MutiaraUmat.com -- Adu klaim kebenaran sering terjadi di dunia tulis menulis. Perbedaan sudut pandang dan pemahaman merupakan pemicunya yang tak jarang melahirkan pertikaian dan saling serang, serta berlomba saling mengalahkan. Berargumentasi mempertahankan opini sendiri dan menggiring pikiran juga rasa kepada pembacanya agar tunduk dan mengemban ide kebenaran yang disampaikan lewat tulisan.
Dalam KBBI arti kebenaran adalah keadaan yang cocok dengan hal sesungguhnya, dan ini selaras dengan fithrah manusia yang cenderung pada kebenaran. Ulama besar alumni Al-Azhar Mesir, Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan bahwa kebenaran dinilai dengan nash Syar’i yang jadi sumber hukum Islam. Meliputi Al-Qur’an, As Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas Syar’iyyah. Dikatakan benar bila sesuai, dikatakan salah bila bertentangan. Beliau menegaskan bahwa menilai kebenaran bukan dari suara mayoritas, karna tak layak jadi standar menilai benar atau salahnya sesuatu.
Sistem sekuler yang diterapkan dalam kehidupan bernegara menjadikan rakyat di dalamnya memiliki ikatan rapuh berdasarkan manfaat, melahirkan aturan yang memihak pembuatnya, mewujudkan perasaan marah dan bencinya rakyat sesuai aturan itu. Sistem ini memiliki ciri yang nyata dalam bentuk dipisahkannya agama dari urusan kehidupan. Agama hanya diberi tempat pada urusan individu seputar ibadah mahdhah, perkawinan, talak, dan akhlak. Sedangkan urusan lain diatur berdasarkan aturan yang dilahirkan dan bersumber dari akal manusia.
Kebenaran dalam sistem sekuler ditentukan oleh sistem tersebut yang menempatkan suara mayoritas sebagai penentu benar dan salah sesuatu. Suara mayoritas yang dijadikan standar kebenaran, mengganggap wajar praktik politik uang dalam ajang pemilu dengan aneka dalih, pemberlakuan pajak sebagai sumber pendapatan dianggap benar karena banyak yang mampu dibiayainya, riba dianggap baik dan halal kalau memberi maslahat, utang luar negeri berbunga dianggap lumrah, korupsi, kolusi, nepotisme juga sah-sah saja asal tidak ada yang protes, menebar aurat di tempat umum, ikhtilat dan khalwat dianggap adat, LGBT diakui dan dibela, dan sekian fenomena kehidupan dianggap tak mengapa selama mayoritas membenarkannya. Sedangkan seringnya pembenaran itu dalam wujud mendiamkannya.
Standar benar menurut suara mayoritas juga diusung melalui tulisan. Baik dalam bentuk karya sastra seperti puisi dan novel, dalam bentuk opini, makalah, karya tulis dan lainnya. Perda syari’at digugat, sistem khilafah dan panji Rasulullah dimonsterisasi, niqab dan busana Muslimah diserang, vonis mabok agama bagi mereka yang ingin berislam secara benar, upaya peleburan dan pengaburan agama (islam) dalam bentuk moderasi beragama, merupakan sekelumit contoh tema tulisan yang diusung kubu ini.
Di sisi lain, internal umat Islam sendiri juga berpolemik lewat tulisan, menyerang pihak lain yang beda pandangan fiqih, bahkan vonis bid’ah terhadap bentuk amaliah khair tak jarang menjadi sebab timbulnya pertikaian. Hasil kajian maupun pandangan keagamaan terhadap topik tertentu, seperti menasihati penguasa di depan umum, larangan meng-ghibah penguasa, klaim wajib memilih pemimpin dalam sistem sekuler, juga disajikan dalam bentuk tulisan. Akibatnya, banyak pembaca terpengaruh dan bersikap sesuai dengan apa yang dibaca, karena dianggap benar.
Upaya mengkritisi dan menjelaskan ketidakmampuan sistem sekuler yang diadopsi saat ini seringkali direspons dengan tuduhan radikal dan berbahaya. Tulisan-tulisan yang mengkritisi dan memberi solusi tambal sulam tak jarang diakomodir sebagai sumber informasi pembaca, tetapi tulisan yang mengkritisi, menjelaskan persoalan, dan menawarkan solusi fundamental (seperti pergantian sistem) dianggap menimbulkan polemik dan memberi efek negatif bagi sebagian media masssa mayor.
Begitu intensnya arus informasi melalui media tulisan, begitu derasnya pengusung sistem sekuler memproduksi tulisan dan menyebarkannya, familiarnya masyarakat dengan media sosial, bahkan adanya media-media online Islami yang digagas penulis Muslim menjadi tantangan sekaligus peluang untuk menghadirkan tulisan-tulisan yang membawa pesan kebenaran sesuai fithrah manusia, sebagaimana dalam kitab Nidzamul Islam, An Nabhani menjelaskan bahwa fithrah manusia itu meliputi kepuasan akal dan ketentraman jiwa.
Maka dengan demikian, kini saatnyalah penulis Muslim memassifkan tulisan sesuai fithrah, mengambil bagian memenangkan Islam lewat media massa.
Oleh: Wahyudin Noor, S.P
Aktivis Muslim
0 Komentar