Monsterisasi Khilafah Masih Berlarut: Quo Vadis Umat Islam?

MutiaraUmat.com -- Kepemimpinan atau jabatan apa pun merupakan amanat. Jabatan bukanlah untuk mencapai kepentingan pribadi atau memperkaya diri dan keluarga. Bukan pula jenis pekerjaan untuk mendatangkan keuntungan bagi pemegangnya. Kepemimpinan apa pun akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak. Seperti dalam hadits, “Kullukum ra’in wa kullukum ‘an ra'iyyatihi…” Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban (HR. Imam Bukhari).

Pada faktanya, hari ini kita menyaksikan gambaran politik demokrasi yang penuh intrik, sikut-menyikut, jegal-menjegal hanya untuk dapat kursi kekuasaan selama lima tahun ke depan. Lawan bisa menjadi kawan, kawan bisa menjadi lawan. Sebut saja berbagai kecurangan selama pemilu capres 2024 ini seperti yang diwartakan; adanya pelanggaran netralitas pada ASN, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jabar, hingga saat ini tengah menangani 67 temuan dan laporan pelanggaran Pemilu 2024. 

Menurut Ketua Bawaslu Jabar Zacky Muhammad Zam Zam, dari 67 temuan tersebut sebanyak 20 kasus merupakan pelanggaran netralitas ASN. Yakni, terdiri dari 8 kasus netralitas ASN pemda kabupaten/kota, 8 kepala desa, dan 4 perangkat desa (Republika.com, 22 Januari 2024). 
Selain itu ada dana kampanye ilegal, PPATK menemukan transaksi mencurigakan dari 100 caleg dengan nilai total Rp51 triliun. Dana tersebut juga terkait aktivitas korporasi yang dimiliki para caleg. Bahkan, sejumlah nama caleg yang masuk dalam daftar calon tetap (DCT) juga diduga terkait dengan bisnis perjudian Rp3,1 triliun, kasus penambangan ilegal Rp1,2 triliun, kasus lingkungan hidup lainnya Rp264 miliar, kasus penggelapan Rp238 miliar, dan kasus narkotika Rp136 miliar (Kompas, 10 Januari 2024). Itu baru fakta kecil yang ditemukan dalam agenda lima tahunan ini.

Dari maraknya persoalan pemilu, sosial media tidak ubahnya ajang saling menyerang masing-masing pendukung. Mereka seolah lupa agenda setiap lima tahunan ini tak ubahnya pesta oligarki. Ibarat penumpang dalam mobil, solusi saat ini yang diganti hanyalah sang sopir, bukan mesin mobilnya yang sudah rusak.

Umat seolah lupa, yang dibutuhkan hari ini pemimpin yang dapat menolong umat Islam. Fakta Palestina yang kian hari kian memilukan, lebih dari 100 hari sejak peristiwa 7 Oktober 2023 silam. Tak lupa Rohingya yang justru mendapatkan fitnah tak henti-hentinya, padahal merekalah korban. Umat sakit, tapi tidak tahu penawarnya atau bahkan justru menolak untuk diobati. Dari berbagai pembubaran kajian, hingga mencabut badan hukum, umat Islam berhasil dibuat takut oleh khilafah, ajaran agamanya sendiri. Lantas, sudah yakinkah kita bahwa khilafah solusi satu-satunya untuk umat?

Khilafah Ajaran Islam, Khilafah Wajib Dilaksanakan

Khilafah merupakan ajaran Islam. Mendirikan khilafah wajib. Dalam istilah para fuqaha terdahulu, khilafah disebut juga dengan sejumlah istilah yang kurang lebih memiliki makna yang sama, yaitu imamah atau darul islam, atau imaratul mukminin (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 8/407; Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab,17/517).

Meskipun sudah jelas khilafah adalah ajaran Islam, masih banyak dari umat Islam saat ini menolak khilafah dengan berbagai alasan. Salah satu alasannya, mereka tidak meyakini bahwa umat Islam saat ini justru menyamakan antara agama Islam dan agama Kristen. Sama-sama dianggap agama spiritual belaka. Padahal Islam tidak hanya mengatur aspek spiritual semata, namun juga segala aspek kehidupan. Sedangkan dalam Kristen, agama hanya mengatur aspek spiritual dan terpisah dari mengatur urusan masyarakat dan negara. Itulah mengapa hari ini kita terbiasa dengan istilah secularism (sekuler). Yakni terpisahnya antara kehidupan spiritual dan bernegara, Adapun Islam tidak mengenal istilah sekuler. 

