Menulislah Seperti Ulama


MutiaraUmat.com -- Aktivitas menulis memang tidak mudah bagi yang tidak terbiasa menulis. Namun, bagi yang terbiasa, menulis seperti minum atau makan. Mudah sekali. Namun, siapapun yang sudah terbiasa menulis, awalnya pasti mereka juga merasa kesulitan. Baik menemukan ide bahkan menuangkan ide tersebut dalam rangkaian kata-kata menjadi kalimat. Hingga mewujud dalam satu tulisan utuh yang dipahami memiliki gagasan tertentu. Artinya, semua itu berproses! Terbiasa menulis adalah proses bisa menulis.

Sebagai cara untuk menyemangati agar terbiasa menulis, maka penulis perlu memiliki motivasi yang dibangun oleh diri sendiri. Meski motivasi dari pihak eksternal juga penting dan sangat banyak, namun motivasi internal jauh lebih penting. Tidak mudah menyerah dan terus belajar. Bahkan harus terus dikuatkan hingga menulis benar-benar menjadi kebutuhan. 

Bagi pemula, ada beberapa motivasi menulis antara lain:

Pertama, menulis untuk memuaskan hati agar berbahagia. Logikanya begini, siapapun yang menghasilkan karya lalu diapresiasi dan diberikan penghormatan atas karya tersebut tentu akan membahagiakan pembuatnya. Bangga. 

Apapun karya itu. Film, cerpen, lukisan, foto, produk makanan-minuman, termasuk juga tulisan. Setiap orang yang dia menulis lalu tulisannya mendapatkan apresiasi ‘love’ (like-red), rasa bahagia itu pasti ada. Semakin banyak love, akan semakin bahagia. Apalagi jika ada komentar positif atas tulisan kita, bahagia bukan kepalang. 

Begitu juga saat tulisan kita dimuat di sebuah koran sekalipun di kolom pembaca. Bisa hingga tiga kali lebih tulisan itu dibaca ulang sendiri, dan pasti sambil tersenyum. Perasaaan bahagia dan bangga bercampur tak bisa dipisahkan. Nah, apalagi jika tulisan dimuat di kolom opini, tak terbayangkan rasanya seperti apa. 

Hanya saja, menulis dengan hanya motivasi seperti ini biasanya berhenti ketika respons pembaca berkurang, tidak memperoleh apresiasi, atau direspons negatif pembaca yang akhirnya memunculkan trauma takut menulis. Tentu hal ini tidak baik. Motivasi menulis hanya sekedar memperoleh kebanggaan, tidak akan langgeng. Motivasi yang hanya ada di saat kita mendapat timbal balik positif. 

Kedua, menulis untuk harta atau materi. Nah, tujuan menulis untuk memperoleh materi ini banyak dilakukan berbagai kalangan. Buktinya adalah di saat ada sayembara menulis dengan hadiah yang sangat menarik, biasanya peserta sayembara tersebut sangat banyak. Berbagai kalangan, tua maupun muda, laki-laki juga wanita akan turut serta. Bahkan, yang tidak biasa menulis pun memaksakan diri untuk menulis. Setidaknya mereka melakukan itu dengan alasan untung-untungan. Miris, setelah sayembara berakhir hilang sudah semangat menulis. Tidak ada lagi tujuan muntuk memperoleh materi yang kembali dilirik. Tak berbeda dengan seseorang ketika akan mendapatkan insentif dana dengan syarat memiliki tulisan, maka sebisa mungkin dia akan belajar menulis dan terus menulis. Saat insentid dana hilang, kebiasaan menulis pun terhenti.

Ketiga, menulis untuk tandamata atau cinderamata. Sebelum era digital melanda, maka yang menjadi kebiasan cerdik-pandai kala itu adalah dengan menulis. Tulisan itu sering menjadi tandamata bagi sosok yang dicintainya. Baik orangtuanya, suami/istrinya, serta sahabat karibnya. Semakin banyak menulis yang dikhususkan untuk orang tertentu, maka berarti ia telah membuat tandamata. Menjadi sejarah yang tak lekang waktu. 

