Kebocoran Data, Negara tidak Becus Urus Warga

MutiaraUmat.com -- Dalam sistem pemerintahan demokrasi, hak asasi adalah hak mendasar yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Tentunya, hal tersebut harus dijaga oleh sistem dari negara yang berlandaskan demokrasi itu sendiri, tak terkecuali Indonesia. Negara demokrasi yang menggaungkan HAM sebagai hak paling mendasar bagi seluruh rakyatnya meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim. 

Hanya saja, banyak sekali undang-undang yang dilahirkan dari sistem ini justru menimbulkan masalah baru, salah satunya terkait privasi data warga negara. Contohnya, kebocoran data yang kerap terjadi dan ini bukti pelanggaran hak asasi yang dilanggar oleh negara. Alasannya, sudah banyak fakta yang mengatakan dan menghadirkan bukti bahwa terjadi banyak kebocoran data pribadi warga yang mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Banyak pihak mempertanyakan, apakah masalah ini timbul karena lemahnya sistem perlindungan data di Indonesia ataukah memang ada kepentingan di dalamnya?

Sebagaimana yang diberitakan kabar24.bisnis.com, (28/01/2024), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat ada dugaan pelanggaran hukum dari pengungkapan atau kebocoran 668 juta data pribadi. Salah satunya, dari dugaan kebocoran sistem informasi daftar pemilih pada November 2023 lalu. Menurut, ELSAM, badan publik terutama institusi pemerintah memang menekankan inovasi untuk transformasi pelayanan publik ke digital. Namun hal tersebut dinilai tak dibarengi langkah-langkah pengamanan dalam pemrosesan data. Keamanan digital ini sudah menjadi trending topik di berbagai kalangan terlebih tahun ini adalah tahun PEMILU. 

Di samping itu, kemudahan dalam mengakses data dan menjamurnya platform di internet menyebabkan kebingungan pada masyarakat terkait mana berita hoaks dan valid. Terlebih platform dan portal-portal berita bisa begitu bebas memberitakan fakta sesuai kepentingan dan arah pandang mereka. 

Kurangnya literasi digital masyarakat juga menjadi pemicu penyebaran hoaks dan kebocoran data. Dalam masa menyambut perhelatan akbar PEMILU, kebocoran data kerap terjadi. Seperti dugaan kebocoran 252 juta data dari sistem informasi daftar pemilih di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada November 2023. Sungguh miris dan terlihat bahwa sistem perlindungan data yang dimiliki oleh negara ini sangatlah lemah. Tidak heran kalau banyak dugaan pada penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan PEMILU. 

Selain itu, kebocoran data juga terjadi pada aspek lain seperti, dugaan kebocoran 44 juta data pribadi dari aplikasi MyPertamina pada November 2022, dugaan kebocoran 15 juta data dari insiden BSI pada Mei 2023, dugaan kebocoran 35,9 juta data dari MyIndihome pada Juni 2023, dugaan kebocoran 34,9 juta data dari Direktorat Jenderal Imigrasi pada Juli 2023, dugaan kebocoran 337 juta data Kementerian Dalam Negeri pada Juli 2023, dan dugaan kebocoran 252 juta data dari sistem informasi daftar pemilih di Komisi Pemilihan Umum pada November 2023.

Dilansir dari katadata.co.id, (28/01/2024), sebenarnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah disahkan lebih dari satu tahun lalu. Namun, pemerintah mendapatkan kritikan karena masalah perlindungan data dinilai  kunjung membaik. Hal ini menunjukkan lemahnya UU dan upaya implementasinya. Jika negara yang seharusnya kuat sumber dayanya baik manusia, dana maupun teknologi tidak mampu melindungi datanya sendiri, maka bagaimana dengan data di lembaga swasta? 

Di sisi lain, bocornya data menggambarkan lemahnya SDM, baik dari sisi keterampilan/keahlian juga dari aspek tanggung jawab/amanah. Lemahnya SDM berkaitan erat dengan lemahnya sistem pendidikan yang sudah bergeser tujuannya. Alih-alih menjadi SDM cerdas berkualitas, sistem pendidikan yang lemah malah membentuk SDM pesuruh yang jauh dari karakter inovatif. Dari fakta tersebut sudah jelas, kebocoran data, negara tak becus urus warga.

Berbeda dengan sistem yang ada, Islam justru berbeda. Sistem Islam yang tertuang pada sebuah institusi (Daulah Khilafah Islam) dan lengkap dengan perangkatnya justru membuktikan terjaminnya keamanan data warga negaranya. Hal itu karena keamanan data merupakan persoalan strategis yang akan diupayakan dengan mengerahkan segala macam kekuatannya untuk melindungi data dan rakyatnya. Dan inilah salah satu perwujudan negara sebagai tameng bagi rakyatnya. 

Terbukti, selama 14 abad Islam memimpin peradaban dunia, para ilmuwan Muslim  yang lahir bukan hanya pandai dalam agama, mereka juga ahli dalam ilmu terapan lainnya. Sistem pendidikan Islam juga mewujudkan ilmuwan yang bervisi akhirat. Mereka akan mendedikasikan ilmunya untuk kemaslahatan umat. Mereka akan terdorong mengamalkan ilmunya dengan menciptakan karya yang bisa memberi manfaat untuk masyarakat.

Selanjutnya, negara membangun infrastruktur dan fasilitas digital yang dibutuhkan dalam mewujudkan sistem keamanan data yang hebat. Pembiayaan pembangunan infrastruktur ini berasal dari baitul mal. Sumber dana baitul mal akan sangat besar jika kekayaan milik umum, seperti minyak bumi, batu bara, dan tambang lainnya dikelola negara dan tidak diprivatisasi seperti saat ini. Dengan begitu, negara tidak akan kesulitan mencari dana untuk mewujudkan sistem keamanan data.

Negara juga akan proaktif dalam melakukan tindakan preventif dan kuratif. Perlindungan data harus terintegrasi secara komprehensif antar lembaga terkait, tidak ada aturan tumpang tindih. Negara pun memberikan gaji yang yang layak bagi SDM yang bekerja. Dengan gaji yang cukup, mereka yang bekerja dalam sistem keamanan data dapat menjalankan tugasnya secara profesional dan penuh tanggung jawab.[]

Oleh: Rizka Fauziah, S. Pd. I,. Aktivis Dakwah Politik

1 Komentar