Menulislah untuk Dakwah

MutiaraUmat.com -- Jika diberi pilihan antara pandai menulis atau tidak, mana yang akan kita pilih? Ya, pandai menulis lebih baik daripada tidak. Jika tidak pandai menulis, maka bahasa lisanlah yang akan kita andalkan dalam berkomunikasi. Padahal, komunikasi melalui tulisan sangatlah dibutuhkan dan memudahkan interaksi manusia dewasa ini, di manapun mereka bermukim baik di kota maupun desa.

Hampir di setiap jalan kita akan menemukan tulisan yang tertera di berbagai media berupa papan, kertas, kain, tembok serta bahan lainnya yang menerangkan nama jalan, nama toko, nomor rumah, iklan produk, kampanye hingga pesan-pesan yang ditujukan kepada pengguna jalan. Melalui tulisan-tulisan itu, para pengguna jalan bisa lebih mudah mendapatkan informasi tanpa harus berhenti sejenak untuk bertanya secara lisan.

Lebih dari itu, informasi dan pesan yang disampaikan melalui tulisan bisa menjangkau banyak orang, karena bisa menjangkau orang-orang yang tidak bertemu langsung dengan kita. Bahkan melalui tulisan, informasi dan pesan yang kita sampaikan dapat diterima berbagai generasi meskipun tubuh kita sudah hancur dimakan tanah.

Disamping itu, dengan menyusunnya melalui tulisan, pesan yang ingin disampaikan bisa lebih tertata dan semakin jelas bagi penerima pesan. Bahkan bahasa tulisan bisa lebih sopan dan lebih mudah diterima, tergantung kemampuan penulis dalam menyusun kata-katanya. 

Selain membantu komunikasi dengan orang lain, menulis juga bisa membantu kita dalam mengikat ilmu. Dengan menulis, kita akan berusaha mengingat kembali ilmu yang pernah diperoleh bahkan berusaha mengkajinya kembali agar tulisan kita minimal tidak menyimpang. Sangat banyak manfaat dari menulis, hingga membaca pun bergantung pada adanya tulisan, karena tidak ada yang bisa dibaca jika tidak ada yang ditulis. Menulis juga bisa membantu komunikasi secara lisan menjadi lebih baik.

Sadar akan pentingnya menulis membuat para guru serius mengajarkan kita menulis selain mengajarkan cara membaca. Awalnya sulit, namun lama kelamaan menulis menjadi mudah bahkan terasa nikmat. Mulai dari meniru tulisan yang menghasilkan gambar atau pun coretan, menuliskan kata-kata yang terdengar sehingga menjadi catatan, menuliskan ingatan sehingga tersusun sebuah cerita, sampai menuliskan pandangan terhadap fakta yang wujudnya menjadi tulisan opini. Sudah berapa banyak kertas yang kita coret? Sudah berapa lembar buku yang kita tulis dengan tulisan tangan? Sudah berapa banyak kata yang kita susun menjadi pesan singkat di handphone hingga komentar atau pun status di media sosial? Itu semua menunjukkan bahwa guru-guru kita telah berhasil mengajarkan kita menulis dan membuat kita menikmatinya sejak masih anak-anak.

Memang, membuat tulisan yang terbilang panjang dan sesuai dengan kaidah jurnalistik serta dituntut enak dibaca dan menggugah para pembaca tidaklah mudah. Namun dengan terus belajar, giat membaca dan menulis, terbuka menerima kritik dan saran, maka menulis akan kembali mudah.

Yang terpenting dalam aktivitas menulis bahkan seluruh amal perbuatan manusia adalah niat. Untuk apa kita menulis? Jika menulis hanya untuk mendapatkan kenikmatan dunia, seperti menarik pembeli, mendapatkan honor, memperbanyak followers, maka kenikmatannya hanya kita dapatkan di dunia saja. Bahayanya jika demi mendapatkan materi kita berani membuat tulisan yang melanggar Syariat Islam, seperti mengandung berita hoaks, menolak Syariat Islam, apalagi mengajak pembaca untuk melanggar syariat, maka justru akan menjerumuskan kita menuju siksa di akhirat.

Sebagai Muslim, sudah seharusnya niat kita menulis adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tulisan-tulisan yang kita buat selayaknya berisi ajakan agar manusia taat kepada Allah dan rasul-Nya dengan menerapkan seluruh Syariat Islam. Dengan begitu, ilmu yang diajarkan oleh guru-guru kita sehingga kita bisa membaca dan menulis akan lebih bermanfaat. Bahkan dengan menjadi penulis yang berdakwah melalui tulisan akan menjadikan kita meraih kedudukan tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an: 
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (TQS. Fussilat ayat 33). 

Tidak hanya itu, pahala jariyah yaitu pahala yang terus mengalir meskipun penulisnya telah wafat akan menanti. Sebab, jika tulisan kita sukses menginspirasi seseorang untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka pahala dari ketaatan orang tersebut akan mengalir juga kepada kita. Sebab ilmu yang bermanfaat termasuk amalan yang tidak putus pahalanya meskipun penyampai ilmu telah meninggal dunia. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

“Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang selalu mendoakannya,” (HR. Muslim). 

Apalagi jika tulisan kita bermuatan dakwah ideologis karena menyeru manusia melakukan perubahan terhadap sistem yang mereka jalani dalam kehidupan, dari sistem kehidupan hasil pemikiran manusia semata menuju sistem yang diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, maka tidak bisa dibayangkan besarnya pahala yang akan kita dapatkan saat cita-cita itu terwujud. Sebab dengan terwujudnya cita-cita itu maka dunia akan didominasi oleh orang-orang yang beramal saleh.

Karena itu, menulislah! Para guru sudah mengajarkan membaca dan menulis, selanjutnya tugas kita mengembangkannya untuk mendapatkan banyak kebaikan, dan tidak ada yang membawa kebaikan yang lebih besar dari tulisan yang mengajak manusia untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya secara totalitas dengan menerapkan Syariat Islam dalam seluruh sistem kehidupan. Jika kebaikan itu kita dapatkan, maka yakinlah pahalanya akan sampai juga pada guru-guru kita serta kedua orang tua kita. 

Oleh: Muhammad Syafi’i
Penulis Ideologis Sulawesi Tengah

0 Komentar