Oknum Ormas Islam Bubarkan Pengajian: Politik Belah Bambu Ancam Persatuan

MutiaraUmat.com -- Terindikasi radikal, dapat menimbulkan konflik, dan mengganggu keharmonisan masyarakat. Demikian alasan GP Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) membubarkan pengajian Ustaz Syafiq Riza Basalamah di Masjid Assalam Purimas, Gunung Anyar, Surabaya, Kamis (22/2)  (cnnindonesia.com, 23/2/2024).

Aksi bar-bar ini menambah deretan panjang pembubaran pengajian beberapa ustaz oleh GP Ansor dan Banser. Dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Ustaz Hanan Attaki ditolak karena sering dikaitkan dengan HTI, bermazhab wahabi, hingga antek-antek yang didanai Yahudi. Sementara Ustaz Khalid Basalamah dinilai sering bertentangan dengan Pancasila dan condong pada paham wahabi. 

Adapun Ustaz Firanda Andirja ditolak lantaran dinilai kerap mencederai keberagaman pemahaman umat Islam Indonesia. Ustaz Felix Siauw dibubarkan pengajiannya sebab ia anggota HTI yang menawarkan konsep khilafah dan menolak mengakui pancasila serta NKRI. Serta Ustaz Abdul Somad yang disebut-sebut ditunggangi agenda eks HTI yang sudah dibubarkan pemerintah  (tvonenews.com, 21/2/2023). 

Ironis! Pengajian dibubarkan. Dangdutan dibiarkan. Jaga gereja diutamakan. Inilah aktivitas mereka yang sering disorot publik. Pembubaran pengajian tersebut seolah diamini oleh aparat hingga berulang menyasar para ustaz yang mereka sebut radikal dan intoleran. Bila insiden ini terus terjadi maka ukhuwah islamiyah akan kian terkoyak. 

Politik Belah Bambu di Balik Aksi Pembubaran Pengajian oleh Oknum Ormas Islam

Miris. Menyaksikan berbagai pembubaran pengajian dan penolakan terhadap beberapa ustaz di beberapa daerah. Ironis. Segelintir oknum dari ormas tertentu yang mengklaim menjunjung tinggi nilai toleransi, Bhinneka Tunggal Ika, Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dan beberapa slogan manis lainnya, ternyata yang disampaikan hanyalah semu belaka.

Mereka membubarkan pengajian dengan alasan klasik yakni membahayakan kehidupan bernegara. Menolak ustaz tertentu berdalih penyampaiannya tidak menyejukkan dan berbagai tuduhan sepihak yang sangat tendensius serta tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Adanya politik adu domba di balik insiden pembubaran pengajian dan penolakan beberapa ustaz semakin menguat. Dalam beberapa kasus terdahulu, upaya mengadu domba antara NU dengan ormas Islam lain seperti HTI sangat terasa. Tampak dari reaksi beberapa warga NU yang dalam hal ini diwakili GP Ansor dan Banser di berbagai daerah untuk menghadang kegiatan HTI, pun ustaz-ustaz yang disebut sebagai anggota HTI atau terkaitnya.

Bila ditelisik, upaya adu domba ini ditengarai tidak bisa dilepaskan dari grand strategy negara-negara imperialis seperti AS untuk menghancurkan umat Islam dan kekuatannya. Mereka memanfaatkan LSM-LSM komprador sebagai pengkhianat bangsa yang menjadi kaki tangannya untuk memprovokasi konflik.

Grand strategy ini terlihat jelas dari rekomendasi Rand Corporation yang merupakan think-thank neo-conservative AS pendukung kebijakan Gedung Putih. Dalam rekomendasi Cheryl Benard dari Rand Corporation yang berjudul Civil democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies, terungkap upaya untuk memecah-belah umat Islam.