Keempat, menulis untuk curah gagasan. Setiap orang memiliki gagasan yang terpikirkan ketika melihat persoalan. Gagasan akan muncul berdasar pada pengalaman, obrolan, dikusi, bacaan, masalah, atau pengalaman pribadi. Gagasan itu mengetengahkan solusi serta upaya berpikir. Dari sana maka gagasan terbangun. 

Tentu saja, gagasan tersebut tidak akan berarti apa-apa jika hanya ada di ruang kepala tidak dilempar ke khalayak. Namun, akan menjadi berarti luar biasa ketika dicurahkan secara lisan apalagi secara tulisan yang detail, rinci, dan jelas. Bahkan bisa berulang-ulang dibaca, dikaji, sekaligus menjadi solusi. Biasanya, orang yang mencurahkan gagasan melalui tulisan akan dipandang menjadi sosok yang berbeda. Sosok yang cerdas, berwibawa, berwawasan luas, dan pandangan aduhai lainnya.

Kelima, menulis seperti ulama untuk mendulang pahala. Ini mungkin alasan yang sangat luar biasa karena kacamata yang digunakan adalah berorientasi akhirat. Mengapa? Tulisan yang mampu memberikan ilmu, wawasan, dorongan untuk menjadi lebih baik, serta menggugah seseorang hingga memilih jalan yang benar, maka tanpa disadari berbuah pahala yang melimpah. Pahala adalah sumberdaya akhirat yang menjadi rebutan miliaran manusia di sana kelak. Agar kita memperoleh pahala gemilang, bertumpuk, bahkan tak terbatas, maka salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan menulis ilmu dan kebaikan. Menulis yang bisa menjadikan pembacanya meraih surga bersama. Itulah menulisnya para ulama. 

Sebagai ibroh, menulis yang dilakukan ulama bukan sembarang tulisan tanpa makna. Bukan juga tulisan yang hanya berlaku di masanya saja. Tulisan ulama seolah tak lekang waktu. Puluhan bahkan ratusan tahun lalu mereka menulis, maka di hari ini tulisannya masih memiliki hubungan yang erat. Masih update. 

Bagaimana ulama menulis? Ulama menulis dengan ilmunya. Ilmu yang dimiliki akan dituangkan dalam tulisan dengan aneka judul. Atau, bisa berjilid-jilid buku untuk mengupas satu keilmuan yang dimilikinya. Sebutlah Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar al Bantani (1230-1314 H/1815-1875 M). Ulama Banten yang menjadi guru bagi ulama lainnya dan hidupnya di Mekah. Selama hidupnya, sekitar 115 kitab ditulisnya meliputi tauhid, fiqih, tasawuf, tafsir, juga hadits. 

Juga ulama yang dikenal sebagai tokoh pergerakan politik Islam, Syaikh Taqiyuddin An Nabhaniy bin Ibrahim bin Mustafa bin Ismail bin Yusuf An-Nabhaniy (1909-1977 M), menulis puluhan kitab terkait tauhid, fiqh, siyasah, dan lain-lain. Tulisan di berbagai kitabnya tersebut mampu mempengaruhi pemikiran pembacanya bahkan kemudian mengemban gagasan yang dituangkan dalam beragam kitabnya itu. Seolah penulisnya berada di sekitar pembaca dan memahami apa yang ada di benak pembacanya. Subhanallah.

Demikian motivasi menulis seperti ulama ini. Diupayakan semaksimal mungkin bahwa tulisan yang diketengahkan kepada pembaca adalah penuh dengan ilmu, mampu menggugah, bahkan menjadi proses membangun kesadaran Islami. []


Dadan Ahmad Hudaya
Aktivis Dakwah Muslim

0 Komentar