sesederhana mungkin hingga dalam waktu 3 hari itu pemilu sudah selesai.
Inilah yang menjadikan pemilu dalam islam berbiaya murah, anti money politic namun efektif menghasilkan pemimpin berkualitas, yaitu pemimpin yang menerapkan seluruh aturan Allah dan akan membawa rahmat bagi seluruh alam. []
Eki Irmaya Sari, S.Pd., M.T.
Aktivis Voice of Muslimah Papua Barat
0 Komentar