Langkah pertama dalam strategi pecah-belah kelompok Islam ialah melakukan klasifikasi terhadap umat Islam berdasarkan kecenderungan dan sikap politik mereka terhadap Barat dan nilai-nilai demokrasi. Pengklasifikasian kelompok Islam ini dibagi menjadi empat. 

Pertama, kelompok fundamentalis yakni menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat kontemporer. Mereka menginginkan sebuah negara otoriter puritan yang menerapkan hukum Islam. Dan bersedia memakai penemuan serta teknologi modern untuk mencapai tujuan.

Kedua, kelompok tradisionalis yakni ingin suatu masyarakat yang konservatif. Mereka mencurigai modernitas, inovasi, dan perubahan.

Ketiga, kelompok modernis yakni ingin dunia Islam menjadi bagian modernitas global. Mereka ingin memodernkan dan mereformasi Islam serta menyesuaikannya dengan zaman.

Keempat, kelompok sekularis yakni ingin dunia Islam dapat menerima pemisahan antara agama dan negara dengan cara seperti yang dilakukan negara-negara demokrasi industri Barat, dengan membatasi agama pada lingkup pribadi.

Setelah membagi-bagi umat Islam atas empat kelompok itu, langkah berikutnya yang direkomendasi Rand Corporation adalah politik belah bambu. Mendukung satu pihak dan menjatuhkan pihak lain, berikutnya membentrokkan antarkelompok tersebut. 

Langkah tersebut tampak jelas dari upaya membentrokkan antara NU yang dikenal tradisionalis dengan ormas-ormas Islam yang sering disebut oleh Barat sebagai fundamentalis seperti FPI dan HTI.

Hal ini dirancang sangat detil. Pertama, support the modernists first (mendukung kelompok modernis). Kedua, support the traditionalists against the fundamentalists (mendukung kaum tradisionalis dalam menentang kaum fundamentalis). 

Ketiga, confront and oppose the fundamentalists (mengkonfrontir dan menentang kaum fundamentalis). Keempat, secara selektif mendukung kaum sekuler, yaitu mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai suatu musuh bersama dan mematahkan aliansi.

Oleh karena itu, pembubaran pengajian yang sering dilakukan oleh ormas tertentu, bukan semata-mata atas dasar kebencian atau iri, namun diduga tak lepas dari politik adu domba (belah bambu) sebagai bagian dari grand strategy negara imperialis Barat demi menghancurkan umat Islam dan kekuatannya melalui LSM atau ormas komprador. Sayangnya mereka tidak menyadari hanya sebagai pion dalam politik 'nabok nyilih tangan' ini.

Dampak Aksi Pembubaran Pengajian oleh Oknum Ormas terhadap Syiar Islam

Nampaknya pecah belah ala Rand Corporation sedang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai provokator yang ingin menghancurkan umat Islam. Salah satunya yang terjadi di Indonesia saat ini. 

Padahal jika alasan pembubaran pengajian karena ustaznya radikal, memang apa definisinya? Menurut Akademisi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Dr. T. Lembong Misbah, indikator pendakwah terpapar organisasi terlarang atau radikal ini harus jelas. Karena tanpa indikator jelas, akan banyak orang yang terzalimi dan menjadi alat meredam suara-suara vokal  (dialeksis, 23/3/2021).

Dan realitasnya hingga kini, jenis kelamin radikalisme tidak jelas. Nomenklatur radikalisme bersifat lentur dan obscure (kabur). Nomenklaturnya condong kepada istilah politik dibandingkan sebagai istilah hukum. War on Radicalism terbukti memakan korban orang-orang baik dan kritis yang distempeli radikal. Merujuk pendapat peneliti Belanda Beren Schot, nomenklatur radikalisme yang digunakan pemerintah tidak tepat bila digunakan melabeli orang-orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.

