Kesenjangan Hidup si Miskin dan di Kaya Wajar dalam Kapitalisme


MutiaraUmat.com -- Sebuah fakta, dikutip dari Antara pada Kamis (15/2/2024), Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF Natalia Winder Rossi mengatakan bahwa secara global terdapat 333 juta anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 2,15 dolar AS (Rp33.565) per hari, dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi. 

Fakta lain dalam negeri, tahun lalu Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan dengan menggunakan basis perhitungan orang yang bisa disebut sebagai miskin ekstrem dengan perhitungan secara global, yakni US$ 2,15 PPP per hari, maka pemerintah harus mengentaskan 6,7 juta orang penduduk miskin hingga 2024, atau 3,35 juta orang per tahun (CNBCIndonesia.com, 5/6/2023). 

Kedua fakta di atas menunjukkan kemiskinan adalah masalah yang harus segera diatasi. Kemiskinan menciptakan kualitas hidup yang rendah. Keadaan ekonomi yang menurun menjadi desakan hidup yang keras bagi masyarakat guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Himpitan yang tiap hari semakin keras menjadikan umat hari ini jauh dari kata layak. 

Kemiskinan yang menjadi akar masalah tak terpenuhinya kesehatan, nutrisi, pendidikan, dan berbagai cabang kehidupan lain harus diselesaikan dengan solusi tuntas. Bantuan berjangka atau parsial yang menjadi andalan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan hanya akan memberikan efek yang sementara. Solusi yang dibutuhkan untuk mengentaskan masalah ini haruslah berupa solusi yang mengakar atau sistemik. 

Kemiskinan dalam sistem kapitalisme saat ini adalah hal yang lumrah. Bagaimana tidak, hal ini dikarenakan kebijakan atau keputusan yang diambil penguasa hanya berpihak pada si kaya. Mereka yang miskin dengan tuntutan hidup yang terus berjalan akan semakin merasa terpuruk. Kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan asasi, belum lagi harus hidup dalam bayang-bayang kelaparan, penyakit, pendidikan yang rendah, serta berbagai macam permasalahan hidup tak henti. Sedangkan si kaya akan semakin kaya. Mereka bebas memiliki dan menguasai apapun tanpa batas. Ketimpangan sosial adalah buah kesalahan sistem hari ini. Tanpa perubahan secara sistemik, tak akan ada perubahan nasib antara di miskin dan si kaya.

Dibandingkan dengan keadaan pada sistem islam, ketimpangan hidup antara si miskin dan si kaya tidak akan terjadi. Sistem yang baik menjamin penuh kehidupan rakyatnya hingga tak ada keluarga yang tak terpelihara dengan baik. Sistem tidak berat sebelah. Jaminan sosial, kesehatan, pendidikan, nutrisi atau bahan pangan tak akan sulit didapat ataupun diakses. Tak ada perbedaan fasilitas antara si miskin dan si kaya.

Negara dalam sistem Islam mengggunakan distribusi kekayaan yang terstruktur. Kekayaan milik individu, masyarakat, dan negara diatur sehingga tak bisa dimonopoli secara bebas oleh sejumlah golongan. Negara berperan sebagai pengatur yang terjun langsung menyelesaikan perkara umat, bukan sebagai fasilitator atau penonton saja. Negara tidak menciptakan undang-undang yang mempermudah golongan elit menguasai sumber daya alam. Namun, negara menjalankan seluruh peraturan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengatur negara. 

Dengan tata kelola negara yang baik, tidak kan ada rakyat yang kesusahan dalam pemenuhan hajat hidupnya. Negara menggunakan sistem yang sempurna, pemerintah yang adil dan bertanggung jawab, serta seluruh elemen masyarakat yang berakidah kuat menjadi alasan terciptanya kemaslahatan. Sebaliknya, sistem bathil dengan para penyelenggara yang asal-asalan hanya akan menghasilkan sengsara. Wallahu a'lam. []


Hima Dewi, S.Si.
Aktivis Muslimah

0 Komentar