Mengapa Selalu Ada Dugaan Kecurangan dalam Pemilu yang Diselenggarakan Sistem Demokrasi?


MutiaraUmat.com -- Sebenarnya demokrasi adalah sistem yang curang. Katanya demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tetapi faktanya, dari oligarki, oleh oligarki, dan untuk oligarki. Oligarki berupaya berkuasa tidak hanya dengan menghalalkan segala cara, tetapi dengan menabrak hukum dan etika yang mereka tetapkan sendiri. Boro-boro bicara soal halal-haram, aturan yang mereka tetapkan saja ditabrak apalagi halal-haram syariat Islam. 

Bahkan, tidak segan-segan demokrasi berubah menjadi tangan besi agar syahwat berkuasa bisa terwujud. Sekalipun ada penolakan-penolakan, ada narasi yang mengatakan demokrasi mati, demokrasi dipasung, dan sebagainya. Tetap saja wajah asli demokrasi adalah kecurangan itu sendiri. Demokrasi berkamuflase dengan narasi yang seolah-olah pro rakyat, faktanya demokrasi mengkhianati rakyat dengan berbagai perangkat dan fasilitas negara. 

Kongkalingkong dan politik dagang sapi dilakukan demi meraih kekuasaan. Tawaran uang, kedudukan, dan ancaman pun dijadikan pelicin supaya kepentingan mereka bisa diwujudkan. Inilah yang memangkas idealisme politisi. Banyak politisi-politisi yang dijebak dan dipenjara dengan tawaran kedudukan, uang, ataupun ancaman persekusi, kriminalisasi, dan sebagainya.

Ada beberapa catatan terkait dugaan kecurangan dalam pemilu yang diselenggarakan sistem demokrasi. Pertama, demokrasi itu tidak akan bisa menyerap aspirasi rakyat, karena yang diserap adalah aspirasi pemilik modal. Oleh karena itu, segala perangkat akan digunakan untuk mencurangi suara rakyat supaya aspirasi pemilik modal dapat direalisasikan. Walaupun berdarah-darah rakyat melakukan aksi dan penolakan, tetap saja yang diputuskan adalah aspirasi pemilik modal yang memuluskan kepentingan mereka. Aksi-aksi rakyat yang katanya sebagai ajang menyampaikan aspirasi mereka akan berhadapan dengan tangan besi demokrasi jika mereka tidak bisa dibungkam. 

Kedua, demokrasi menciptakan politisi yang haus akan kekuasaan, sehingga hal ini mendorong pemangku jabatan untuk mempertahankan kedudukannya dan tidak mau ada yang bisa menggeser kedudukannya dalam genggaman mereka. Sebelumnya ada wacana tiga periode yang digaungkan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo, tetapi itu terlalu sulit dan banyak aturan yang ditabrak. Ternyata tidak berhenti di situ, patut diduga terpilihnya Gibran sebagai cawapres 2024 adalah perpanjangan kepentingan Jokowi dalam menjalankan pesanan kepentingan yang belum sempat terwujud sebelumnya.

Ketiga, demokrasi menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jangan pernah berpikir korupsi bisa dihapus dari sistem demokrasi, karena demokrasi sendiri yang telah melahirkan itu semua dari rahimnya. Wajah asli demokrasi adalah kapitalisme, tidak ada jabatan yang murni diperoleh dengan jujur dan adil. Yang ada adalah praktik jual beli jabatan. Siapa yang bisa membayar dengan biaya yang tertinggi dialah yang akan menang. Di sinilah para politisi akan mencari modal dengan kongkalikong dengan pemilik modal, bahkan hari ini para pemilik modal itu pun ramai-ramai terjun ke politik supaya kepentingan mereka dalam menguasai kepentingan publik dapat terwujud. 

Inilah yang menyebabkan biaya politik demokrasi itu sangat mahal dan kecurangan selalu terjadi dalam sistem demokrasi, karena banyak nafsu-nafsu yang ingin berkuasa demi kepentingan golongannya bukan untuk melayani rakyat. Rakyat tuanku itu hanya omong kosong, justru yang menjadi tuan adalah pemilik modal. Jabatan adalah mandat pemilik modal supaya kepentingan mereka 'merampok' sumber daya alam dan menguasai proyek-proyek strategis negara dapat diwujudkan. Pemilu bukan ajang untuk memilih pemimpin untuk melayani rakyat, melainkan pemimpin yang akan mewujudkan tuntutan-tuntutan pemilik modal ataupun oligarki.[]

Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute 

0 Komentar