Sehingga pembubaran pengajian ini dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi syiar Islam dan kaum Muslimin. Dampak buruknya antara lain: 

Pertama, membentuk opini bias di tengah masyarakat. Penyebutan HTI sebagai organisasi terlarang misalnya, menimbulkan bias di tengah masyarakat. Implikasinya sangat serius. Ketika dinyatakan terlarang, seolah-olah organisasi ini harus dimusuhi dan dimusnahkan. Persis penyikapan terhadap PKI. 

Padahal faktanya tidak demikian. Secara realitas, meski BHP HTI dicabut tapi tak ada satu aturan hukum pun yang menyebut sebagai organisasi terlarang. Selain itu, tidak ada keputusan hukum mana pun yang memuat larangan eks anggota HTI berdakwah dengan media apa pun. Pun jika eks anggota HTI melakukan kegiatan dakwah secara perorangan atau kelompok tanpa menggunakan organisasi, maka hal itu sah saja. Tidak ada yang dapat melarang kegiatan seperti itu.

Kedua, stigmatisasi terhadap pendakwah tertentu. Saat seorang pendakwah dilabeli sebagai radikal seolah-olah ia adalah pribadi yang keras, kasar, buruk. Bagaimana mungkin masyarakat mau menerima dan mengikuti nasihat sosok pendakwah yang dicitrakan seperti ini? Inilah pembunuhan karakter da'i. Sungguh upaya yang sangat keji.

Ketiga, pengkotak-kotakan pendakwah yang berpotensi adu domba keduanya. Di satu sisi, ada pendakwah yang dicap radikal. Di sisi lain, dihadirkan pendakwah berwajah lain sebagai pembandingnya yang dakwahnya diharapkan diterima masyarakat. 
Selanjutnya, memungkinkan terjadi pengkotak-kotakan antara pendakwah radikal versus moderat/tradisional. Yang layak berdakwah adalah dai moderat, selainnya merupakan dai radikal. 

Keempat, kegaduhan dan potensi konflik di tengah umat Islam. Pecah-belah dai juga berpotensi memunculkan konflik di antara kedua ‘kubu’ dai. Biasanya mereka memiliki jamaah/pengikut. Jika sampai terjadi konflik, maka akan meluas penyebarannya pada komunitas dan masyakarat. Hal ini tentu sangat merusak persatuan dan ukhuwah umat Islam.

Kelima, umat  Islam kian jauh dari pemahaman Islam kaffah. Pada faktanya, yang dicap organisasi terlarang adalah kelompok Muslim yang bersungguh-sungguh memperjuangkan dan mengajak umat pada penerapan Islam kaffah. Upaya membatasi dakwah mereka akan mengakibatkan kian jauhnya kaum Muslimin dari pemahaman Islam kaffah. 

Keenam, mengeksiskan rezim zalim dan sistem hidup sekularisme kapitalistik liberal. Jika pendakwah moderat yang notabene pro rezim lebih diberikan panggung, maka patut diduga konten yang disampaikan akan jauh dari kritik terhadap penguasa. 

Sementara realitasnya, penguasa tak optimal memenuhi hak rakyat dan tidak menjalankan aturan Allah dalam mengelola urusan rakyat. Selanjutnya, sistem sekuler nan zalim tetap eksis sebagai panduan rezim mengatur negara. Kezaliman terus berlangsung, Islam dan umatnya kian terpinggirkan.

Demikian dampak negatif dari pembubaran pengajian oleh oknum ormas Islam. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada pelaksanaan syiar Islam, namun juga kehidupan kaum Muslimin secara umum.

Strategi Menyelesaikan Perbedaan Pendapat Antarkelompok Islam agar Syiar Tetap Berlangsung

Ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia merupakan aset besar bagi perjuangan umat Islam di negeri ini. Masing-masing ormas Islam memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita tunjukkan kepada musuh-musuh Islam bahwa dengan bersatunya umat ini akan membuat mereka merintih ketakutan.