Maka dari itu sudah logis bahwa Islam memerlukan institusi negara agar umat Islam dapat mengamalkan ajarannya dengan menyeluruh (Kaffah). Seperti dalam firman Allah SWT pada QS. Al-Baqarah 208. Wajar pula Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang nabi dan rasul, tetapi juga sebagai kepala negara. 

Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, maka yang berakhir hanyalah masa kenabian. Sedangkan tugas dalam mengemban negara itu terus berlanjut. Pemerintahan Islam dilanjutkan oleh para khulafaur rasyidin yang dimulai oleh Abu Bakar As-Shiddiq dan diikuti oleh para khalifah selanjutnya, hingga khalifah terakhir Sultan Abdul Majid II, saat Khilafah Utsmaniyyah hancur pada tahun 1924 di Turki. Sistem pemerintah Islam yang dijalankan Abu Bakar itulah, yang melanjutkan sistem pemerintahan yang dicontohkan Rasulullah SAW, dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan istilah khilafah. 

Khilafah telah didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai ragam redaksi, namun pada intinya sama yaitu berkisar pada tiga substansi makna yaitu: Pertama, khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang menjadi pengganti atau penerus fungsi kepemimpinan Nabi SAW. Imam Mawardi misalnya berkata, “Imamah (khilafah) itu ditetapkan sebagai pengganti kenabian…” (Al-Mawardi, Al-Ahkamus al-Sulthaniyyah, hlm. 5). 

Kedua, khilafah menerapkan hukum-hukum syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah islam ke seluruh penjuru dunia (Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, 1983:226). Imam Al-Juwaini menyatakan, “Imamah (khilafah) adalah suatu kepemimpinan menyeluruh dan suatu pengaturan yang terkait dengan urusan khusus dan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia” (Al-Juwaini, Ghiyats Al Umam, hlm.15). 

Ketiga, khilafah merupakan sistem tunggal untuk seluruh umat Islam (kaffat al-ummah), yakni tak boleh ada lebih dari satu khilafah bagi seluruh umat Islam. Imam Al-Qalqasyandi berkata, “Imamah adalah kekuasaan umum atas seluruh umat Islam, pelaksanaan segala urusan umat, dan pengembanan segala tanggung jawabnya” (Al-Qalqasyandi, Ma’atsirul Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, 1/8). 

Dari tiga substansi makna itulah yang kemudian oleh Imam Taqiyyuddin An-Nabhani dihimpun menjadi sebuah definisi komprehensif untuk khilafah, “Khilafah adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah islam dan mengemban dakwah islam ke seluruh dunia.” (Taqiyyuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyyah Al-Islamiyyah, 2/12).

Hukum Melecehkan Kewajiban Khilafah
Dalam hal ini, Ustadz KH Shiddiq Al Jawi menjawab bahwa melecehkan wajibnya khilafah termasuk perbuatan yang disebut istikhfaaf bi al ahkam al syar’iyyah (penghinaan hukum-hukum syari’ah islam) (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 3/251). 

Hal ini telah disepakati oleh para fuqaha bahwa barangsiapa yang menghina hukum-hukum Syariah Islam, dalam kedudukannya sebagai hukum hukum syariah seperti melecehkan wajibnya shalat, zakat, haji, puasa Ramadhan, atau bahkan melecehkan sanksi-sanksi seperti hukum potong tangan bagi pencuri, hukum dera (cambuk) bagi pezina, dan sebagainya. Maka orang itu dihukumi telah kafir (murtad), yaitu sudah keluar dari agama Islam dan wajib dihukum mati jika tidak bertaubat kepada Allah SWT. 

Para fuqaha memberi catatan, perkataan yang dapat memurtadkan ada dua macam. Apakah dalam perkataannya itu bersifat pasti atau mengandung tafsir lain. Maka muslim yang melecehkan kewajiban khilafah dihukumi sesuai dengan fakta pengucapnya dan maksud perkataannya sebagai berikut: Pertama, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah mengetahui bahwa khilafah hukumnya wajib, dan ia sengaja dari perkataannya dengan pasti/tegas memiliki makna melecehkan, maka tidak ada keraguan bahwa ia telah dihukumi kafir.

Kedua, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah mengetahui bahwa khilafah hukumnya wajib, namun ia memiliki makna lain dari perkataannya, maka orang itu tak dihukumi kafir. Ketiga, Muslim yang melecehkan wajibnya khilafah tidak mengetahui bahwa khilafah hukumnya wajib, maka perkataannya tak dapat dihukumi telah kafir, baik perkataannya pasti/tegas atau memang memiliki makna lain. 

