Pajak dalam Negara Khilafah Dilakukan Secara Insidental


MutiaraUmat.com -- Menanggapi wacana pemerintah yang akan menaikkan pajak hiburan, Mubaligah Ustazah Rif'ah Kholidah menegaskan bahwa dalam Islam, pajak diambil secara insidental dalam Islam Menjawab berjudul Pajak Hiburan, Apakah Ada dalam Islam? di kanal YouTube MuslimahMediaCenter, Ahad (21/1/2024).

Ia menjelaskan bahwa pemerintah akan menaikkan pajak hiburan sebesar 40 sampai 75 persen dari sebelumnya 15 sampai 25 persen. Kenaikkan ini mengacu pada pasal 58 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau Undang-undang HKBD.

"Kenaikan tarif tersebut mengundang protes sejumlah pengusaha yang bergerak di bidang pariwisata. Salah satunya adalah seorang artis berinisial ID yang memiliki karaoke. Ia terus bersuara menolak pemberlakuan kenaikan tarif yang baru dan akan bergerak untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MA). Sementara itu, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Lydia Kurniawati Christyana mengatakan bahwa kenaikan pajak hiburan 40 hingga 75 persen tersebut karena penikmat hiburan karaoke dan Spa berasal dari masyarakat kalangan tertentu, tidak dikonsumsi secara terbuka atau masyarakat kebanyakan," terangnya.

"Lalu bagaimana pengaturan pajak dalam Islam? Dan adakah pajak hiburan dalam Islam? Di dalam khazanah fiqih Islam, istilah pajak dikenal dengan sebutan dharibah. Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Al-Amwal fii Daulatul Khilafah halaman 123 menjelaskan bahwa dharibah atau pajak adalah harta yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada kaum Muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka pada kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal untuk membiayainya," jelasnya.

Ia menerangkan, di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) negara khilafah, negara mempunyai pemasukkan tetap atau rutin bagi Baitul Mal, di antaranya adalah anfal, fai, kharaj, ghanimah, usyur, khumus, harta para pegawai atau pejabat, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan harta orang yang murtad.

"Pendapatan tetap tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan yang diwajibkan oleh Baitul Mal yang berkaitan dengan ri'ayatu  syu'unil ummah dan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum Muslimin," ujarnya.

Namun katanya, jika pendapatan tetap Baitul Mal tersebut tidak cukup untuk menutupi pembiayaan wajib bagi Baitul Mal, baik yang berupa kebutuhan maupun pos pengeluaran yang lainnya yang harus dipenuhi, sementara sumbangan atau tabaruat dari kaum Muslimin juga tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan dan pos pengeluaran, maka pada saat itulah kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslimin untuk memenuhinya. 

"Sebab jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan menyebabkan terjadinya dharar," tegasnya.

Oleh karena itu katanya, dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada, maka seorang khalifah boleh menarik pajak yang bersifat insidental sampai kewajiban dan pos pembiayaan tersebut bisa dibiayai. 

"Maka dengan demikian, Allah SWT mewajibkan negara dan umat Islam untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa kaum Muslim tersebut," tandasnya []Nurmilati

0 Komentar