Bagaimana tidak? Muhammadiyah unggul dengan gerakan pendidikannya. Jamaah Tabligh telaten akan rihlahnya. FPI begitu berani dalam amar makruf nahi munkar. Salafi tekun dalam kajian-kajian ilmiahnya. HTI istiqamah memperjuangkan syariat Islam kaffah. Serta NU merawat zikir serta pesantren. Dengan segala potensi ini mestinya dioptimalkan demi memperjuangkan tegaknya agama Allah SWT. Bukan untuk berpecah-belah. 

Dengan demikian, penting untuk menggagas strategi menyelesaikan perbedaan pendapat antarkelompok Islam agar syiar tetap berlangsung, yaitu: 

Pertama, menjalin ukhuwah islamiyah lebih erat dan melakukan dialog. Dimulai dari para pengurus ormas Islam. Misal menggelar forum pertemuan untuk memusyawarahkan hal-hal yang mengganggu kerukunan antarkelompok Islam hingga mencapai titik temu. Pun mengadakan kegiatan bersama demi menyikapi kasus yang menimpa umat terkini. 

Kedua, mengedepankan persatuan dan tidak menonjolkan perbedaan. Harus mengingat umat Islam sebagai umat yang satu, menyembah Tuhan yang sama, mengikuti apa yang dibawa oleh Nabi yang sama, bersujud menghadap kiblat yang sama, merujuk kitab yang sama, meyakini agama yang sama. Lantas, mengapa mudah terpecah-belah? Harusnya berprinsip, "Apa pun harokahmu kau tetap saudaraku."

Ketiga, menyikapi perbedaan pendapat dengan bersikap sebagaimana Imam Syafi'i. Beliau mengatakan, "Pendapatku (bisa saja) benar, (namun) Berpotensi salah. Sementara pendapat orang lain (bisa saja) salah (namun) berpotensi benar." Sikap ini akan membuat seseorang meyakini pendapatnya tanpa merendahkan (pendapat) orang lain.

Keempat, menumbuhkan kesadaran akan musuh bersama (common enemy). Kesalahan menetapkan musuh akan menyebabkan kesalahan dalam bersikap terhadap musuh. Perlu penegasan bahwa musuh utama umat Islam adalah ideologi lawan yaitu kapitalisme sekuler berikut ide turunannya maupun sosialisme komunis. Bukan sesama umat Islam meski berbeda kelompok/organisasi.  

Kelima, menyadarkan keberadaan politik adu domba yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam demi menghancurkan persatuan kaum Muslimin. Dengan menunjukkan fakta dan data yang ada, misalnya dokumen Rand Corp berisi rekomendasi pecah-belah umat Islam dalam beberapa kelompok. 
 
Keenam, tabayyun. Bila ada kabar buruk atau dugaan terjadi sesuatu pada saudaranya di sebuah kelompok Islam, lakukan tabayyun. Tidak mudah terprovokasi,  langsung mengamini hingga men-judge dengan stempel negatif pada saudaranya yang berbeda kelompok tersebut. 

Ketujuh, jangan pernah berputus asa untuk bersatu. Bersatulah, insya Allah Dia akan menolong hamba-Nya. Ketika Allah telah menolong kita maka tidak akan ada yang bisa memecah-belah. Rapatkan barisan dan buat setan-setan itu menggigil kesakitan. 

Demikian beberapa strategi agar antarkelompok umat Islam tetap bersatu. Sehingga "Islam bersatu tak bisa dikalahkan," tidak hanya menjadi jargon kosong tanpa realitas. Berbeda itu pasti, tetapi Al-Qur'an melarang umat Islam berpecah-belah. Dengan bersatunya umat sebagaimana dalam sejarah keemasan kaum Muslimin maka umat akan jaya dan tak bisa dikalahkan oleh kaum kuffar. []


Pustaka

Hidayat, Tatang, Adu Domba Ala Rand Corporation di Garut, kumparan.com, 11 November 2017


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik Media)

0 Komentar