Poin kedua dan ketiga dikategorikan telah berdosa besar, hal ini paling tidak sudah menghina sesama Muslim yang memperjuangkan khilafah. Padahal menghina sesama muslim telah diharamkan Islam (QS. al-Hujurat: 11). Maka dari hal ini kita sebagai bagian dari memperjuangkan khilafah, tidak perlu lagi menghadapi keraguan tentang khilafah.

Wajib Usahakan Kembalinya Khilafah

Jika dalam ibadah, Islam mensyariatkan shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain, sementara dalam pengaturan keluarga, syariah menggariskan hukum seputar pernikahan, talak, rujuk, dan lain-lain. Maka dalam pemerintahan, Islam mengajarkan khilafah. Khilafah adalah ajaran Islam. Sama sebagaimana shalat, puasa, haji, pernikahan, dan lain-lain.

Khilafah wajib atas seluruh kaum Muslim. Seluruh ulama muktabar sepakat bahwa mengangkat seorang khalifah itu fardhu ‘ain. Hal ini banyak disebutkan di dalam banyak kitab. Di antaranya ada dalam kitab syarah muslim oleh imam al-Nawawi. Dengan tegas beliau berkata, “Wa ajma’u ‘ala annahu yajibu ‘ala al-muslimin nashb al-khalifah.” Artinya, mereka berijma’ atau bersepakat bahwa wajib atas kaum muslim mengangkat khalifah. 

Wajibnya khilafah merupakan perkara ijma’. Itu menunjukkan bahwa dalilnya sangat kuat dan terang sehingga tidak ada perbedaan atau ikhtilaf di antara mereka. Bahkan menurut para ulama, khilafah bukan sekedar fardhu, tetapi juga taj al-furudh, mahkota kewajiban. Maksudnya adalah bahwa kewajiban itu sangat penting karena banyak kewajiban lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada eksistensi khilafah. 

Jika khilafah tidak ada, maka akan menyebabkan banyak kewajiban terlantar dan tidak bisa dilaksanakan. Seperti halnya hukum tentang hudud dan jinayah, jihad beserta berbagai hukum yang berkaitan dengannya, penjagaan akidah, darah, dan wilayah kaum Muslimin, persatuan kaum Muslimin, dalam kepemimpinan, pengelolaan kekayaan umum, dan berbagai kewajiban hanya bisa ditegakkan secara sempurna dengan adanya khilafah. Oleh karena itu, Khilafah bukan hanya fardhu, tapi lebih dari itu, mahkota kewajiban.

Pada hari ini, kita melihat banyak umat Islam menolak dengan berbagai alasan, seperti di Indonesia, karena sudah ada kesepakatan sehingga umat Islam wajib terikat dengan kesepakatan tersebut. Hal ini karena menempatkan dalil tidak pada tempatnya. Ada beberapa dalil yang memang memerintahkan umat islam untuk terikat dengan kesepakatan yang mereka buat. Seperti sabda Nabi SAW, “Al-muslimun ‘ala syuruthihim”. Artinya, kaum Muslim wajib mematuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Namun perlu digarisbawahi, kesepakatan manusia hanya wajib dipatuhi manakala tidak menyalahi ketentuan syariah. Kalau sudah terlanjur, maka kesepakatan itu tidak sah. Dengan demikian, kesepakatan manusia harus tunduk kepada ketentuan syariah bukan sebaliknya. 

Maka kita sebagai umat Islam wajib untuk memperjuangkan kembali Khilafah. sebagaimana yang diterangkan imam al-Nawawi, yajibu ‘ala al-muslimin, wajib atas kaum Muslim. Dengan menjadikan dakwah Rasulullah SAW sebagai metode dalam mengusahakan kembalinya khilafah. Dalam Al-qur’an juga dijelaskan bahwa dakwah kepada jalan Allah SWT dilakukan dengan hikmah, Yaitu dengan hujjah yang kuat, terang, dan menghunjam. Selain itu juga dengan maw’azhah hasana, nasihat yang baik. Sehingga antara pemikiran dan mereka bertaut dan mau terikat dengan Islam. Adapun dengan debat (jiddal) itu perlu dilakukan dengan baik. Sebagaimana dakwah Rasulullah SAW yang tidak menggunakan kekerasan.[]

Oleh: Jihan
Mahasiswi FIB Universitas Indonesia

0 Komentar